Definisi yang tak seragam
Salah satu hal yang menarik terkait istilah hutan dan deforestasi adalah ketidakseragaman definisi dari kedua istilah tersebut. Setidaknya itulah yang ditangkap dari salah satu uraian Dr. Ir. Tungkot Sipayung dalam buku berjudul “The Myths vs. Facts: The Indonesian Palm Oil Industry in Social, Economic, and Environmental Global Issues.”
Menurut Tungkot, terdapat lebih dari 1600 definisi tentang hutan dan ada 240 definisi dari pohon yang diadopsi oleh berbagai negara baik itu pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
“Definisi-definisi tersebut tergantung pada kerapatan pohon, tinggi pohon, penggunaan lahan, kedudukan hukum, dan fungsi ekologisnya,” papar Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI tersebut.
Perbedaan definisi terkait hutan tersebut, dalam pandangan Tungkot, akan membuat definisi tentang deforestasi juga akan berbeda-beda di setiap negara.
Tungkot mengambil contoh semak belukar. Di Indonesia, ekosistem ini umumnya tidak dianggap sebagai hutan. Namun, jika kita merujuk pada definisi yang ditetapkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), semak belukar justru masuk dalam kategori hutan.
Situasi serupa juga terjadi pada sabana. Di Afrika, padang rumput luas dengan pohon-pohon yang tersebar ini sering kali dianggap sebagai hutan. Padahal, berdasarkan definisi FAO, sabana tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai hutan.
Hanya saja, apapun definisi yang digunakan, pada faktanya perkebunan kelapa sawit memang telah mengalihfungsikan banyak hutan tropis. Yang berbeda hanya jumlah luas hutan yang dialihfungsikan, tergantung definisi.
Black campaign dari Barat?
Bagi, Indra Syahputra, Direktur Riset PT Socfindo, isu tentang deforestasi yang menyatakan bahwa industri kelapa sawit merusak hutan primer beserta dengan satwa-satwanya merupakan bagian dari black campaign yang dilakukan Barat.
Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit