Nationalgeographic.co.id—Laporan Ekonomi Digital 2024 UNCTAD menyoroti dilema menarik yang dihadapi dunia, khususnya negara-negara terbelakang (LDCs).
Sebab, di satu sisi, digitalisasi menawarkan peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, transformasi digital dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan.
Ironisnya, saat LDCs tengah berupaya mengejar ketertinggalan dalam adopsi teknologi digital, mereka juga harus menghadapi tantangan serius terkait dampak lingkungan dari proses digitalisasi ini.
Sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menjadi tulang punggung ekonomi digital, ternyata memiliki jejak karbon yang cukup besar.
Studi terbaru memperkirakan emisi gas rumah kaca dari sektor TIK mencapai 0,69 hingga 1,6 gigaton CO₂ pada tahun 2020, setara dengan 1,5% hingga 3,2% dari total emisi global. Angka ini sebanding dengan emisi dari seluruh industri perkapalan.
Dampak lingkungan yang signifikan lainnya adalah timbulnya limbah elektronik (e-waste). Dengan pertumbuhan pesat perangkat digital, volume limbah elektronik semakin meningkat.
Negara-negara maju, yang rata-rata menghasilkan 3,25 kg limbah elektronik per kapita setiap tahunnya, jauh di atas rata-rata LDCs yang hanya 0,21 kg. Namun, LDCs, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Afrika, semakin menjadi tujuan pembuangan limbah elektronik dari negara-negara maju.
Limbah elektronik mengandung berbagai bahan berbahaya yang dapat mencemari tanah dan air, serta membahayakan kesehatan manusia jika tidak dikelola dengan benar. Hal ini menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan masyarakat di LDCs, yang sering kali memiliki kapasitas terbatas dalam pengelolaan limbah.
Meskipun kontribusi LDCs terhadap permasalahan limbah elektronik global masih relatif kecil, penting untuk diingat bahwa negara-negara ini memiliki potensi untuk menjadi produsen limbah elektronik yang signifikan di masa depan seiring dengan peningkatan penggunaan perangkat digital.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana LDCs dapat memanfaatkan manfaat dari digitalisasi sambil meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan?
Laporan UNCTAD menyarankan bahwa kebijakan yang tepat, investasi dalam keterampilan digital, pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, serta mobilisasi sumber daya yang memadai merupakan kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
Baca Juga: Ilmuwan Ciptakan Chip Komputer dari Pohon
"Namun, membatasi kerusakan lingkungan harus melampaui prinsip sederhana 'pencemar membayar', karena ada keraguan tentang efektivitas implementasinya," ungkap Shamika Sirimanne dari UN Trade and Development dan Ratnakar Adhikari dari Enhanced Integrated Framework (EIF) di laman weforum.org.
Peran besar LDCs dalam pengolahan sampah elektronik
LDCs memiliki peran strategis dalam upaya global mengelola limbah elektronik yang semakin menumpuk di era digital. Isu ini mendesak karena beberapa alasan fundamental.
Pertama, pengelolaan limbah elektronik yang bertanggung jawab secara langsung berkontribusi pada pencapaian sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Mulai dari Tujuan 3 yang menyasar kesehatan dan kesejahteraan, hingga Tujuan 12 yang menekankan konsumsi dan produksi berkelanjutan, serta Tujuan 14 dan 15 yang berkaitan dengan kelestarian kehidupan di bawah laut dan di darat.
Limbah elektronik mengandung bahan beracun yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia jika tidak dikelola dengan benar.
Kedua, tingkat pengumpulan limbah elektronik secara formal masih sangat rendah di seluruh dunia, khususnya di negara terbelakang.
Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2022, kurang dari 25% limbah elektronik yang dihasilkan secara global berhasil dikumpulkan secara formal. Situasi di negara terbelakang bahkan lebih memprihatinkan, dengan tingkat pengumpulan hanya mencapai 0,2%.
