Nationalgeographic.co.id—Rendang yang tersohor sebagai sajian makanan dari ranah Minang, Sumatera Barat, berasal dari bahasa Minang, yaitu randang.
Kata tersebut merujuk pada teknik memasak bernama marandang, yang berarti mengolah dan mengaduk masakan dalam waktu yang lama sehingga hasil masakan menjadi kering.
Terciptanya kuliner rendang berasal dari hasil akulturasi budaya yang masuk ke Minang. Salah satu kuliner yang sejenis dengan hidangan rendang yaitu kuliner kari dari India.
Pengaruh India dalam Resep Rendang, menurut sejarawan Gusti Asnan, tak luput dari pengaruh bumbu-bumbu dari India yang diperoleh melalui para pedagang Gujarat, India, yang mulai singgah ke Sumatera pada abad ke-13 hingga 14.
Sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pengelana Portugis, Tom Pires, turut menguatkan bukti bahwa masakan rendang pada masa ini tak lepas dari pengaruh India.
Menurutnya, pada awal abad ke-16 sudah ada kapal Gujarat yang berlabuh di pantai Sumatera Barat. Mereka mendarat kemudian berdagang di Pulau Tiku (sekarang Kabupaten Agam) dan pelabuhan Pariaman.
Gusti Anan berpendapat bahwa jika awal abad ke-16 saja bangsa India sudah tercatat berdagang di Sumatera, maka otomatis jauh sebelum itu, mereka pun telah ada.
Salah satu pengaruh India yang melebur dalam masakan rendang adalah pemakaian santan sebagaimana kebiasaan yang berasal dari India Selatan.
India Utara tidak memakai santan sebagai bahan pengental, mereka memakai yoghurt, sementara India Selatan memakai santan. Hal ini berarti pengaruh santan yang masuk ke dalam masakan rendang berasal dari India Selatan.
Rendang dan tradisi merantau
Keberadaan rendang bagi orang Minang tidak hanya sebagai suatu masakan melainkan juga erat kaitannnya dengan kebudayaan Minang.
Baca Juga: Kisah yang Luput dari Korban Erupsi Vesuvius di Kota Pompeii Kuno
Kalau dilihat dari sejarahnya, keberadaan rendang berkaitan dengan tradisi marantau (merantau) dan budaya pandai besi di Minang. Orang Minang terkenal dengan budaya merantau, yaitu meninggalkan kampung halaman di Sumatera Barat dan berjuang di kampung halaman orang.
"Mula-mula rendang diciptakan lantaran masyarakat Minang butuh makanan untuk dibawa lebih dari 2 bulan," ungkap Heri Priyatmoko dalam Menyelisik Industri Kuliner Berbahan Rempah di Kota Gudeg.
Hal ini, ditegaskan oleh Heri, disebabkan oleh kebiasaan merantu suku Minang. Termasuk saat perjalanan menggunakan kapal laut selama beberapa bulan untuk menjelanakan ibadah haji ke Mekkah, Arab Saudi.
"Makanya, (makanan) diawetkan dengan cara dikeringkan. Jika dimasak dengan benar sampai kering, rendang mampu tahan 1-3 bulan di udara terbuka," tulisnya.
Hingga saat ini, fakta bahwa rumah makan Padang bisa banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia juga menjadi bukti tradisi merantau masyarakat Minang.
Gudeg dan kerajaan Mataram
Sementara itu di belahan bagian Indonesia lainnya, yaitu Yogyakarta, ada makanan legendaris gudeg yang sudah ada sejak zaman kuno.
Dalam jurnal karya Maya Putri Utami, Anand Reyna Maulana, Ekawati Marhaenny Dukut, dan Dyah Wulandari yang berjudul Modern Javanese Canned Gudeg Viewed from Cultural, Food Safety, and Visual Design Perspectives, mereka mengungkap bahwa hidangan khas ini telah menjadi bagian dari budaya kuliner daerah tersebut selama berabad-abad.
"Meskipun asal-usul pasti gudeg tidak diketahui, diyakini bahwa hidangan ini dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha yang berkembang di Jawa pada masa lalu."
Baca Juga: Tradisi 'Tabuik' Minangkabau Warisan Perang Karbala Era Kekhalifahan
"Gudeg memiliki kemiripan dengan masakan India dalam hal penggunaan rempah dan bumbu, yang dapat ditelusuri dari pengaruh sejarah ini," katanya.
Dalam jurnal Menelisik Sejarah Gudeg Sebagai Alternatif Wisata dan Citra Kota Yogyakarta (Sejarah dan Budaya Vol 15 No 1, 2021) disebutkan sejarah gudeg berkaitan dengan pembangunan Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram yang dibangun pada tahun 1500-an itu berada di wilayah yang memiliki banyak pohon nangka yang buahnya melimpah. Rakyat Mataram saat itu mulai mencari cara untuk membuat masakan yang berbahan dasar nangka, terutama gori atau nangka muda.
"Tidak disebutkan kapan gori itu pertama kali dimasak. Tapi gudeg awalnya 'limbah nangka' dan merupakan makanan rakyat biasa seperti prajurit atau buruh," ungkap LS Mega Wijaya Kurniawati dan Rustono FM. Karena dimasak dalam porsi besar untuk orang banyak, maka wadahnya pun menggunakan ember besar dari logam dan diaduk menggunakan alat yang menyerupai dayung perahu.
"Teknik mengaduk ini dalam Bahasa Jawa disebut hangudek atau hangudeg, dan dari sinilah nama gudeg berasal hingga dikenal luas," paparnya. Sumber lain yang menyebut tentang kudapan ini adalah Serat Centhini, yang dikenal sebagai Ensiklopedia Kebudayaan Jawa.
Sebab, Serat yang disusun oleh tiga tenaga ahli dari Keraton Solo ini meliput berbagai pengetahuan, dari sejarah, geografi, arsitektur, ilmu agama, seni, seksologi, kuliner, dan lain-lain. Dalam buku itu dijelaskan bahwa gudeg nangka bumbunya terdiri dari daun salam, daun jeruk, lengkuas, gula jawa, santan, kemiri, ketumbar, terasi, jintan, dan garam.
Pada tahun 1700-an, gudeg semakin populer, seiring dengan berkembangnya Yogyakarta sebagai kota pada tahun 1980-an. Seiring waktu, gudeg berkembang dari yang awalnya dijual di warung kaki lima menjadi menu istimewa dan suvenir populer dari Yogyakarta.
Selain itu, gudeg kini tidak hanya dikemas dalam wadah anyaman tradisional yang disebut besek (wadah makanan dari bambu) karena sekarang juga tersedia dalam kaleng.
Gudeg memiliki dua variasi: gudeg basah, yang disajikan dengan kuah santan yang dikenal sebagai areh dan memiliki tekstur lembap, serta gudeg kering, yang dikeringkan melalui proses tumis, menghasilkan warna cokelat kemerahan.
Sebelum gudeg dalam kemasan kaleng, gudeg kering biasanya dikemas dalam kendil (pot tanah liat) dan masih dapat dinikmati hingga keesokan harinya.