Nationalgeographic.co.id—Dalam sebuah dialog yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama Konservasi Indonesia (KI) pada 23 November 2024, kekhawatiran mendalam mengemuka terkait nasib masyarakat adat di Indonesia.
Meskipun UUD 1945 telah mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat secara tegas, serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 telah memberikan pengakuan hukum atas hutan adat, namun dalam praktiknya, masyarakat adat terus menghadapi diskriminasi, peminggiran, dan ancaman perampasan lahan.
Manuel Kaisiepo, Penasihat Senior Kepala Staf Presiden (KSP) 2019-2024, menekankan bahwa tanpa adanya Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang kuat, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak pengelolaan lahan dan hutan, akan terus menjadi tantangan.
“Undang-Undang Masyarakat Adat diperlukan sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat, eksistensinya, hak hidupnya, dan kelangsungan kehidupannya,” tegas Manuel.
Ironisnya, meskipun telah ada pengakuan konstitusional dan putusan pengadilan yang mendukung hak-hak masyarakat adat, namun proses pengesahan RUU Masyarakat Adat di tingkat nasional justru mengalami penundaan yang berkepanjangan.
Padahal, sejumlah daerah telah berupaya melindungi masyarakat adat melalui peraturan daerah (Perda) lokal. Namun, regulasi-regulasi tersebut seringkali kalah dengan kebijakan pusat yang memberikan izin pengelolaan hutan kepada pihak swasta atau investor.
Manuel Kaisiepo menekankan pentingnya peran masyarakat sipil, termasuk media, dalam mendorong lahirnya RUU Masyarakat Adat. "Kabarnya RUU ini sudah masuk Prolegnas (program legislasi nasional), tetapi masuk Prolegnas belum tentu dibahas dan disetujui," ujarnya.
Kunci utama konservasi dunia
Kontribusi masyarakat adat dalam menjaga kelestarian lingkungan tak dapat dipandang sebelah mata. Walau seringkali terpinggirkan, kearifan lokal mereka telah terbukti menjadi benteng terakhir dalam upaya konservasi global.
Seperti yang ditegaskan oleh Nur Ismu Hidayat, Senior Papua Program Manager Konservasi Indonesia (KI), banyak praktik tradisional yang dimiliki masyarakat adat, seperti sistem sasi di Indonesia Timur, telah menunjukkan keberhasilan dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Sasi, yang pada intinya adalah larangan sementara terhadap pemanfaatan sumber daya alam, mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat adat tentang siklus alam dan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
Baca Juga: Dari Dayak Kalimantan, Penjaga Bumi yang Terabaikan ini Menantang Dunia
“Sasi itu ibaratnya seperti deposito bank yang semakin lama akan semakin banyak dapatnya (apabila ada jeda pengambilan SDA). Tradisi seperti Sasi telah mencerminkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Artinya, kearifan lokal seringkali lebih adaptif terhadap kebutuhan konservasi dibandingkan pendekatan modern,” kata Ismu.
Peran strategis wilayah adat dalam mitigasi krisis iklim semakin tak terbantahkan. Wilayah-wilayah ini, yang seringkali kaya akan hutan hujan tropis, mangrove, dan gambut, berfungsi sebagai penyerap karbon terbesar di dunia.
Hutan gambut, misalnya, menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar dan sulit untuk diperbarui. Dengan melindungi wilayah adat, kita tidak hanya menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga memperlambat laju perubahan iklim.
Penelitian yang dilakukan oleh Konservasi Indonesia di Papua memberikan gambaran yang jelas tentang kekayaan alam yang dimiliki wilayah ini. Perairan Raja Ampat, misalnya, merupakan rumah bagi 1.800 spesies ikan, 35 spesies mangrove, dan 600 spesies terumbu karang. Sementara itu, daratan Papua, khususnya Papua Barat Daya, memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, dengan ribuan spesies tumbuhan endemik.
Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, menjadi contoh lain betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan luas area bernilai konservasi tinggi mencapai 497 ribu hektar, wilayah ini memiliki potensi besar dalam menyerap 200 juta karbon yang 112 juta karbon di antaranya diidentifikasi sebagai jenis karbon yang tak tergantikan.
Namun, semua kekayaan alam ini dapat terjaga hingga saat ini berkat kearifan lokal masyarakat adat yang telah hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad.
“Kekayaan alam di perairan dan juga daratan Papua tersebut hingga kini masih ada berkat kearifan lokal masyarakat adat yang menjaga alamnya. Kami yakin, masyarakat adat adalah penjaga pertama dan utama ekosistem yang penting bagi masa depan," tegas Ismu.
"Kami berpandangan bahwa pendekatan berbasis tradisi dan pengakuan terhadap hak kelola mereka dapat menjadi bukti bahwa negara tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, tetapi juga memperkuat peran masyarakat adat sebagai aktor kunci konservasi global atau target memperpanjang umur dunia."