Asia dalam Bahaya, Perubahan Iklim Buat Badai akan Semakin Sering Menerjang

By Ade S, Sabtu, 12 Oktober 2024 | 10:03 WIB
Asia dalam bahaya! Frekuensi siklon dan badai meningkat drastis akibat perubahan iklim. Saatnya bertindak untuk mitigasi dan adaptasi! (Freepik.com)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Climate and Atmospheric Science telah mengungkap kekhawatiran yang semakin meningkat mengenai intensifikasi siklon tropis di kawasan Asia Tenggara.

Para peneliti menemukan bahwa perubahan iklim secara signifikan memengaruhi pola pembentukan dan pergerakan siklon, membuatnya lebih sering terbentuk di dekat garis pantai wilayah tersebut. Tidak hanya itu, siklon-siklon ini juga mengalami peningkatan kekuatan dengan lebih cepat dan memiliki durasi yang lebih lama.

Analisis data menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan jalur siklon bergeser ke arah utara, mendekati pusat-pusat populasi yang padat seperti Bangkok, Hai Phong, dan Yangon.

Pergeseran jalur ini, dikombinasikan dengan peningkatan intensitas siklon, mengakibatkan dampak yang jauh lebih merusak di daerah pesisir. Kota-kota dan desa-desa yang sebelumnya mungkin jarang terdampak oleh siklon kini harus menghadapi ancaman yang semakin nyata.

Konsekuensi dari perubahan ini sangatlah serius. Siklon tropis yang lebih kuat dan lebih sering terjadi dapat menyebabkan kerusakan infrastruktur yang parah, banjir pesisir yang meluas, dan gelombang badai yang menghancurkan.

Selain itu, hujan lebat yang ekstrem yang sering menyertai siklon juga dapat memicu tanah longsor, seperti yang terjadi di Wayanad, Kerala, India pada 31 Juli lalu. Tragedi ini menewaskan 360 orang dan menyebabkan kerusakan properti dalam skala besar.

Peristiwa tanah longsor di Wayanad merupakan salah satu contoh nyata bagaimana perubahan iklim dapat memicu bencana alam yang dahsyat. Hujan deras yang berkepanjangan, yang merupakan salah satu manifestasi dari perubahan iklim, melemahkan tanah dan memicu terjadinya longsor saat hujan turun dengan intensitas tinggi.

"Bahan bakar" siklon tropis

Siklon tropis, yang sering kita kenal sebagai taifun, merupakan fenomena alam yang terbentuk di atas perairan laut tropis yang hangat. Dengan menyerap energi panas dan kelembapan yang melimpah dari lautan, badai-badai ini tumbuh semakin kuat, membawa serta angin kencang, hujan deras, dan gelombang pasang yang merusak.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perubahan iklim, yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan laut secara global, akan semakin memperparah intensitas siklon tropis di kawasan Asia Tenggara.

Wilayah-wilayah seperti Pasifik Barat Laut, Laut Cina Selatan, dan bagian utara Teluk Benggala diperkirakan akan mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan badai yang signifikan.

Baca Juga: Tempat Selancar di Indonesia Jadi Andalan guna Melawan Perubahan iklim

Menurut Benjamin Horton, salah satu peneliti utama dan direktur Observatorium Bumi Universitas Teknologi Nanyang Singapura, pemanasan global layaknya memberikan 'bahan bakar' tambahan bagi siklon tropis.

"Ketika siklon bergerak melintasi lautan yang lebih hangat akibat perubahan iklim, mereka menyerap lebih banyak uap air dan panas," jelas Horton, seperti dilansir dari laman Eco Business. "Hal ini berarti angin lebih kencang, hujan lebih deras, dan banjir yang lebih parah ketika taifun mencapai daratan."

Asia Tenggara saksi bisu peningkatan bencana alam

Seperti diketahui, pada tahun-tahun belakangan ini, kawasan Asia Tenggara telah menjadi saksi bisu dari peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, khususnya siklon tropis. Taifun Gaemi, yang melanda Filipina, Taiwan, dan Tiongkok selatan pada akhir Juli, merupakan salah satu contoh nyata dari fenomena ini.

Badai dahsyat ini telah mengakibatkan hujan lebat yang tak kunjung reda, memicu banjir bandang yang meluas, dan memaksa ribuan penduduk untuk mengungsi. Infrastruktur kritis seperti jalan raya, jembatan, dan bangunan mengalami kerusakan parah, mengganggu aktivitas masyarakat dan perekonomian.

Tidak hanya Taifun Gaemi, siklon tropis lainnya seperti Remal juga telah menimbulkan dampak yang sangat merusak. Ketika Remal menghantam India dan Bangladesh pada Mei lalu dengan kecepatan angin yang mencapai 135 kilometer per jam, 84 orang kehilangan nyawa, sementara yang lainnya kehilangan tempat tinggal.

Infrastruktur yang telah dibangun dengan susah payah hancur lebur, dan pasokan listrik terputus selama berhari-hari. Bahkan pada tahun sebelumnya, Siklon Mocha telah menimbulkan kerusakan yang sangat luas di pantai Rakhine, Myanmar, menewaskan 145 orang.

Asia, sebagai benua dengan populasi terbesar di dunia, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan Organisasi Meteorologi Dunia pada bulan April 2023 telah mengkonfirmasi bahwa Asia adalah wilayah yang paling parah terdampak oleh bencana cuaca, iklim, dan air.

