Mengapa Indonesia Tergantung pada Beras dan Mengapa Ini Berbahaya?

By Utomo Priyambodo, Minggu, 27 Oktober 2024 | 19:05 WIB
Saking tingginya tingkat ketergantungan orang Indonesia pada beras, ada ungkapan yang diamini banyak orang di negeri ini, yaitu 'belum dianggap sudah makan kalau belum makan nasi (beras).' (Ezagren/Wikimedia Commons)

Manfaat Keragaman Pangan Lokal Indonesia

Mulia dan Romauli menyebut sebuah studi menunjukkan bahwa mengonsumsi berbagai spesies setiap hari bisa meningkatkan kecukupan mikronutrien. Tidak perlu mencari terlalu jauh, keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi memegang peran kunci untuk meningkatkan status gizi negara. Mereka menyimpulkan, "Konsumsi pangan lokal membantu masyarakat Indonesia hidup sehat dan berkelanjutan."

Manfaat lainnya, sumber pangan nabati dan hewani yang sesuai dengan kondisi setempat cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, seperti cuaca ekstrem atau banjir. "Salah satu contohnya adalah sagu yang dapat tumbuh pada musim kemarau panjang dan banjir di daerah seperti Papua dan Maluku," tulis mereka.

Selain itu, konsumsi makanan lokal juga dapat mengurangi emisi karbon dari pengemasan dan distribusi. Bahan pangan yang mudah rusak, seperti ikan dan sayuran, ataupun makanan olahan, menyumbang 10% dari rantai emisi di sektor pangan.

"Sebagai negara kepulauan dengan sekitar 6.000 pulau berpenghuni, sistem distribusi pangan yang lebih pendek dan lebih efisien dapat mengurangi kehilangan pangan dan sampah makanan di sepanjang rantai pasokan," jelas mereka.

Manfaat lainnya, promosi konsumsi pangan lokal berpotensi meningkatkan kesadaran lingkungan dan keadilan sosial dengan mendorong interaksi antara produsen dan konsumen. Dalam beberapa kasus, promosi seperti ini mendukung produsen dalam mengembangkan spesies pangan yang kurang dimanfaatkan. Upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati juga dapat dikaitkan dengan manfaat gizi dari makanan yang kita konsumsi.

Bagaimana Cara Mengurangi Ketergantungan pada Beras?

Riska mencatat bahwa usaha mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis pangan sebenarnya sudah dimulai sejak Orde Baru. Pada dekade 1970-an, pemerintah Indonesia menggencarkan kampanye diversifikasi pangan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Instruksi Presiden tahun 1979 menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pangan dalam rangka meningkatkan gizi masyarakat.

Namun, upaya ini terbentur dengan program swasembada beras yang menjadi fokus pemerintah saat itu. Akibatnya, kebijakan ini tidak pernah berhasil menurunkan konsumsi beras. Kalaupun tingkat konsumsi beras menurun, adanya kebijakan impor gandum menjadikan masyarakat lebih memilih gandum dibandingkan pangan nonberas lainnya seperti ubi atau singkong.

Menurutnya, ke depan pemerintah dapat mempromosikan kesadaran akan manfaat diversifikasi pangan di tingkat rumah tangga melalui kampanye "gizi seimbang dengan pangan lokal.”

Kampanye ini dapat bertujuan mendorong masyarakat untuk mengintegrasikan berbagai jenis makanan dalam pola makan sehari-hari. Beberapa di antaranya bisa dijalankan di tiap-tiap posyandu dalam menggalakan gizi seimbang untuk 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK).

"Usaha mengurangi ketergantungan pada nasi dengan mengelola pangan lokal dari hulu ke hilir secara serius dan promosi keberagaman pangan adalah langkah penting agar sistem pangan lebih berkelanjutan dan seimbang," tegas Riska. "Kita juga bisa meredam kekhawatiran terhadap naik-turun pertanian padi berikut dampak lingkungannya."

Felippa Ann Amanta, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), dalam sebuah artikel opini di Tempo, juga menegaskan pentingnya pembenahan kebijakan pangan Indonesia.

"Kebijakan perlu ditujukan untuk diversifikasi pangan, bukan ekspansi demi swasembada beberapa komoditas semata," tegasnya, "sehingga petani bisa bebas berbudidaya berdasarkan keunggulan sumber daya alam masing-masing daerah dan masyarakat pun memiliki lebih banyak ragam pilihan makanan."