Dunia Hewan: Mengapa Paus Makan Kantong Plastik? Ini Kata Ilmuwan

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 23 November 2024 | 08:00 WIB
Peneliti mengungkap alasan mengapa paus yang menyelam dalam mengonsumsi plastik. (Gabriel Barathieu/CC BY-SA 2.0)

Nationalgeographic.co.id—Paus bergigi (toothed whale) terdampar mati dengan perut penuh plastik dan mangsa lainnya. Sonar bawaan mereka mungkin tidak dapat membedakan antara plastik dan mangsanya.

Untuk menemukan makanan dalam kegelapan, paus yang menyelam dalam mengandalkan sonar bawaan mereka. Sonar tersebut memantulkan gelombang suara dari mangsa potensial untuk mengungkapkan lokasinya.

Namun, bagi paus-paus ini, sampah plastik yang mengambang di lautan mungkin juga “terdengar” seperti cumi-cumi yang lezat.

Sebuah studi baru menunjukkan bahwa sampah plastik seperti kantong belanja mengeluarkan “gema” yang sangat mirip dengan cumi-cumi. “Mungkin karena beberapa kombinasi bentuk, ukuran, tingkat pelapukan, dan komposisi kimia plastik yang membuatnya mirip,” tulis peneliti Greg Merrill.

Perkiraan bervariasi, tetapi kemungkinan ada jutaan metrik ton plastik memasuki lautan dunia setiap tahun. Saat masuk ke lingkungan laut, plastik juga muncul di usus mamalia laut dalam ratusan kasus yang dilaporkan. Plastik merusak jaringan perut mamalia laut dan menyebabkan infeksi, sesak napas, dan kekurangan gizi hingga kelaparan.

Paus yang terdampar di seluruh dunia membawa puluhan kilogram sampah plastik di perut mereka, sebuah bukti dari masalah yang meluas ini.

“Hewan-hewan tertentu tampaknya hampir tidak mampu untuk tidak memakan plastik di lautan,” kata Matthew Savoca, seorang ahli biologi kelautan di Universitas Stanford.

“Mereka makan plastik bukan karena mereka bodoh,” katanya. “Hal ini disebabkan karena plastik pasti sangat membingungkan pada banyak saluran sensorik yang berbeda.”

Untuk hewan seperti penyu laut, kantong plastik mungkin terlihat mirip dengan makanan seperti ubur-ubur dan cumi-cumi. Penelitian lain menunjukkan hiu dan ikan juga dapat mengira plastik sebagai mangsa karena isyarat visual.

Namun, teori isyarat visual tidak berlaku bagi beberapa spesies. Seperti paus berparuh angsa, paus sperma, dan spesies lain yang berburu dengan ekolokasi ribuan meter di bawah permukaan. Pasalnya, mereka hidup di tempat yang tidak memungkinkan untuk melihat apa pun.

Jadi, para ilmuwan berupaya mencari tahu mengapa hewan-hewan yang hidup di kedalaman juga menelan begitu banyak plastik.

Baca Juga: Blue Carbon: Gara-gara Mikroplastik, 'Keperkasaan' Mangrove Bakal Terganggu

Plastik tampak seperti mangsa

Paus bergigi yang menyelam dalam, atau odontocetes, menggetarkan bibir fonik di bawah lubang semburnya untuk menghasilkan suara. Ia lalu memproyeksikan suara melalui organ berlemak di dahi mereka yang disebut melon.

Saat suara memantul dari benda-benda dalam kegelapan, lemak di rahang bawah paus mengarahkannya ke telinga bagian dalam. Hal ini memungkinkan mereka untuk menemukan mangsa beberapa ratus meter jauhnya.

“Awalnya seperti bunyi klik,” kata pemimpin studi Greg Merrill, mahasiswa Ph.D mamalia laut di Duke University. Namun, saat paus mendekat, bunyi klik menjadi sangat cepat, hingga bunyi klik tersebut menyatu dan lebih seperti dengungan.

Merrill dan rekan-rekannya mengumpulkan sembilan barang plastik. Ada tas, balon, dan sampah umum lainnya yang ditemukan dalam isi perut paus dari pantai North Carolina. Mereka pun melakukan penelitian mengapa banyak barang plastik yang masuk ke perut paus.

Penelitian dipublikasikan pada bulan Oktober di Marine Pollution Bulletin. Tajuk penelitiannya adalah “Acoustic signature of plastic marine debris mimics the prey items of deep-diving cetaceans”.

