Usmar Ismail: Tokoh NU Bergelar Pahlawan yang Berdakwah Lewat Budaya

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 13 November 2024 | 10:00 WIB
Usmar Ismail merupakan Bapak Film Indonesia (wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Ditetapkan menjadi pahlawan nasional pada 5 November 2021, pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU), Usmar Ismail pernah mendapat amanah sebagai Ketua I Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1964-1970.

Putra bungsu dari seorang bangsawan asal Sumatera Barat, yakni Datuk Tumenggung Ismail dan Siti Fatimah ini juga dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia, dan juga Bapak Film Indonesia. 

Usmar Ismail lahir pada 20 Maret 1921 dan tumbuh mendapatkan pendidikan formal yang baik. Ia mengawalinya dengan berstudi di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) tingkat dasar di Batu Sangkar, lalu melanjutkannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Simpang Haru, Padang, dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta.

Setelah itu, ia menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat, tepatnya di Universitas California, Los Angeles. Di Negeri Paman Sam itu, Usmar mengambil studi sinematografi.

Hal tersebut membuatnya semakin kaya dengan pengetahuan dan pengalaman mengenai perfilman. Bahkan, satu dekade setelah pendirian Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), karyanya merambah dunia internasional.

Filmnya yang berjudul Perjuangan mendapat anugerah sebagai film terbaik dalam Festival Film Moskow 1961.

Kelahiran LESBUMI

Pada tahun 1950-an, terjadi polarisasi aliran utama dalam kalangan seniman dan budayawan yaitu aliran universalisme atau humanisme universal oleh seniman Gelanggang dan aliran realisme kreatif atau realisme sosial.

Dalam Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia: Perannya Dalam Pengembangan Budaya Islam di Indonesia Era 1962-1967 yang terbit di jurnal Sejarah dan Peradaban Islam, disebutkan bahwa dalam dua aliran ini memiliki pandangan masing-masing terhadap aliran lain.

"Di antara kedua aliran ini muncullah aliran alternatif yang menjadi penengah keduanya yaitu aliran humanisme religius yang diusung oleh Lesbumi," ungkap Wahyu Amni, Nor Huda, dan Fitriah UIN Raden Fatah Palembang.

Dalam kata lain, Lesbumi yang mengusung nasionalisme religius hadir sebagai jalan tengah di antara perseteruan Manifesto Politik yang diusung Lekra dan Manifes Kebudayaan yang digawangi Goenawan Mohamad dan kawan-kawan.

Baca Juga: Thersites, 'Jack Sparrow' dari Perang Troya dalam Mitologi Yunani

Organisasi Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia atau disingkat Lesbumi berdiri pada tahun 1962 dalam kongres pertama di Bandung.

Lesbumi berdiri sebagai sebuah badan otonom NU. Kongres pertama Lesbumi di Bandung pada awal berdirinya Lesbumi dengan susunan awal ketua pertama dari Lesbumi yaitu Djamaluddin Malik, ketua II yaitu Usmar Ismail, dan ketua III yaitu Asrul Sani.

"Ketiga tokoh pemimpin Lesbumi pada periode pertama merupakan tokoh dalam bidang perfilman Indonesia. Lesbumi kemudian tumbuh sebagai salah satu lembaga kesenian terbesar pada periode tersebut," tulisnya.

Kehadiran Lesbumi berguna menjadi penghadang terhadap ideologi komunis yang disebarkan PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui Lekra, lembaga kesenian yang saat itu bergabung dengan PKI.

Banyak seniman muslim yang tergabung dalam Lesbumi menjadi bukti keberhasilan dari Lesbumi. Saat itu pengaruh Lesbumi bukan hanya pada bidang kesenian dan kebudayaan nasional akan tetapi Lesbumi juga menghantarkan Indonesia dalam dunia internasional.

Dakwah Kebudayaan LESBUMI

Usmar mengabdikan diri sebagai Ketua Lesbumi sejak pendiriannya pada 1962. Ia aktif di bawah bendera Nahdlatul Ulama.

Bahkan, ia tercatat sebagai anggota parlemen mewakili NU yang kala itu masih menjadi partai. Ia dianggap sebagai musuh bagi kalangan seniman yang aktif dan bergabung di Lekra sebagaimana ditulis Syakir NF dalam Satu Abad Usmar Ismail, Tokoh NU Bapak Perfilman Indonesia.

