Nationalgeographic.co.id—Pendudukan dan pembagian Mesir dan Sudan oleh Inggris menciptakan salah satu perbatasan paling menarik di dunia. Karena tak diklaim oleh negara mana pun, Bir Tawil berdiri sendiri sebagai terra nullius.
Di perbatasan Mesir dan Sudan terdapat salah satu wilayah paling aneh dalam sejarah dunia. Wilayahnya lebih besar dari London dan New York. Hamparan gurun ini menjadi masalah bagi para pembuat undang-undang internasional selama lebih dari 60 tahun.
Wilayah ini disebut Bir Tawil (sumur air tinggi dalam bahasa Arab). Bir Tawil tidak memiliki populasi tetap, hanya dihuni oleh populasi nomaden.
Karena tidak diklaim oleh Mesir maupun Sudan, Bir Tawil mengungkap pertikaian yang telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Pertikaian itu memunculkan serangkaian masalah dan tantangan hukum dari seluruh penjuru dunia.
Namun, bagaimana Bir Tawil terbentuk? Mengapa tidak ada satu negara pun yang mengeklaimnya?
Latar belakang Bir Tawil dalam sejarah dunia
Sejarah Bir Tawil bermula dari pendudukan Inggris di Mesir pada tahun 1882. Awalnya, Bir Tawil merupakan solusi jangka pendek untuk melindungi kepentingan moneter Inggris di Mesir.
Namun, pada kenyataannya, Inggris ingin mengendalikan perdagangan lokal, melemahkan Kekaisaran Ottoman, dan memperkuat posisinya di sekitar Terusan Suez. Lebih jauh lagi, perebutan wilayah tersebut memicu perebutan Afrika.
Kemudian, terjadi periode yang penuh gejolak di seluruh wilayah dan pemerintahan Inggris, dengan perhatian kerajaan tertuju ke wilayah lain di Afrika. Segera setelah pendudukan, Lord Salisbury, yang kehilangan dukungan dalam perdebatan mengenai pemerintahan dalam negeri, mengundurkan diri.
Ketidakstabilan ini merugikan Kerajaan Inggris. Pasukan Inggris di Mesir menderita banyak kekalahan dari kaum nasionalis. Pukulan terakhir terjadi pada Pengepungan Khartoum pada tahun 1885 dan kekalahan serta kematian Jenderal Charles Gordon. Gordon adalah pahlawan Kerajaan Inggris yang sangat dihormati oleh masyarakat.
Pasukan Inggris menarik diri dari Sudan dan tidak kembali selama satu dekade. Pada tahun 1896, Lord Salisbury yang telah menjadi perdana menteri pun kembali. Ia memerintahkan operasi untuk mengamankan sumber Sungai Nil dan mencegah kekuatan dunia lain melakukan hal yang sama.
Baca Juga: Tragedi Budaya: Selisik Penghancuran Situs-Situs Penting Sejarah Dunia
Operasi tersebut dipimpin oleh Herbert Kitchener. Kitchener berpendapat bahwa pendudukan Sudan diperlukan untuk melindungi Mesir dan menjaga agar rute perdagangan ke India tetap aman.
Selama perebutan Afrika, pasukan Inggris bergerak cepat ke Sudan sebelum bertemu dengan pasukan Prancis di Fashoda. Konfrontasi yang terjadi antara kedua pasukan tersebut memicu insiden diplomatik yang akan membagi Afrika Utara Timur dan Barat. Pertempuran Omdurman pada tahun 1898 merupakan kemenangan yang menentukan melawan pasukan Mahdi. Inggris mengamankan wilayah tersebut.
Batas wilayah Bir Tawil ditentukan
Wilayah yang baru ditaklukkan ini sekarang perlu dikelola. Inggris semakin terlibat di Mesir. Sudan, untuk saat ini, berada di bawah kendali Mesir dan memiliki protektorat terselubung. Keputusan untuk membagi keduanya diambil pada tahun 1899, setahun setelah penaklukan Kitchener.
Upaya pertama untuk menggambar ulang batas wilayah mengikuti pola yang sama dengan cara negara-negara Eropa menggambar ulang wilayah Afrika lainnya. Yaitu dengan garis lurus tanpa mempertimbangkan perbedaan geografis, budaya, atau etnis.
Namun, dalam kasus yang jarang terjadi karena menyadari kesalahan mereka sendiri, pemerintah Inggris dengan cepat membalikkan posisinya. Dan pada tahun 1902, Inggris menggambar ulang peta di sepanjang garis administratif.
Penggambaran ulang itu memberi Mesir kendali atas suku nomaden Abadba, yang memiliki hubungan budaya yang lebih dekat. Sebaliknya, Sudan diberi akses lebih jauh ke Laut Merah dan suku Beja, di utara garis batas asli.
Dua wilayah yang baru dibuat menonjol ketika kedua peta ini diletakkan di atas satu sama lain. Di sebelah selatan perbatasan asli adalah Bir Tawil dan di sebelah utara adalah Segitiga Hala'ib.
Perbatasan kedua akan tetap berlaku untuk sementara waktu. Kontrol langsung Inggris atas Sudan dan kontrol de facto di Mesir berarti masalah apa pun dengan cepat diselesaikan. Namun ketika Sudan meraih kemerdekaan pada abad berikutnya, masalah muncul.
