Nationalgeographic.grid.id—Pada artikel sebelumnya kita telah mengulas tentang laju deforestasi yang terjadi akibat perkebunan kelapa sawit.
Data memang menunjukkan bahwa pertumbuhan "dosa" tersebut saat ini sudah jauh menurun. Terutama jika kita membandingkannya dengan periode 2008-2012.
Upaya tersebut diiringi dengan proses intensifikasi, yaitu sebuah cara mengoptimalkan produksi dari lahan-lahan perkebunan kelapa sawit yang sudah ada.
Singkatnya, intensifikasi adalah upaya untuk melipatgandakan hasil produksi perkebunan kelapa sawit tanpa perlu menambah luas lahan dari perkebunan itu sendiri.
Upaya mengembalikan perkebunan sawit dari yang semula monokultur menjadi multikultur juga sudah berhasil dilakukan Guatemala juga patut untuk menjadi perhatian dalam upaya meningkatkan atau bahkan mengembalikan keanekaragaman hayati di sekitar perkebunan sawit.
Namun, sebelum membahas kedua hal tersebut, kita simak terlebih dahulu masalah konflik lahan dalam perkebunan kelapa sawit yang masih saja terjadi hingga saat ini.
Taat aturan untuk hindari konflik lahan
Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah adanya konflik lahan antara korporasi dengan warga lokal, termasuk para masyarakat adat.
Saat berkunjung ke wilayah Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tim National Geographic Indonesia menemukan adanya keluhan dari masyarakat terkait isu lahan.
Mereka mengaku berulang kali berusaha mengambil alih kembali lahan yang sudah habis masa Hak Guna Usahanya dari salah satu perusahaan kelapa sawit milik pemerintah.
Namun, meski sudah ada kekuatan hukum di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, lahan-lahan tersebut tak kunjung dikembalikan.
Baca Juga: Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia: Hampir Berakhir Sebagai Tanaman Hias
Terkait hal tersebut, Dr. Ir. Tungkot Sipayung pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), menyatakan bahwa kita memang tidak bisa menutup mata terkait adanya konflik lahan terkait industri kelapa sawit.
Hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat, harus diperhatikan dengan baik. Jika masyarakat adat menolak, maka kita harus menghargai keputusan tersebut.
Jangan sampai memaksakan diri membangun perkebunan kelapa sawit di lahan yang sebenarnya sudah jelas-jelas ditolak oleh warga sekitar, terutama masyarakat adat.
“Kembalikan lahan kepada yang memiliki hak atas lahan tersebut. Mengembangkan sawit itu harus taat aturan,” ujar Tungkot saat ditemui National Geographic Indonesia, di Jakarta, Jumat (18/10/2024).
Hanya saja, perlu juga diperhatikan bahwa pada beberapa kasus, lahan-lahan sudah diserahkan oleh masyarakat adat, namun di kemudian hari malah diminta kembali oleh para keturunannya.
Intensifikasi yang semakin intensif
Salah satu upaya untuk mengurangi atau malah menghentikan laju deforestasi untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati melalui minyak kelapa sawit adalah dengan adanya program intensifikasi lahan.
Tungkot menekankan bahwa data terkait penurunan luas area deforestasi (yang dibahas di awal artikel) memang benar adanya. “Saat ini kita sudah mengerem pembukaan lahan baru kecuali untuk petani. Untuk korporasi bahkan sudah dihentikan,” jelasnya.
Untuk itulah, saat ini, banyak pengelola industri kelapa sawit yang lebih menekankan pada intensifikasi, alih-alih ekstensifikasi. Dengan cara ini, produktivitas ditingkatkan bukan dengan menambah luas perkebunan, melainkan dengan mengoptimalkan kebun yang sudah ada.
Apalagi, menurut Tungkot, sebenarnya perkebunan kelapa sawit itu bisa menghasilkan 8 ton CPO per hektar per tahun. Sementara saat ini yang baru tercapai masih pada kisaran 4 ton CPO per hektar per tahun. “Jadi masih ada gap 50% dari potensi!” ungkap Tungkot.
Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit
Gap tersebut saat ini sedang berusaha keras untuk bisa dikurangi melalui good agricultural practices yang lebih baik, baik dari sisi penanaman, perawatan, hingga pemanenan. Termasuk di dalamnya adalah mendorong penggunaan bibit yang unggul.
Tungkot menjelaskan bahwa saat ini ada beberapa kebun PTPN sudah mampu menghasilkan CPO sebanyak 7-8 ton per hektar per tahun. “Artinya itu bukan hal yang mustahil,” jelasnya.
Musim Mas Group, salah satu perusahaan kelapa sawit terintegrasi terbesar di dunia, baru-baru ini bahkan memperkenalkan 4 varietas unggul yang diklaim mampu menghasilkan CPO sebesar 9 hingga 10 ton per hektar per tahun.
Jumlah yang sama juga diklaim mampu dihasilkan oleh varietas PPKS 540 NG. Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Winarna Winarna menyebut, “varietas ini juga memiliki keunggulan berupa toleran terhadap ganoderma, penyakit busuk pangkal batang yang memicu masalah serius nan mematikan.”
Namun, Winarna juga menekankan bahwa varietas-varietas unggul tersebut juga harus dipastikan sudah tersertifikasi dari produsen resmi agar hasilnya terjamin.
Tungkot lalu mengambil contoh program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Jika kondisi saat ini masih berkisar pada angka 3 ton per hektar per tahun, Tungkot berharap kelak jumlahnya meningkat menjadi 6 ton per hektar per tahun. Tentunya dengan menggunakan lahan yang sama.
Dengan cara ini, Tungkot memprediksi Indonesia mampu menghasilkan 100 juta ton per hektar per tahun pada 2050.
Belajar dari Guatemala
Guatemala, negara yang selama ini mungkin tak terlalu sering kita dengar dalam konteks pertanian, kini tengah menjadi sorotan dunia. Kenapa? Negara Amerika Tengah ini berhasil menemukan cara unik untuk menumbuhkan kelapa sawit tanpa mengorbankan hutan hujan.
Bayangkan sebuah kebun yang bukan hanya ditanami kelapa sawit, tapi juga berbagai tanaman lain. Pola tanam seperti mosaik ini, yang diperkenalkan oleh perusahaan besar dan diadopsi oleh petani kecil, ternyata membawa berkah. Hasil panen jadi lebih melimpah, sementara hutan tetap terjaga.
"Industri di tempat-tempat seperti Guatemala telah menunjukkan bahwa sektor kelapa sawit memiliki potensi untuk mencapai produktivitas yang lebih tinggi per hektar dengan praktik manajemen yang baik, penggunaan varietas modern yang produktif, dan fokus pada keberlanjutan," ujar D’Cruz dalam laporan yang dibuat oleh Stockholm Environment Institute.
Rahasia Guatemala tak berhenti sampai di situ. Negara ini juga berhasil meraih prestasi mengagumkan: 60% dari perkebunan kelapa sawitnya sudah bersertifikat RSPO. Angka ini adalah yang tertinggi di dunia! Artinya, komitmen Guatemala terhadap kelestarian lingkungan dalam industri kelapa sawit sangatlah kuat.
Keberhasilan Guatemala tentu saja menarik perhatian negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia, seperti Indonesia dan Malaysia. D’Cruz menyarankan agar kedua negara ini belajar dari pengalaman Guatemala.
Dengan menerapkan praktik yang sama, bukan tidak mungkin mereka bisa meningkatkan produktivitas perkebunan sambil menjaga kelestarian alam.