Mengapa Indonesia Tergantung pada Beras dan Mengapa Ini Berbahaya?

By Utomo Priyambodo, Minggu, 27 Oktober 2024 | 19:05 WIB
Saking tingginya tingkat ketergantungan orang Indonesia pada beras, ada ungkapan yang diamini banyak orang di negeri ini, yaitu 'belum dianggap sudah makan kalau belum makan nasi (beras).' (Ezagren/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.grid.id—Saking tingginya tingkat ketergantungan orang Indonesia pada beras, ada ungkapan yang diamini banyak orang di negeri ini, yaitu "belum dianggap sudah makan kalau belum makan nasi (beras)." Mengapa masyarakat Indonesia menjadi sangat ketergantungan pada beras dan mengapa hal ini bisa berbahaya bagi ketahanan pangan nasional?

Berdasarkan data historis sejak tahun 1954, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat di Indonesia memang meningkat pesat. Yang semula angkanya baru 53,5 persen pada 1954, lalu naik menjadi 74,6% pada 2017. Data tersebut disampaikan oleh Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, dalam Forum Bumi yang digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di House of Izara, Jakarta, pada Kamis, 10 Oktober 2024.

"Yang saya sampaikan di sini berkaitan dampak negatif, berkaitan dengan keseragaman pangan melalui pendekatan beras," ujar Sjamsul. Deretan dampak negatif yang Sjamsul maksud antara lain pergeseran pola konsumsi ke beras dan terigu ini meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan dari impor dan masyarakat lokal di pulau-pulau kecil harus membayar beras lebih mahal.

"Nah ini sangat membebani masyarakat walaupun pemerintah melalui program pangannya juga memberikan bantuan gitu ya dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat," tegas Sjamsul.

Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, menjelaskan pentingan melestarikan keragaman pangan lokal untuk ketahanan pangan nasional. (Febrizal/National Geographic Indonesia)

Mengapa Indonesia Sangat Bergantung pada Beras?

Ada perdebatan mengenai apakah budi daya padi dimulai di India atau Tiongkok. Yang jelas, migrasi penduduk berperan penting dalam penyebaran padi ke Asia bagian timur. Dari Tiongkok, pertanian padi menular ke Jepang, kemudian ke Taiwan, Filipina, Sulawesi, dan akhirnya ke Jawa.

Sejarawan gastronomi Fadly Rahman menyebut bahwa akar ketergantungan terhadap beras di Nusantara bisa dilacak sejak zaman Kerajaan Mataram. Kala itu, beras menjadi salah satu simbol keberhasilan raja dalam memimpin.

"Kewibawaan seorang raja, seorang penguasa, itu ditentukan dari keberhasilan penguasa dalam memakmurkan kebutuhan pangan rakyat yang notabene itu adalah beras,” kata Fadly, seperti dilansir Historia.

Pada masa kolonial, Fadly menyebut bahwa VOC juga berkontribusi pada hegemoni beras ini. Ketika VOC memonopoli perdagangan di Nusantara, beras menjadi salah satu komoditas yang dikirim ke berbagai pulau di luar Jawa. Tanah-tanah yang subur dikuasai oleh pihak kolonial atau para tuan tanah Belanda, sehingga masyarakat pribumi lebih diarahkan untuk menanam padi dan tanaman lain yang mereka anggap menguntungkan.

Rumphius, botanis Jerman yang bekerja untuk VOC di Maluku, mencatat bagaimana perniagaan beras sampai ke kepulauan tersebut. Bahkan, jelas Fadly, Rumphius juga mencatat bahwa masyarakat Maluku menganggap beras sebagai bahan makanan yang sangat prestisius. Padahal, Maluku telah memiliki sagu, ubi rambat, dan talas yang menjadi makanan pokok sejak lama.

Sangat ekspansifnya beras mengakibatkan beragam pangan lokal semakin diabaikan. VOC juga terobsesi pada rempah-rempah. Hal ini membuat banyak lahan pangan pribumi semakin hilang karena mereka juga dipaksa membudidayakan rempah-rempah yang belakangan dilanjutkan komoditas kopi dan teh.

Baca Juga: Indonesia Seharusnya Bisa Kenyang Tidak Hanya dengan Beras dan Terigu

“Dari mulai kebijakan-kebijakan mulai dari Preanger Stelsel, kemudian Cultuur Stelsel, sampai kebijakan ekonomi agraria tahun 1870 itu, menunjukan bahwa diversifikasi pangan kita yang sangat melimpah jenisnya, itu terpinggirkan,” ungkap Fadly.

Riska Ayu Purnamasari, dosen dari Universitas Gadjah Mada yang pernah menjadi peneliti pertanian di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga menjelaskan dalam tulisannya di The Conversation bahwa ada dampak kebijakan era kolonial dalam hegemoni beras di Indonesia. Selain itu ada juga pengaruh kebijakan Orde Lama dan Orde Baru.