"Namun, posisinya yang kuat di NU membuat Usmar tidak gentar menghadapi berbagai upaya yang mengusiknya. Keaktifannya dalam tubuh NU dengan latar belakang keluarganya yang agamis memberikan warna tersendiri dalam beberapa film yang dibuatnya," papar Syakir.

KH Saifuddin Zuhri yang kala itu menjadi Menteri Agama pernah secara khusus meminta pertimbangan kepadanya dan rekanannya di Lesbumi saat hendak membuat film haji berjudul Panggilan Tanah Sutji (1963).

Hal ini dilakukan Kiai Saifuddin sebagai bentuk perlawanan terhadap Lekra yang merupakan organisasi di bawah PKI.

Baca Juga: Sejarah Dunia: Jadi Penghubung Asia-Eropa, Bagaimana Jalur Sutra Terbentuk?

Kebudayaan, termasuk film ini, menurut Sekretaris Jenderal PBNU era KH Idham Chalid itu, adalah cara untuk menghadapi PKI yang memiliki paham anti agama.

Terdapat tiga faktor ekstern yang menjadi momen historis kelahiran Lesbumi. Pertama, dikeluarkannya manifesto politik oleh presiden Soekarno.

Kedua, pengarustamaan nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia pada tahun 1960-an, dan ketiga, perkembangan Lekra (1950), organisasi kebudayaan yang sejak akhir tahun 1950-an dan seterusnya semakin menampakkan kedekatan hubungan dengan PKI baik secara kelembagaan maupun ideologis.

Sedangkan perhatian partai NU dalam bidang kebudayaan khususnya dalam kesenian memunculkan adanya keinginan dari beberapa kiai yang ingin memperbarui kebudayaan yang ada dalam NU serta mengikuti kemajuan zaman. Hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu faktor berdirinya Lesbumi dalam tubuh NU.

Beberapa gerakan Lesbumi dalam pengembangan budaya Islam mencakup beberapa bidang. Pertama, bidang perfilman dengan melakukan pengenalan film bioskop kepada warga NU yang pada tahun 1960-an tidak mengenal bioskop.

Antusiasme terlihat dari banyaknya warga NU yang hadir dalam pemutaran film pertama Lesbumi pada tahun 1964 yang berjudul Panggilan Tanah Suci.

Film ini merupakan film islami yang digarap oleh Lesbumi yang bekerjasama dengan Departemen Penerangan RI, Depratemen Agama RI, Persari Film dan Sativa.

Kedua, bidang seni teater dengan mengembangkan kesenian teater Lesbumi di cabang daerah yang berasal dari lingkungan pesantren dan diisi oleh para santri.

Teater dari Lesbumi ini sendiri pada awalnya dibuka dengan tabuhan musik dari rebana. Salah satu seni teater di bawah naungan Lesbumi terdapat di daerah Situbondo.

Kelompok seni teater ini merupakan salah bentuk upaya perpaduan antara seni Islam dan budaya daerah yang diberi nama kelompok “Al Badar”.

Ketiga, bidang seni tari dengan salah satu contoh kesenian tari Islam yaitu tari Kuntulan. Tari Kuntulan yang berasal dari wilayah Jawa Timur. Menurut sejarah, tarian ini muncul pada tahun 1960-an.

Lesbumi cabang wilayah Ponorogo juga membentuk kelompok kesenian tari Reog yaitu kelompok Cabang Kesenian Reog Agama atau “Cakra” dan Kesenian Reog Islam atau “Kris”.

NU di Ponorogo kemudian mencipatakan sebuah seni tari yang dianggap dapat mewakili nilai religi Islam yaitu kesenian gajah-gajahan.

Keempat, bidang seni musik yang menjadi sebuah media dakwah oleh Lesbumi. Perhatian Lesbumi terhadap seni musik Islam sendiri terlihat dari beberapa wilayah cabang Lesbumi yang memiliki kelompok orkes gambus dan dangdut.

Salah satu orkes dangdut yang berkembang di wilayah Banyuwangi yaitu “Orkes Lesbumi Sinar Laut Muntjar”.

Usmar wafat pada 2 Januari 1971 dalam usia yang relatif masih muda, 49 tahun. Dalam sambutannya pada pelepasan jenazah, KH Idham Chalid yang mewakili NU menyebut rekannya tersebut sebagai seniman dan budayawan Muslim yang menjadi ‘Juru Dakwah Islam’.