Pasang Surut Tren Jenggot Pada Pria dalam Catatan Sejarah Dunia

By Galih Pranata, Jumat, 8 November 2024 | 16:00 WIB
George Crook, seorang komandan dengan rambut atau jenggot yang menutup sebagian wajahnya. Tren jenggot mengalami pasang surutnya dalam catatan sejarah dunia. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Jenggot akhir-akhir ini kembali menjadi mode. Sebagian besar berkat kaum hipster—kaum yang suka akan hal yang dianggap memiliki jiwa seni, intelektual, dan anti-mainstream.

Ini bukan pertama kalinya jenggot menjadi tren maskulinitas yang sempat ditinggalkan zaman, lalu kembali populer. Di Yunani kuno, jenggot menjadi mode selama berabad-abad, lalu ditinggalkan di era Helenistik.

Kemudian, para pemimpin Republik Romawi awal berjenggot, tetapi dalam beberapa generasi, keturunan mereka mencukur bersih, gaya yang bertahan selama berabad-abad sebelum Kaisar Hadrian membuat rambut wajah berjenggot menjadi mode lagi.

Jenggot kembali menjadi mode sepanjang Abad Pertengahan. Namun, pada abad keenam belas dan ketujuh belas, ramai berita bahwa seorang dokter salah melaporkan bahwa jenggot adalah kotoran tubuh.

Selepas berita itu tersiar, "dengan demikian, orang-orang beranggapan jika mencukur jenggot akan membersihkan diri dan tubuh dari zat yang berpotensi membahayakan kesehatan," tulis Khalid Elhassan.

Khalid menulisnya kepada History Collection dalam artikel berjudul Misreported Historical Facts That Are Anything But Factual, yang diterbitkan pada 30 Oktober 2024.

Pada abad kedelapan belas, pria-pria di Eropa mulai mencukur jenggotnya. Benar-benar dicukur bersih. Hal tersebut membuat kesan wajah pria tercerahkan halus, awet muda, dengan raut wajah jernih. Sekaligus menunjukkan pikiran jernih dan terbuka.

Kemudian tibalah abad kesembilan belas, ketika jenggot kembali menjadi mode dan tren maskulinitas pria. Popularitas baru ini dibantu oleh pendapat medis bahwa rambut wajah atau jenggot, dikatakan baik untuk kesehatan pria.

Popularitas jenggot pada abad kesembilan belas juga banyak berkaitan dengan cita-cita Ratu Victoria di Inggris tentang kejantanan dan ketangguhan. 

Jenggot adalah penanda visual yang menonjol dari kejantanan. Sehingga orang-orang membuat wajahnya penuh dengan rambut. Bahkan, sejarawan medis, Alun Withey, menuliskan bahwa kebangkitan kembali jenggot tebal dan lebat di era Victoria tidak hanya berkaitan dengan fesyen.

"Para dokter mulai menganjurkan para pria untuk memelihara jenggot sebagai cara menangkal penyakit," tulis Colin Schultz kepada Smithsonian Magazine dalam artikelnya In the Victorian Era, Doctors Prescribed Beards to Help Keep Men Healthy, terbitan 15 Mei 2024.

Baca Juga: Tragedi Budaya: Selisik Penghancuran Situs-Situs Penting Sejarah Dunia

Jenggot pernah tenar karena alasan kesehatan. (Deagreez/Getty Images/iStockphoto)

Ya, abad kesembilan belas cenderung dengan pria berjenggot tebal, sangat cocok untuk menandai semangat zaman baru. Zaman yang ditandai dengan norma dan budaya yang berubah.

Popularitas rambut wajah atau jenggot yang tebal kembali dibantu oleh sebagian besar "fakta" medis yang salah dilaporkan tentang manfaat kesehatan jenggot. Pada pertengahan abad kesembilan belas, dokter mulai mendorong pria untuk memiliki jenggot tebal.

Kebanyakan dokter dan juga Ratu Victoria menyebut jika memelihara dan memanjangkan jenggot atau rambut-rambut wajah merupakan sarana untuk menangkal penyakit.

Meskipun manfaat medis jenggot seperti yang dibayangkan oleh oleh para dokter dan Ratu Victoria tidak benar-benar ada. Setidaknya, masuk akal mengapa banyak yang berteori bahwa jenggot itu sehat.

Revolusi Industri menyaksikan pembakaran batu bara dalam jumlah yang sangat besar, yang mengakibatkan tingkat polusi udara yang sangat besar. Jenggot mulai menjadi isu penangkal penyakit selama masa itu.

Ditambah dengan teori kuman yang saat itu masih baru, yang telah didengar oleh banyak dokter tetapi belum sepenuhnya dipahami. Maka dapat dimengerti bahwa ada banyak kekhawatiran dengan hal-hal buruk kecil yang mengambang di udara.

Dokter beralasan bahwa rambut wajah yang tebal dapat menyaring udara buruk dan partikel kecil yang buruk yang mengambang di dalamnya. Beberapa bahkan menyatakan pendapat medis bahwa jenggot dapat mencegah sakit tenggorokan.

Tentu saja, seperti yang kita ketahui sekarang, bahwa jenggot tidak memiliki kemampuan untuk menyaring udara. Kotoran, termasuk kuman berbahaya dan polutan udara, terlalu kecil untuk terhadang dan tersaring oleh rambut wajah.

Faktanya, jenggot sebenarnya melakukan kebalikan dari apa yang dipikirkan oleh Ratu Victoria, yang melihatnya sebagai simbol kejantanan dan ketangguhan seorang pria. Begitu pula dengan berita yang menyebut jika jenggot atau rambut wajah dapat menjaga kesehatan.

Alih-alih menyaring bakteri berbahaya, kuman dan partikel berbahaya kecil lainnya malah dapat menempel pada jenggot, yang dengan demikian meningkatkan risiko penyakit, alih-alih mengurangi kemungkinan infeksi.