Merrill dan tim menggantung barang-barang tersebut ke rig di bawah kapal. Mereka menghantamnya dengan gelombang suara pada frekuensi yang digunakan paus bergigi untuk berburu. Mereka mengulangi proses tersebut pada lima bangkai cumi-cumi. Serta lima paruh cumi-cumi yang diambil dari perut paus sperma yang terdampar.

Melalui semua barang plastik yang diuji, tim menemukan bahwa barang-barang itu menghasilkan gema yang sama kuatnya atau lebih kuat daripada gema dari cumi-cumi. Temuan tersebut melengkapi temuan dari penelitian pendahuluan serupa yang dipresentasikan pada Konferensi Internasional tentang Akustik Bawah Air bulan Juni.

Penelitian pendahuluan itu dilakukan di tangki air laut, bukan di lautan terbuka. Plastik yang gemanya paling mirip dengan gema cumi-cumi, menurut penelitian bulan Juni, adalah plastik yang sering ditemukan di perut paus. Seperti kantong dan plastik film.

Paus bergigi tidak mengunyah makanannya

Tidak diketahui apakah paus bergigi yang menyelam dalam menggunakan cara lain untuk membedakan makanan dan yang bukan. Tetapi para ahli meragukannya. Sensasi di mulut tentu saja tidak menjadi faktor.

Baca Juga: Get The Fest 2024, Festival Musik Berbahan Bakar Olahan Sampah Plastik

“Mereka tidak benar-benar mengunyah dan merasakan seperti kita. Cara mereka makan lebih seperti isapan,” kata Laura Redaelli, salah satu anggota tim peneliti. Radaelli adalah mahasiswa Ph.D bidang biologi laut di Pusat Ilmu Kelautan dan Lingkungan di Madeira.

“Begitu benda yang tidak dapat dimakan masuk ke mulut mereka,” katanya, “sudah agak terlambat bagi mereka untuk menyadarinya.”

Dan mengapa mereka harus menyadarinya? Sebelum plastik diciptakan, apa pun yang ditemui paus di laut dalam yang menghasilkan gema kemungkinan besar bersifat biologis. Serta kemungkinan besar bisa dimakan.

“Mereka tidak berharap melihat apa pun di air selain makanan,” kata Merrill, “jadi jika mereka menemukan sesuatu yang memiliki sinyal, mereka akan mengejarnya.”

Penderitaan terburuk

Savoca mempelajari konsumsi plastik hewan laut. Ia telah lama menduga bahwa selera paus bergigi terhadap plastik terkait dengan sonar mereka. “Betapa kuatnya plastik mampu meniru mangsa paus, sedikit mengejutkan bagi saya.”

Namun peneliti tidak dapat mengamati paus di laut dalam. Jadi penelitian tersebut mungkin tidak menggambarkan dengan sempurna bagaimana mereka melihat plastik di dunia nyata. Meski demikian, ia merasa para peneliti telah melakukan pekerjaan yang mengagumkan dalam memperkirakan kondisi nyata dengan sarana yang tersedia.

Dan ini adalah penelitian yang penting, mengingat semakin banyaknya sampah di laut dan konsekuensinya bagi hewan yang mengonsumsinya.

“Mengonsumsi sampah adalah salah satu penderitaan terburuk,” kata Savoca. “Mereka kesakitan dan kelaparan. Mereka berpikir sudah memakan mangsanya, jadi mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi.”

Produsen plastik dapat mencoba merekayasa plastik agar tidak terlalu mirip dengan mangsanya secara akustik, kata Redaelli. Namun ia juga mengakui bahwa hal ini mungkin hanya akan membuat paus lebih mudah terjerat dalam benda-benda seperti jaring plastik. Solusi lain mungkin mengganti plastik yang ada dengan bahan yang dapat terurai secara hayati, yang terurai dengan cepat di laut atau di perut paus.

Greg Merrill dan tim sepakat tentang perlunya mengurangi produksi plastik sejak awal. Pendekatan yang ideal, kata Savoca dan Merrill, melibatkan perubahan kebijakan dan pengalihan aliran limbah dari laut, terutama yang menyasar barang-barang sekali pakai yang tidak perlu.

“Mungkin kita bisa berharap bahwa, pada suatu saat, paus akan belajar membedakan antara plastik dan mangsa,” tambah Redaelli. Namun hingga saat itu tiba, semakin banyak plastik yang kita buang, semakin banyak hewan yang akan mati.