Meskipun tidak menjadi penghasil utama limbah elektronik, beberapa negara terbelakang, seperti Senegal dan Tanzania, telah menjadi tempat pembuangan limbah elektronik dari negara maju. Hal ini menjadikan mereka sebagai "negara yang menjadi perhatian" dalam isu pengelolaan limbah elektronik internasional.
Ketiga, meskipun dihadapkan pada tantangan yang signifikan, negara terbelakang memiliki potensi besar untuk mengubah situasi ini.
Pengelolaan limbah elektronik secara efektif tidak hanya dapat melindungi lingkungan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Beberapa negara terbelakang telah mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi masalah ini.
Baca Juga: Mengelola Sampah Elektronik Harus Diperhatikan
Beberapa di antaranya dibahas di bawah ini.
1) Pendekatan komprehensif Bangladesh
Bangladesh, salah satu negara penghasil limbah elektronik terbesar di Asia Selatan dengan produksi lebih dari 3 juta metrik ton per tahun, telah mengambil langkah signifikan dalam mengatasi masalah lingkungan ini.
Pada tanggal 10 Juni 2021, pemerintah Bangladesh secara resmi memberlakukan Aturan Pengelolaan Limbah Elektronik. Regulasi ini bertujuan untuk membatasi penggunaan logam berat dan zat berbahaya tertentu dalam produk elektronik, serta mewajibkan produsen dan importir untuk bertanggung jawab atas pengelolaan limbah produk mereka.
Salah satu target ambisius yang ditetapkan dalam aturan ini adalah mencapai tingkat pengumpulan limbah elektronik sebesar 50% dalam kurun waktu lima tahun. Target ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak negatif limbah elektronik terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Meskipun implementasi penuh aturan ini masih terus berlangsung, sejumlah inisiatif dari sektor swasta telah menunjukkan potensi besar dalam mendukung ekonomi sirkular untuk pengelolaan limbah elektronik.
Sebagai contoh, platform "re-commerce" bernama SWAP telah berhasil memfasilitasi transaksi jual beli perangkat digital bekas dalam jumlah yang signifikan, mencapai sekitar 7.000 hingga 8.000 unit per bulan.
Model bisnis SWAP ini tidak hanya memberikan alternatif bagi konsumen untuk mendapatkan perangkat elektronik yang lebih terjangkau, tetapi juga memperpanjang siklus hidup perangkat elektronik yang masih berfungsi.
Produsen peralatan rumah tangga terkemuka seperti Singer dan Walton juga turut berkontribusi dalam upaya pengelolaan limbah elektronik. Kedua perusahaan ini menawarkan program penukaran perangkat lama dengan potongan harga untuk pembelian perangkat baru.
Melalui program ini, mereka dapat memanfaatkan kembali komponen-komponen yang masih berfungsi dari perangkat lama, sehingga mengurangi jumlah limbah elektronik yang berakhir di tempat pembuangan akhir.
"Selain itu, sejumlah perusahaan daur ulang di Bangladesh mengekstraksi komponen seperti serat, logam, dan plastik dari ponsel dan komputer yang tidak dapat digunakan, yang kemudian digunakan dalam produksi produk serupa," jelas Sirimanne dan Adhikari.
2) Rwanda: Pionir di Afrika Timur
Sebagai negara pelopor dalam pengelolaan limbah elektronik di Afrika Timur, Rwanda telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap lingkungan.
Proses transformasi ini dimulai pada tahun 2015 dengan perumusan Rancangan Kebijakan Nasional Limbah Elektronik, sebuah inisiatif yang didukung oleh Enhanced Integrated Framework. Kebijakan ini kemudian disahkan secara resmi pada tahun 2016, menjadi landasan hukum bagi pengelolaan limbah elektronik di negara tersebut.
Untuk mengimplementasikan kebijakan ini, Pemerintah Rwanda menjalin kemitraan strategis dengan sektor swasta. Kerja sama dengan Enviroserve Rwanda Green Park, bagian dari Enviroserve Group yang berbasis di Dubai, menjadi langkah signifikan.