Banjir dan badai menjadi dua jenis bencana yang paling sering terjadi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang paling besar. Selain itu, gelombang panas yang semakin ekstrem juga telah mengancam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

"Udara yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembapan untuk jangka waktu yang lebih lama sehingga kita sekarang memiliki periode kering yang panjang diselingi dengan periode hujan deras yang singkat, bukannya hujan sedang yang menyebar secara merata selama berhari-hari," kata Roxy Mathew Koll, ilmuwan iklim di Institut Meteorologi Tropis India, Pune.

Penelitian yang dilakukan oleh Koll dan timnya menunjukkan bahwa wilayah sekitar Samudra Hindia, yang meliputi sebagian besar wilayah Asia Selatan dan Tenggara, merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Juga: Bagaimana Kopi Bisa Terdampak oleh Perubahan Iklim? Adakah Solusinya?

Populasi yang padat, tingkat kemiskinan yang tinggi, dan infrastruktur yang belum memadai membuat masyarakat di wilayah ini semakin rentan terhadap bencana alam.

Hujan deras yang ekstrem, siklon tropis yang dahsyat, dan peristiwa curah hujan lebat lainnya telah menjadi pemandangan yang semakin umum sejak tahun 1950-an. Fenomena ini bukan lagi sekadar kejadian acak, melainkan sebuah tren yang mengkhawatirkan dan semakin menguat seiring dengan pemanasan global.

Penelitian yang dilakukan oleh Koll, yang pernah menjadi penulis untuk laporan Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim 2021, The Physical Science Basis, telah memberikan bukti yang kuat mengenai hubungan antara peningkatan suhu laut dan intensifikasi peristiwa cuaca ekstrem di Asia Selatan.

Koll menjelaskan bahwa peningkatan suhu laut menyediakan energi tambahan bagi pembentukan dan pertumbuhan awan hujan, sehingga menghasilkan curah hujan yang lebih tinggi dan lebih intens dalam waktu yang singkat.

"Kita secara langsung menyaksikan konsekuensi dari pemanasan global — banjir monsun, kekeringan, siklon, dan gelombang panas di darat maupun laut," kata Koll. "Peristiwa cuaca ekstrem ini akan meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga diperlukan upaya adaptasi dan mitigasi yang mendesak."

Kala Kerala menjadi lautan sementara

Kerala, sebuah negara bagian di ujung selatan India, seringkali dihadapkan pada tantangan serius akibat curah hujan monsun yang tidak menentu. Ketika musim hujan tiba, antara bulan Juni hingga September, pegunungan Ghat Barat seolah menjadi dinding yang menghalangi laju awan-awan pembawa hujan.

Akibatnya, hujan deras turun dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat, mengubah Kerala menjadi lautan sementara.

Sistem drainase yang ada seringkali kewalahan menghadapi volume air yang begitu besar. Aliran air yang deras dan tanah yang jenuh air kemudian memicu terjadinya banjir dan tanah longsor.

Profesor E. Shaji dari Universitas Kerala menggambarkan situasi ini dengan sangat jelas. Beliau menceritakan kejadian tanah longsor di Wayanad, di mana batu-batu besar berukuran hingga tiga meter terbawa oleh aliran lumpur menuruni lereng yang curam, menghancurkan segala yang dilaluinya.

"Di Wayanad, sejumlah besar hujan yang tidak biasa turun di atas sebuah bukit, membawa batu-batu granit bulat besar berukuran sekitar 2 hingga 3 meter dan bercampur dengan lumpur dan puing-puing yang berakselerasi menuruni lereng dengan kemiringan 40 hingga 50 derajat, menghancurkan rumah, jalan, dan jembatan di sepanjang jalan," kata Shaji.

Baca Juga: Krill, Makhluk Mini yang Sanggup Simpan Karbon Sebanyak Lamun dan Mangrove

Perubahan iklim semakin memperparah situasi ini. Pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Hindia menyebabkan peningkatan penguapan air, yang pada gilirannya meningkatkan intensitas hujan.

Para ahli memprediksi bahwa kejadian ekstrem seperti tanah longsor di Wayanad akan semakin sering terjadi di masa depan jika tidak ada upaya serius untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Untuk mengatasi masalah ini, para ilmuwan menyarankan penggunaan teknologi pembelajaran mesin. Dengan menganalisis data cuaca, topografi, dan faktor-faktor lainnya, sistem ini dapat membantu memprediksi daerah mana yang berpotensi terjadi tanah longsor dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat.

Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa antara tahun 1998 dan 2017, 4,8 juta orang terdampak dan belasan ribu nyawa melayang akibat bencana ini. Lebih mengkhawatirkan lagi, perubahan iklim yang semakin parah diperkirakan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas tanah longsor di masa depan.

Tragedi tanah longsor di Wayanad, India, menjadi bukti nyata dari ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sebagai respons terhadap bencana ini, pemerintah India mengambil langkah penting dengan menetapkan kawasan Ghat Barat sebagai wilayah sensitif ekologis.

Keputusan ini bertujuan untuk melindungi wilayah ini dari eksploitasi berlebihan dan mengurangi risiko bencana alam di masa mendatang.

Dengan menetapkan status kawasan sensitif ekologis, pemerintah India berharap dapat membatasi aktivitas manusia yang berpotensi memicu tanah longsor, seperti penambangan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur yang tidak terkendali.

Masyarakat diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dan saran terkait rencana pengelolaan kawasan ini, sehingga diharapkan dapat tercipta keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

"Seperti halnya gempa bumi, bangunanlah yang membunuh orang, bukan tanah longsor," kata Shaji. "Dan dengan ancaman hujan lebat yang semakin meningkat intensitas dan frekuensinya, langkah-langkah drastis untuk membatasi aktivitas pembangunan dianggap vital untuk mitigasi dan adaptasi."