Rendang dan Gudeg: Jejak Tradisi dan Sejarah dalam Setiap Sajian

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 12 November 2024 | 10:00 WIB
Rendang di rumah makan Randang Rajo Rajo dimasak dengan otentik, menggunakan tungku besar berbahan bakar kayu. Rendang dianggap sebagai makanan yang disajikan untuk para raja. Para juru masak Randang Rajo Rajo ingin pelanggannya merasakan sensasi memakan kuliner khas untuk para raja. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Dalam jurnal Menelisik Sejarah Gudeg Sebagai Alternatif Wisata dan Citra Kota Yogyakarta (Sejarah dan Budaya Vol 15 No 1, 2021) disebutkan sejarah gudeg berkaitan dengan pembangunan Kerajaan Mataram.

Kerajaan Mataram yang dibangun pada tahun 1500-an itu berada di wilayah yang memiliki banyak pohon nangka yang buahnya melimpah. Rakyat Mataram saat itu mulai mencari cara untuk membuat masakan yang berbahan dasar nangka, terutama gori atau nangka muda.

Gudeg Yu Djum di Jalan Wijilan No 167 Selatan Plengkung Wijilan Yogyakarta (Lutfi Fauziah)
Nangka tidak termasuk hasil pertanian yang diincar penjajah dan memiliki nilai jual yang rendah, sehingga mereka mulai mengolahya dengan cara direbus cukup lama hingga teksturnya lembut, kemudian diberi bumbu rempah sederhana dan campuran kelapa.

"Tidak disebutkan kapan gori itu pertama kali dimasak. Tapi gudeg awalnya 'limbah nangka' dan merupakan makanan rakyat biasa seperti prajurit atau buruh," ungkap LS Mega Wijaya Kurniawati dan Rustono FM. Karena dimasak dalam porsi besar untuk orang banyak, maka wadahnya pun menggunakan ember besar dari logam dan diaduk menggunakan alat yang menyerupai dayung perahu.

"Teknik mengaduk ini dalam Bahasa Jawa disebut hangudek atau hangudeg, dan dari sinilah nama gudeg berasal hingga dikenal luas," paparnya. Sumber lain yang menyebut tentang kudapan ini adalah Serat Centhini, yang dikenal sebagai Ensiklopedia Kebudayaan Jawa.

Sebab, Serat yang disusun oleh tiga tenaga ahli dari Keraton Solo ini meliput berbagai pengetahuan, dari sejarah, geografi, arsitektur, ilmu agama, seni, seksologi, kuliner, dan lain-lain. Dalam buku itu dijelaskan bahwa gudeg nangka bumbunya terdiri dari daun salam, daun jeruk, lengkuas, gula jawa, santan, kemiri, ketumbar, terasi, jintan, dan garam.

Pada tahun 1700-an, gudeg semakin populer, seiring dengan berkembangnya Yogyakarta sebagai kota pada tahun 1980-an. Seiring waktu, gudeg berkembang dari yang awalnya dijual di warung kaki lima menjadi menu istimewa dan suvenir populer dari Yogyakarta.

Selain itu, gudeg kini tidak hanya dikemas dalam wadah anyaman tradisional yang disebut besek (wadah makanan dari bambu) karena sekarang juga tersedia dalam kaleng.

Gudeg memiliki dua variasi: gudeg basah, yang disajikan dengan kuah santan yang dikenal sebagai areh dan memiliki tekstur lembap, serta gudeg kering, yang dikeringkan melalui proses tumis, menghasilkan warna cokelat kemerahan.

Sebelum gudeg dalam kemasan kaleng, gudeg kering biasanya dikemas dalam kendil (pot tanah liat) dan masih dapat dinikmati hingga keesokan harinya.