"Setelah kemerdekaan Indonesia, konsumsi beras terus meningkat. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintahan Orde Lama mengedepankan swasembada pangan, termasuk beras, sebagai salah satu tujuan utama pertanian Indonesia," tulis Riska.

Upaya intensif dilakukan untuk meningkatkan produksi beras di Indonesia antara lain Rencana Kasimo (1948-1950) dan rencana produksi beras yang terpusat atau Padi Sentra (1959–1961). Namun keduanya gagal karena situasi politik dalam negeri tidak stabil, di samping masalah keterbatasan anggaran, kesulitan logistik, dan strategi harga yang gagal.

Perubahan paling signifikan dalam konsumsi dan produksi beras terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Presiden Soeharto menerapkan Kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Program ini mencakup penggunaan varietas padi yang lebih unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, serta pengembangan infrastruktur pertanian.

Pemerintahan Orde Baru juga menggagas program transmigrasi untuk mencetak sawah di luar Jawa. Salah satunya adalah Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 yang menempatkan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai lokasi pembukaan sawah baru seluas 3.000 hektare.

Ancaman Ketahanan Pangan Indonesia

Menurut Riska, kegemaran penduduk Indonesia terhadap beras tidak hanya dipengaruhi oleh inisiatif masyarakat, tetapi juga melalui campur tangan pemerintah.

"Namun, usaha pemerintah patut dikaji ulang. Sebab, beras juga menjadi sumber masalah kerentanan pangan. Setiap musim tanam, tanaman padi rentan mengalami kekeringan, banjir, serta fluktuasi cuaca seperti El Nino yang sempat terjadi belakangan ini. Ancaman tersebut dapat berdampak serius terhadap penghidupan petani padi," tegas Riska.

Di sisi lain, produksi beras menyumbang sekitar 22% dari total emisi gas metana global—salah satu gas rumah kaca. Pertanian padi juga tergolong rakus air, dengan kebutuhan sekitar 1.000–2.700 liter air untuk 1 kg padi.

Ketergantungan kita terhadap beras juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, yakni meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.

"Selain itu, perlu disadari bahwa tidak semua lahan atau tanah di Indonesia cocok untuk penanaman padi. Sekalipun cocok, hasil dan kualitas panennya mungkin tidak akan sebanding dengan tanaman yang ditanam di lahan yang memang sesuai," kata Riska lagi.

Manajer Program Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi Hanggarawati, menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung pelestarian dan pemanfaatan keragaman pangan lokal, mengingat masing-masing daerah di Indonesia memiliki kondisi alam yang berbeda-beda. Jenis tanah yang berbeda akan lebih cocok untuk tanaman yang berbeda pula dan jenis pangan yang berbeda.

Puji mewanti-wanti lunturnya pemanfaatan sumber pangan lokal di Indonesia bisa membuat varietas tanaman tersebut lenyap. "Ketika pangan lokal ini hilang maka budayanya hilang dan terlebih lagi keanekaragaman hayati ini juga hilang," ucap Puji.

Manajer Program Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi Hanggarawati (tengah), menjadi salah satu pembicara dalam Forum Bumi yang digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di House of Izara, Jakarta, pada Kamis, 10 Oktober 2024. Forum Bumi edisi kedua ini mengambil tajuk 'Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?' (Febrizal/Natonal Geographic Indonesia)

Menurut Puji, penerapan kebijakan di tingkat daerah maupun nasional penting untuk melestarikan keragaman pangan lokal dan ketahanan pangan. Sebagai contoh, Yayasan KEHATI pernah mendukung Pemerintah Kabupaten Sangihe untuk menerapkan kebijakan two days no rice (dua hari tanpa beras) setiap bulannya di Pulau Sangihe.

Kebijakan ini meningkatkan penyerapan pangan lokal dan ekonomi masyarakat lokal, sekaligus menurunkan biaya impor beras dari pulau lain. Berdasarkan perhitungan Yayasan KEHATI, kebijakan tersebut bisa menghemat anggaran sekitar Rp65,7 miliar yang tadinya dipakai untuk membeli beras.

Lebih lanjut, jika masyarakat di seluruh Indonesia mau tidak makan beras selama sehari setiap minggunya dan menggantinya dengan ragam pangan lokal lain, sebanyak 3,37 ton beras dapat dihemat dalam setahun. Hal itu tentunya dapat menurunkan biaya impor beras nasional.

Indonesia punya banyak sumber karbohidrat dan kaya dengan keragaman pangan lokal. Studi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia setidaknya mengonsumsi 100 jenis karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 450 buah, serta 250 jenis sayuran dan jamur.

"Sebagai contoh, beberapa masyarakat Indonesia timur mengonsumsi kacang-kacangan dan biji-bijian, seperti kacang merah yang dicampur dengan sorgum. Masyarakat setempat terbiasa memasak pangan ini lalu dibungkus dengan daun pisang dan disajikan sebagai makanan pokok," tulis Mulia Nurhasan dan Romauli Panggabean, dua peneliti pangan Indonesia, dalam sebuah artikel di The Conversation.

Mereka juga menulis, beberapa orang Indonesia bahkan memakan serangga. Penelitian menunjukkan bahwa serangga menjadi sumber nutrisi yang bagus karena mengandung protein dan mikronutrien yang tinggi. Ilmuwan di seluruh dunia sedang meneliti potensi serangga sebagai sumber pangan hewani ramah lingkungan. Serangga bahkan dinamai sebagai “makanan masa depan”.

Bentang laut Indonesia juga menjadi habitat bagi keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, dengan hampir 3.000 spesies ditemukan di pasar-pasar di Jawa, Bali, dan Lombok. Ikan dari laut tropis yang hangat seperti Indonesia memiliki kandungan kalsium, zat besi, dan seng yang tinggi.

Karyono Apic menghadirkan detail nan teliti tentang tumbuhan gadung (Dioscorea hispida) yang mengingatkan kita akan ragam pangan lokal. (Karyono Apic/Indonesian Society of Botanical Artist)

Manfaat Keragaman Pangan Lokal Indonesia

Mulia dan Romauli menyebut sebuah studi menunjukkan bahwa mengonsumsi berbagai spesies setiap hari bisa meningkatkan kecukupan mikronutrien. Tidak perlu mencari terlalu jauh, keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi memegang peran kunci untuk meningkatkan status gizi negara. Mereka menyimpulkan, "Konsumsi pangan lokal membantu masyarakat Indonesia hidup sehat dan berkelanjutan."

Manfaat lainnya, sumber pangan nabati dan hewani yang sesuai dengan kondisi setempat cenderung lebih tahan terhadap guncangan iklim, seperti cuaca ekstrem atau banjir. "Salah satu contohnya adalah sagu yang dapat tumbuh pada musim kemarau panjang dan banjir di daerah seperti Papua dan Maluku," tulis mereka.

Selain itu, konsumsi makanan lokal juga dapat mengurangi emisi karbon dari pengemasan dan distribusi. Bahan pangan yang mudah rusak, seperti ikan dan sayuran, ataupun makanan olahan, menyumbang 10% dari rantai emisi di sektor pangan.

"Sebagai negara kepulauan dengan sekitar 6.000 pulau berpenghuni, sistem distribusi pangan yang lebih pendek dan lebih efisien dapat mengurangi kehilangan pangan dan sampah makanan di sepanjang rantai pasokan," jelas mereka.

Manfaat lainnya, promosi konsumsi pangan lokal berpotensi meningkatkan kesadaran lingkungan dan keadilan sosial dengan mendorong interaksi antara produsen dan konsumen. Dalam beberapa kasus, promosi seperti ini mendukung produsen dalam mengembangkan spesies pangan yang kurang dimanfaatkan. Upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati juga dapat dikaitkan dengan manfaat gizi dari makanan yang kita konsumsi.

Bagaimana Cara Mengurangi Ketergantungan pada Beras?

Riska mencatat bahwa usaha mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis pangan sebenarnya sudah dimulai sejak Orde Baru. Pada dekade 1970-an, pemerintah Indonesia menggencarkan kampanye diversifikasi pangan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Instruksi Presiden tahun 1979 menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pangan dalam rangka meningkatkan gizi masyarakat.

Namun, upaya ini terbentur dengan program swasembada beras yang menjadi fokus pemerintah saat itu. Akibatnya, kebijakan ini tidak pernah berhasil menurunkan konsumsi beras. Kalaupun tingkat konsumsi beras menurun, adanya kebijakan impor gandum menjadikan masyarakat lebih memilih gandum dibandingkan pangan nonberas lainnya seperti ubi atau singkong.

Menurutnya, ke depan pemerintah dapat mempromosikan kesadaran akan manfaat diversifikasi pangan di tingkat rumah tangga melalui kampanye "gizi seimbang dengan pangan lokal.”

Kampanye ini dapat bertujuan mendorong masyarakat untuk mengintegrasikan berbagai jenis makanan dalam pola makan sehari-hari. Beberapa di antaranya bisa dijalankan di tiap-tiap posyandu dalam menggalakan gizi seimbang untuk 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK).

"Usaha mengurangi ketergantungan pada nasi dengan mengelola pangan lokal dari hulu ke hilir secara serius dan promosi keberagaman pangan adalah langkah penting agar sistem pangan lebih berkelanjutan dan seimbang," tegas Riska. "Kita juga bisa meredam kekhawatiran terhadap naik-turun pertanian padi berikut dampak lingkungannya."

Felippa Ann Amanta, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), dalam sebuah artikel opini di Tempo, juga menegaskan pentingnya pembenahan kebijakan pangan Indonesia.

"Kebijakan perlu ditujukan untuk diversifikasi pangan, bukan ekspansi demi swasembada beberapa komoditas semata," tegasnya, "sehingga petani bisa bebas berbudidaya berdasarkan keunggulan sumber daya alam masing-masing daerah dan masyarakat pun memiliki lebih banyak ragam pilihan makanan."