Sejarah Dunia: Mengapa Tidak Ada Satu Negara pun Mengeklaim Bir Tawil?

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 9 November 2024 | 16:00 WIB
Pendudukan dan pembagian Mesir dan Sudan oleh Inggris menciptakan salah satu perbatasan paling menarik di dunia, yaitu Bir Tawil. ( Jfblanc/CC BY-SA 2.0 fr)

Hal ini dikarenakan Segitiga Hala’ib jauh lebih berharga. Wilayah itu memiliki sumber daya yang berharga, akses ke Laut Merah, dan populasi yang tetap. Sebaliknya, Bir Tawil sebagian besar kosong.  

Menjadi jelas bahwa jika salah satu pihak mengeklaim Bir Tawil, mereka kehilangan klaim mereka atas Segitiga Hala’ib tersebut. Oleh karena itu, Bir Tawil menjadi terra nullius, tidak diklaim oleh negara mana pun.

Konfrontasi pertama antara kedua negara terjadi pada tahun 1958. Saat itu Sudan mencoba mengadakan pemilihan umum di Segitiga Hala’ib. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengirim pasukan ke wilayah tersebut. Tujuannya adalah untuk meningkatkan semangat nasionalis sebelum referendum tentang penyatuan Mesir dan Suriah.

Setelah mendapat kecaman internasional, pasukan ini segera mundur. Namun Sudan perlahan-lahan membangun kehadirannya di wilayah tersebut. Bahkan Segitiga Hala’ib mengambil bagian dalam semua pemilihan umum Sudan hingga tahun 1990-an. Akan tetapi, baik Segitiga Hala’ib maupun Bir Tawil berada di bawah kendali administratif bersama.

Dengan melemahnya kekuatan administratif Sudan menjelang pergantian abad, Mesir berhasil menguasai Segitiga Hala’ib. Mesir menggelontorkan banyak sumber daya ke wilayah tersebut.

Kebuntuan pun muncul di abad ke-21, tidak ada pihak yang mampu sepenuhnya memaksakan klaimnya. Mesir telah mempertahankan kendali de facto, dengan militernya menghalangi setiap upaya warga Sudan untuk mendaftarkan pemilih.

Lebih jauh lagi, pemerintah Mesir terus memindahkan pos administratifnya lebih jauh ke selatan di Segitiga Hala’ib. Mereka membatasi akses ke bahan-bahan yang masuk ke Sudan.

Upaya-upaya Mesir untuk secara birokratis menguras pengaruh Sudan dari wilayah tersebut sebagian besar berhasil. Hanya ada sedikit pertentangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau negara-negara Afrika lainnya.

Namun mengapa Sudan tidak akan pernah sepenuhnya meninggalkan Segitiga Hala’ib? Alasan utamanya adalah karena komposisi etnis Hala’ib masih jauh lebih dekat dengan yang ada di Sudan.  

Dengan fokus kedua negara dan komunitas internasional pada Segitiga Hala’ib, Bir Tawil sebagian besar tetap terlupakan. Kurangnya pembangunan dan perhatian berarti kedua belah pihak mengabaikan Bir Tawil.

Mesir dan Sudan berupaya untuk mengamankan Segitiga Hala’ib yang lebih berharga dan akses ke Timur. Oleh karena itu, Bir Tawil tetap menjadi salah satu tempat yang dapat dihuni di dunia yang tidak diklaim oleh negara mana pun.

Apa yang harus dilakukan dengan Bir Tawil?

Segitiga Bir Tawil dan Hala'ib tampaknya menjadi masalah tanpa solusi yang segera ditemukan. Penggambaran peta yang serampangan oleh Inggris meninggalkan masalah yang tidak teratasi selama lebih dari lima dekade. Sementara Inggris mengelola Mesir dan Sudan sebagai bagian dari pemerintahan Afrika yang lebih luas.

Kemudian, gerakan nasionalis baru yang diikuti oleh kemerdekaan mengangkat isu ini kembali ke permukaan. Para pemimpin Mesir dan Sudan berupaya memperkuat kekuasaan masing-masing. Mereka menggunakan upaya untuk merebut Segitiga Hala’ib guna mengumpulkan penduduk mereka sendiri.

Tampaknya Mesir perlahan-lahan telah menguasai Segitiga Hala’ib. Pasalnya, terjadi pertikaian politik Sudan baru-baru ini. Juga meningkatnya fokus pada gerakan separatis di Darfur dan Sudan Selatan.

Namun dengan penduduk Hala’ib yang lebih dekat dengan Sudan, hal ini sepertinya tidak akan diterima dengan baik. Oleh karena itu, Bir Tawil masih belum diklaim; klaim terkuat mungkin dimiliki oleh suku nomaden yang tinggal di sana.

Jika Perserikatan Bangsa-Bangsa mencapai penyelesaian, hal itu akan menjadi preseden substansial jika isu serupa muncul di masa mendatang. Apakah batas politik (1899) atau administratif (1902) yang diakui dapat menyebabkan klaim lebih lanjut di seluruh dunia? Apakah perlu dilakukan pemeriksaan ulang legitimasi historis perbatasan?