Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad manusia menemukan banyak cara untuk memanfaatkan suara dalam peperangan. Hiruk pikuk seakan pertempuran belum cukup mengerikan. Penggunaan suara dalam perang telah berkembang selama ribuan tahun sepanjang sejarah dunia. Mulai dari suara alami hewan hingga perangkat sonik canggih saat ini, suara menjadi senjata andalan di medan tempur.
Suara untuk memancing “tarian” di tengah pertempuran
Pada zaman kuno, kuda kavaleri dilatih untuk tahan terhadap musik pipa yang menusuk. Namun, ada cara lain untuk melawan musik itu.
Pada abad ketujuh SM, suku Kardia dari Thrace terkenal dengan kavalerinya. Untuk hiburan, para prajurit berkuda mengajari kuda mereka menari mengikuti alunan pipa. Sambil berdiri tegak dan mencakar udara, kuda-kuda mengikuti alunan musik yang meriah.
Ditangkap saat masih kecil dari Bisaltia di timur laut Yunani, seorang tahanan bernama Naris mendengar tentang kuda-kuda penari yang mengagumkan itu. Penulis Yunani kuno Athenaeus menuturkan bahwa Naris melarikan diri, kembali ke Bisaltia. Ia pun bersiap untuk berperang melawan Kardia.
Naris memiliki senjata rahasia: seorang gadis peniup seruling yang juga melarikan diri dari Kardia. Gadis itu mengajarkan lagu-lagu dari pesta-pesta Kardia kepada para prajurit Bisaltia. Naris memimpin pasukannya untuk melawan kavaleri Kardia. Ia memberi isyarat kepada para peniup serulingnya untuk bermain.
Sambil menajamkan telinga mereka dengan alunan lagu-lagu yang sudah dikenal, kuda-kuda Kardia berdiri tegak untuk menari. “Kuda-kuda itu pun menjatuhkan para penunggangnya,” tulis Adrienne Mayor di laman Big Think. Di tengah kekacauan itu, para Bisaltia menghancurkan para Kardia.
Ketika jeritan meneror tank-tank hidup
Para prajurit kavaleri zaman kuno klasik membiasakan kuda-kuda mereka dengan benturan senjata perunggu. Namun pada abad keempat SM, para penerus Aleksander Agung membawa gajah perang dari India. Suara gajah yang menggelegar membuat kuda-kuda menjadi heboh.
Aleksander belajar dari Raja Porus selama serangan militernya di India pada tahun 326 SM. Dari sang raja, ia mengetahui bahwa gajah memiliki pendengaran yang sensitif dan penglihatan yang buruk. Hal ini membuat gajah tidak suka dengan suara keras dan sumbang yang tidak terduga.
Ketika pengintai Aleksander melaporkan bahwa gajah mendekat, Porus menyarankan para penunggang kuda Aleksander untuk membawa babi dan terompet. Mereka berkuda untuk menyambut gajah-gajah itu. Suara melengking babi yang dipadukan dengan terompet yang memekakkan telinga membuat gajah-gajah melarikan diri.
Baca Juga: Plumbata: Anak Panah yang Jadi Senjata Mematikan di Kekaisaran Romawi
Source | : | Big Think |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR