Antara Kelapa Sawit dan Hutan: Intensifikasi dan Upaya Kembali ke Multikultur

By Ade S, Jumat, 8 November 2024 | 18:03 WIB
Salah satu upaya intensifikasi adalah dengan menciptakan bibit yang unggul. Seperti yang dilakukan oleh SSPL PT Socfindo di Serdang Bedagai, Sumatra Utara. (Ade Sulaeman/National Geographic)

Gap tersebut saat ini sedang berusaha keras untuk bisa dikurangi melalui good agricultural practices yang lebih baik, baik dari sisi penanaman, perawatan, hingga pemanenan. Termasuk di dalamnya adalah mendorong penggunaan bibit yang unggul.

Tungkot menjelaskan bahwa saat ini ada beberapa kebun PTPN sudah mampu menghasilkan CPO sebanyak 7-8 ton per hektar per tahun. “Artinya itu bukan hal yang mustahil,” jelasnya.

Musim Mas Group, salah satu perusahaan kelapa sawit terintegrasi terbesar di dunia, baru-baru ini bahkan memperkenalkan 4 varietas unggul yang diklaim mampu menghasilkan CPO sebesar 9 hingga 10 ton per hektar per tahun.

Jumlah yang sama juga diklaim mampu dihasilkan oleh varietas PPKS 540 NG. Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Winarna Winarna menyebut, “varietas ini juga memiliki keunggulan berupa toleran terhadap ganoderma, penyakit busuk pangkal batang yang memicu masalah serius nan mematikan.”

Namun, Winarna juga menekankan bahwa varietas-varietas unggul tersebut juga harus dipastikan sudah tersertifikasi dari produsen resmi agar hasilnya terjamin.

Tungkot lalu mengambil contoh program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Jika kondisi saat ini masih berkisar pada angka 3 ton per hektar per tahun, Tungkot berharap kelak jumlahnya meningkat menjadi 6 ton per hektar per tahun. Tentunya dengan menggunakan lahan yang sama.

Dengan cara ini, Tungkot memprediksi Indonesia mampu menghasilkan 100 juta ton per hektar per tahun pada 2050.

Belajar dari Guatemala

Guatemala, negara yang selama ini mungkin tak terlalu sering kita dengar dalam konteks pertanian, kini tengah menjadi sorotan dunia. Kenapa? Negara Amerika Tengah ini berhasil menemukan cara unik untuk menumbuhkan kelapa sawit tanpa mengorbankan hutan hujan.

Bayangkan sebuah kebun yang bukan hanya ditanami kelapa sawit, tapi juga berbagai tanaman lain. Pola tanam seperti mosaik ini, yang diperkenalkan oleh perusahaan besar dan diadopsi oleh petani kecil, ternyata membawa berkah. Hasil panen jadi lebih melimpah, sementara hutan tetap terjaga.

"Industri di tempat-tempat seperti Guatemala telah menunjukkan bahwa sektor kelapa sawit memiliki potensi untuk mencapai produktivitas yang lebih tinggi per hektar dengan praktik manajemen yang baik, penggunaan varietas modern yang produktif, dan fokus pada keberlanjutan," ujar D’Cruz dalam laporan yang dibuat oleh Stockholm Environment Institute.

Rahasia Guatemala tak berhenti sampai di situ. Negara ini juga berhasil meraih prestasi mengagumkan: 60% dari perkebunan kelapa sawitnya sudah bersertifikat RSPO. Angka ini adalah yang tertinggi di dunia! Artinya, komitmen Guatemala terhadap kelestarian lingkungan dalam industri kelapa sawit sangatlah kuat.

Keberhasilan Guatemala tentu saja menarik perhatian negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia, seperti Indonesia dan Malaysia. D’Cruz menyarankan agar kedua negara ini belajar dari pengalaman Guatemala.

Dengan menerapkan praktik yang sama, bukan tidak mungkin mereka bisa meningkatkan produktivitas perkebunan sambil menjaga kelestarian alam.