Ya, abad kesembilan belas cenderung dengan pria berjenggot tebal, sangat cocok untuk menandai semangat zaman baru. Zaman yang ditandai dengan norma dan budaya yang berubah.
Popularitas rambut wajah atau jenggot yang tebal kembali dibantu oleh sebagian besar "fakta" medis yang salah dilaporkan tentang manfaat kesehatan jenggot. Pada pertengahan abad kesembilan belas, dokter mulai mendorong pria untuk memiliki jenggot tebal.
Kebanyakan dokter dan juga Ratu Victoria menyebut jika memelihara dan memanjangkan jenggot atau rambut-rambut wajah merupakan sarana untuk menangkal penyakit.
Meskipun manfaat medis jenggot seperti yang dibayangkan oleh oleh para dokter dan Ratu Victoria tidak benar-benar ada. Setidaknya, masuk akal mengapa banyak yang berteori bahwa jenggot itu sehat.
Revolusi Industri menyaksikan pembakaran batu bara dalam jumlah yang sangat besar, yang mengakibatkan tingkat polusi udara yang sangat besar. Jenggot mulai menjadi isu penangkal penyakit selama masa itu.
Ditambah dengan teori kuman yang saat itu masih baru, yang telah didengar oleh banyak dokter tetapi belum sepenuhnya dipahami. Maka dapat dimengerti bahwa ada banyak kekhawatiran dengan hal-hal buruk kecil yang mengambang di udara.
Dokter beralasan bahwa rambut wajah yang tebal dapat menyaring udara buruk dan partikel kecil yang buruk yang mengambang di dalamnya. Beberapa bahkan menyatakan pendapat medis bahwa jenggot dapat mencegah sakit tenggorokan.
Tentu saja, seperti yang kita ketahui sekarang, bahwa jenggot tidak memiliki kemampuan untuk menyaring udara. Kotoran, termasuk kuman berbahaya dan polutan udara, terlalu kecil untuk terhadang dan tersaring oleh rambut wajah.
Faktanya, jenggot sebenarnya melakukan kebalikan dari apa yang dipikirkan oleh Ratu Victoria, yang melihatnya sebagai simbol kejantanan dan ketangguhan seorang pria. Begitu pula dengan berita yang menyebut jika jenggot atau rambut wajah dapat menjaga kesehatan.
Alih-alih menyaring bakteri berbahaya, kuman dan partikel berbahaya kecil lainnya malah dapat menempel pada jenggot, yang dengan demikian meningkatkan risiko penyakit, alih-alih mengurangi kemungkinan infeksi.