Minyak Mikroba, Calon Penantang Minyak Sawit yang Diklaim Lebih Ramah Lingkungan

By Ade S, Kamis, 10 Oktober 2024 | 08:03 WIB
Beberapa contoh produk turunan minyak sawit yang ditampilkan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan Sumatera Utara. (National Geographic Indonesia / Ade S)

"Pada dasarnya Anda hanya membutuhkan bioreaktor…sebegitu mudahnya," kata ilmuwan makanan William Chen di Nanyang Technological University Singapura.

Bahkan, produksi minyak mikroba bisa menjadi solusi untuk masalah limbah. Chen dan timnya, misalnya, sedang meneliti kemungkinan menggantikan media kultur tradisional yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga dengan sisa biji gandum atau residu kedelai.

Sementara itu, peneliti dari NextVegOil di Jerman telah berhasil menghasilkan minyak dari jamur Ustilago maydis yang diberi makan dengan sisa panen jagung, dan di Belanda, minyak NoPalm dihasilkan dari fermentasi ragi dengan kulit kentang dan sayuran yang tidak terpakai.

Christopher Chuck, seorang ahli kimia dari University of Bath di Inggris, telah menemukan cara yang sangat menarik untuk menghasilkan minyak. Ia menggunakan limbah makanan, seperti potongan roti yang tidak terpakai, untuk membudidayakan mikroorganisme penghasil minyak. Menurutnya, cara ini sangat efisien dan ramah lingkungan.

Salah satu keunggulan utama minyak mikroba adalah fleksibilitasnya. Tidak seperti tanaman, mikroorganisme bisa diubah secara genetik untuk menghasilkan jenis minyak yang kita inginkan.

Misalnya, kita bisa mengurangi kandungan asam lemak yang tidak sehat dan meningkatkan kandungan asam lemak yang baik untuk kesehatan. Ini artinya, kita bisa menciptakan minyak yang lebih sehat dan sesuai dengan kebutuhan pasar.

Proses pembuatan minyak mikroba juga jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses penanaman tanaman penghasil minyak. Dalam hitungan minggu, kita sudah bisa mendapatkan minyak dari mikroorganisme yang telah dibudidayakan di laboratorium.

Tantangan yang mendesak di tengah masa depan yang cerah

Perlu diketahui bahwa perusahaan-perusahaan yang mengembangkan minyak mikroba saat ini lebih fokus pada industri kecantikan dan kosmetik. Alasannya sederhana: produk-produk ini biasanya dijual dengan harga yang lebih tinggi dan regulasinya tidak seketat produk makanan. Namun, para ahli yakin bahwa minyak mikroba juga memiliki potensi besar untuk menggantikan minyak kelapa sawit dalam industri makanan.

Untuk bisa bersaing dengan harga minyak kelapa sawit, produksi minyak mikroba harus dilakukan dalam skala yang sangat besar. Chuck mengatakan, "Kita harus berada dalam posisi yang terjangkau dari pasar minyak nabati" melalui produksi pada skala yang cukup besar demi bisa menurunkan harga.

Shara Ticku, CEO dari C16 Biosciences, salah satu perusahaan pionir di bidang ini, setuju dengan pendapat tersebut. Ia mengatakan bahwa saat ini perusahaannya yang berbasis di New York, Amerika Serikat, sedang berupaya untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak mikroba. Tujuannya adalah agar minyak mikroba bisa segera diproduksi dalam jumlah yang besar dan dengan biaya yang efisien.

C16 mengeklaim telah berhasil melakukan fermentasi 50.000 liter minyak mikroba pada bulan November, dan pada awal tahun 2023 akan meluncurkan minyak bio yang ditujukan untuk kosmetik.

Mengapa kita perlu bergegas mengembangkan minyak mikroba? Permintaan akan minyak nabati di masa depan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dunia.

Ticku menyebutkan bahwa pada tahun 2050, produksi minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat menjadi 240 juta ton. Dengan populasi dunia yang diprediksi akan meningkat menjadi hampir 10 miliar pada saat itu, dan permintaan untuk lipid diperkirakan akan meningkat tiga hingga empat kali lipat, Ticku menyatakan: "Kami memiliki mandat untuk bergerak sangat cepat untuk memperkenalkan solusi minyak mikroba ini ke dunia."