Nationalgeographic.grid.id—Pernahkah Anda membayangkan minyak nabati yang diproduksi di laboratorium, bukan di perkebunan?
Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, namun teknologi ini sudah semakin dekat dengan kenyataan. Minyak mikroba, hasil rekayasa genetika mikroorganisme, menawarkan potensi tak terbatas untuk menggantikan minyak kelapa sawit yang kontroversial.
Dengan sifatnya yang dapat disesuaikan dan proses produksi yang efisien, minyak mikroba bisa menjadi solusi bagi berbagai masalah lingkungan dan kesehatan.
Minyak nabati paling populer yang mengancam lingkungan
Minyak kelapa sawit, si minyak serbaguna, telah menjadi primadona di dunia. Kita temukan jejaknya hampir di mana-mana, mulai dari makanan ringan seperti keripik tortilla hingga produk sehari-hari seperti sabun dan pasta gigi.
Bahkan, minyak ini juga digunakan sebagai bahan bakar nabati atau biofuel. Popularitasnya yang semakin meroket, dengan peningkatan konsumsi global sebesar 73% sejak tahun 2016, menunjukkan betapa pentingnya minyak ini dalam kehidupan kita.
Namun, di balik kepopulerannya, minyak kelapa sawit menyimpan masalah yang cukup serius. Permintaan yang tinggi terhadap minyak ini mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit, seringkali dengan cara membuka lahan hutan.
Akibatnya, deforestasi menjadi masalah besar, terutama di Indonesia dan Malaysia, dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia. Laju deforestasi yang tinggi ini menyebabkan sejumlah masalah lingkungan yang serius, seperti perubahan iklim, kerusakan tanah, dan pencemaran air. Selain itu, keanekaragaman hayati juga terancam, dengan banyak spesies hewan kehilangan habitatnya.
Untungnya, para ilmuwan terus berupaya mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang menjanjikan adalah minyak yang dihasilkan dari mikroorganisme. Minyak jenis ini diharapkan memiliki sifat yang sama serbagunanya dengan minyak kelapa sawit, namun tanpa menimbulkan dampak negatif yang sama.
Ide futuristik dari masa lalu
Ide ini mungkin terdengar futuristik, namun ternyata para ilmuwan telah mulai meneliti kemungkinan ini dengan serius sejak awal abad ke-20.
Baca Juga: Lahan Gambut Makin Menyempit, Paru-paru Asia Tenggara Kian Terjepit