Masalah selama kemerdekaan Sudan
Kemerdekaan Sudan pada tahun 1956 kembali memperuncing masalah perbatasan. Mesir mengakui perbatasan tahun 1899. Sedangkan pemerintah Sudan yang baru dibentuk memilih perbatasan yang digambar ulang tahun 1902.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Fakta Praktik Menciutkan Kepala di Pasifik dan Amazon
Hal ini dikarenakan Segitiga Hala’ib jauh lebih berharga. Wilayah itu memiliki sumber daya yang berharga, akses ke Laut Merah, dan populasi yang tetap. Sebaliknya, Bir Tawil sebagian besar kosong.
Menjadi jelas bahwa jika salah satu pihak mengeklaim Bir Tawil, mereka kehilangan klaim mereka atas Segitiga Hala’ib tersebut. Oleh karena itu, Bir Tawil menjadi terra nullius, tidak diklaim oleh negara mana pun.
Konfrontasi pertama antara kedua negara terjadi pada tahun 1958. Saat itu Sudan mencoba mengadakan pemilihan umum di Segitiga Hala’ib. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengirim pasukan ke wilayah tersebut. Tujuannya adalah untuk meningkatkan semangat nasionalis sebelum referendum tentang penyatuan Mesir dan Suriah.
Setelah mendapat kecaman internasional, pasukan ini segera mundur. Namun Sudan perlahan-lahan membangun kehadirannya di wilayah tersebut. Bahkan Segitiga Hala’ib mengambil bagian dalam semua pemilihan umum Sudan hingga tahun 1990-an. Akan tetapi, baik Segitiga Hala’ib maupun Bir Tawil berada di bawah kendali administratif bersama.
Dengan melemahnya kekuatan administratif Sudan menjelang pergantian abad, Mesir berhasil menguasai Segitiga Hala’ib. Mesir menggelontorkan banyak sumber daya ke wilayah tersebut.
Kebuntuan pun muncul di abad ke-21, tidak ada pihak yang mampu sepenuhnya memaksakan klaimnya. Mesir telah mempertahankan kendali de facto, dengan militernya menghalangi setiap upaya warga Sudan untuk mendaftarkan pemilih.
Lebih jauh lagi, pemerintah Mesir terus memindahkan pos administratifnya lebih jauh ke selatan di Segitiga Hala’ib. Mereka membatasi akses ke bahan-bahan yang masuk ke Sudan.
Upaya-upaya Mesir untuk secara birokratis menguras pengaruh Sudan dari wilayah tersebut sebagian besar berhasil. Hanya ada sedikit pertentangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau negara-negara Afrika lainnya.
Namun mengapa Sudan tidak akan pernah sepenuhnya meninggalkan Segitiga Hala’ib? Alasan utamanya adalah karena komposisi etnis Hala’ib masih jauh lebih dekat dengan yang ada di Sudan.
Dengan fokus kedua negara dan komunitas internasional pada Segitiga Hala’ib, Bir Tawil sebagian besar tetap terlupakan. Kurangnya pembangunan dan perhatian berarti kedua belah pihak mengabaikan Bir Tawil.
Mesir dan Sudan berupaya untuk mengamankan Segitiga Hala’ib yang lebih berharga dan akses ke Timur. Oleh karena itu, Bir Tawil tetap menjadi salah satu tempat yang dapat dihuni di dunia yang tidak diklaim oleh negara mana pun.
Apa yang harus dilakukan dengan Bir Tawil?
Segitiga Bir Tawil dan Hala'ib tampaknya menjadi masalah tanpa solusi yang segera ditemukan. Penggambaran peta yang serampangan oleh Inggris meninggalkan masalah yang tidak teratasi selama lebih dari lima dekade. Sementara Inggris mengelola Mesir dan Sudan sebagai bagian dari pemerintahan Afrika yang lebih luas.
Kemudian, gerakan nasionalis baru yang diikuti oleh kemerdekaan mengangkat isu ini kembali ke permukaan. Para pemimpin Mesir dan Sudan berupaya memperkuat kekuasaan masing-masing. Mereka menggunakan upaya untuk merebut Segitiga Hala’ib guna mengumpulkan penduduk mereka sendiri.
Tampaknya Mesir perlahan-lahan telah menguasai Segitiga Hala’ib. Pasalnya, terjadi pertikaian politik Sudan baru-baru ini. Juga meningkatnya fokus pada gerakan separatis di Darfur dan Sudan Selatan.
Namun dengan penduduk Hala’ib yang lebih dekat dengan Sudan, hal ini sepertinya tidak akan diterima dengan baik. Oleh karena itu, Bir Tawil masih belum diklaim; klaim terkuat mungkin dimiliki oleh suku nomaden yang tinggal di sana.
Jika Perserikatan Bangsa-Bangsa mencapai penyelesaian, hal itu akan menjadi preseden substansial jika isu serupa muncul di masa mendatang. Apakah batas politik (1899) atau administratif (1902) yang diakui dapat menyebabkan klaim lebih lanjut di seluruh dunia? Apakah perlu dilakukan pemeriksaan ulang legitimasi historis perbatasan?