Baca Juga: Indonesia Seharusnya Bisa Kenyang Tidak Hanya dengan Beras dan Terigu
“Dari mulai kebijakan-kebijakan mulai dari Preanger Stelsel, kemudian Cultuur Stelsel, sampai kebijakan ekonomi agraria tahun 1870 itu, menunjukan bahwa diversifikasi pangan kita yang sangat melimpah jenisnya, itu terpinggirkan,” ungkap Fadly.
Riska Ayu Purnamasari, dosen dari Universitas Gadjah Mada yang pernah menjadi peneliti pertanian di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga menjelaskan dalam tulisannya di The Conversation bahwa ada dampak kebijakan era kolonial dalam hegemoni beras di Indonesia. Selain itu ada juga pengaruh kebijakan Orde Lama dan Orde Baru.
"Setelah kemerdekaan Indonesia, konsumsi beras terus meningkat. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintahan Orde Lama mengedepankan swasembada pangan, termasuk beras, sebagai salah satu tujuan utama pertanian Indonesia," tulis Riska.
Upaya intensif dilakukan untuk meningkatkan produksi beras di Indonesia antara lain Rencana Kasimo (1948-1950) dan rencana produksi beras yang terpusat atau Padi Sentra (1959–1961). Namun keduanya gagal karena situasi politik dalam negeri tidak stabil, di samping masalah keterbatasan anggaran, kesulitan logistik, dan strategi harga yang gagal.
Perubahan paling signifikan dalam konsumsi dan produksi beras terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Presiden Soeharto menerapkan Kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Program ini mencakup penggunaan varietas padi yang lebih unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, serta pengembangan infrastruktur pertanian.
Pemerintahan Orde Baru juga menggagas program transmigrasi untuk mencetak sawah di luar Jawa. Salah satunya adalah Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 yang menempatkan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai lokasi pembukaan sawah baru seluas 3.000 hektare.
Ancaman Ketahanan Pangan Indonesia
Menurut Riska, kegemaran penduduk Indonesia terhadap beras tidak hanya dipengaruhi oleh inisiatif masyarakat, tetapi juga melalui campur tangan pemerintah.
"Namun, usaha pemerintah patut dikaji ulang. Sebab, beras juga menjadi sumber masalah kerentanan pangan. Setiap musim tanam, tanaman padi rentan mengalami kekeringan, banjir, serta fluktuasi cuaca seperti El Nino yang sempat terjadi belakangan ini. Ancaman tersebut dapat berdampak serius terhadap penghidupan petani padi," tegas Riska.
Di sisi lain, produksi beras menyumbang sekitar 22% dari total emisi gas metana global—salah satu gas rumah kaca. Pertanian padi juga tergolong rakus air, dengan kebutuhan sekitar 1.000–2.700 liter air untuk 1 kg padi.
Ketergantungan kita terhadap beras juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, yakni meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.