Kemitraan ini memfasilitasi pembangunan fasilitas daur ulang limbah elektronik modern, yang sebagian dibiayai oleh investasi modal dari Rwanda Green Fund.
Fasilitas daur ulang yang dibangun melalui kemitraan ini memiliki kapasitas untuk merefurbisi, memperbaiki, atau mendaur ulang lebih dari 600.000 item elektronik setiap tahunnya.
Layanan yang ditawarkan mencakup pengelolaan limbah elektronik secara menyeluruh, mulai dari pengumpulan hingga daur ulang, termasuk pengelolaan baterai.
Selain berkontribusi pada pelestarian lingkungan, fasilitas ini juga menciptakan lebih dari 300 lapangan kerja hijau, dengan potensi pertumbuhan hingga 1.000 lapangan kerja ketika beroperasi penuh.
Meskipun sebagian besar operasi dikelola secara lokal, proses ekstraksi logam mulia seperti perak, emas, dan platinum masih dilakukan di Dubai. Hal ini menunjukkan potensi besar untuk meningkatkan nilai tambah dari pengelolaan limbah elektronik melalui pengembangan kapasitas domestik dalam daur ulang elemen-elemen bernilai tinggi ini.
Untuk mengatasi tantangan rendahnya kesadaran masyarakat akan dampak negatif limbah elektronik, Pemerintah Rwanda secara aktif menjalankan kampanye sosialisasi.
Kampanye ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar membuang peralatan elektronik yang sudah tidak terpakai dengan benar, sehingga dapat meningkatkan tingkat pengumpulan limbah elektronik dan mendukung pengelolaan yang lebih berkelanjutan.
3) Senegal yang berambisi mendaur ulang 90% sampah elektronik
Sénégal Numérique SA (SENUM SA), perusahaan yang bertanggung jawab atas transformasi digital di Senegal, telah menetapkan ambisi besar untuk mendaur ulang 90% limbah elektronik dan listrik negara tersebut pada tahun 2025. Dalam upaya mewujudkan visi ini, SENUM SA telah mengambil langkah-langkah strategis yang inovatif.
Salah satu langkah kunci yang telah diambil adalah dengan melibatkan Pusat untuk Penyandang Disabilitas Bekerja dalam proses daur ulang. Melalui kerjasama ini, limbah elektronik seperti komputer dan peralatan lainnya direkondisi, tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menciptakan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas.
Dengan kapasitas pengolahan 10 ton limbah peralatan listrik dan elektronik setiap tahun, kerjasama ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian target daur ulang SENUM SA.
Selain itu, SENUM SA juga telah menjalin kemitraan dengan pemerintah kota Sandiara untuk membangun pusat pengolahan limbah elektronik nasional. Pembangunan pusat ini semakin diperkuat dengan adanya dukungan dari Global Green Growth Institute yang menyediakan peralatan canggih untuk perawatan dan pemulihan limbah elektronik.
Dukungan finansial dari Luxembourg pun turut mempercepat terwujudnya pusat pengolahan limbah elektronik yang modern dan berkelanjutan di Senegal.
Tantangan di tengah potensi yang menjanjikan
Kendati sejumlah inisiatif inovatif telah menunjukkan potensi yang menjanjikan, negara-negara terbelakang (LDCs) masih menghadapi tantangan signifikan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, menegakkan regulasi yang efektif, dan mengatasi kendala logistik terkait dengan transformasi digital.
Dengan mengalokasikan sumber daya yang lebih besar untuk memperluas cakupan dan mereplikasi keberhasilan program-program yang ada, LDCs dapat secara signifikan mempercepat upaya mereka dalam mencapai tujuan digitalisasi.
Pendekatan ini tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial, tetapi juga akan memungkinkan LDCs untuk mengadopsi teknologi digital dengan cara yang lebih berkelanjutan, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
"Selain itu, kerangka kerja pengelolaan limbah elektronik yang diperkuat dapat berkontribusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan," pungkas Sirimanne dan Adhikari.