Nationalgeographic.co.id—Ralph Chami, seorang ekonom terkemuka dari International Monetary Fund (IMF), telah mengutarakan sebuah pandangan yang semakin menarik perhatian para pelaku pasar keuangan global: modal alam, khususnya yang dikenal sebagai blue carbon atau "karbon biru", akan menjadi aset investasi yang sangat menjanjikan di masa depan.
Pandangan ini semakin menguat ketika kita menyadari bahwa masyarakat adat, seperti masyarakat Māori dan Pasifika, telah lama menjadi penjaga sejati dari harta karun karbon biru terbesar di dunia, yakni Samudra Pasifik yang luas.
Te Moana-nui-a-Kiwa, demikian sebutan masyarakat Māori untuk Samudra Pasifik, menyimpan potensi yang luar biasa dalam memerangi perubahan iklim.
Pasalnya, ekosistem pesisir seperti rumput laut, rawa garam, hutan bakau, hutan kelp, dan bahkan paus, memiliki kemampuan unik untuk menyerap karbon dalam jumlah yang sangat besar, terutama yang dikenal sebagai 'karbon biru'.
Proses penyerapan karbon ini tidak hanya membantu mengurangi efek rumah kaca, tetapi juga menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem laut secara keseluruhan.
Mere Takoko, seorang tokoh penting dalam dunia konservasi, mengingatkan kita akan dampak buruk revolusi industri terhadap planet dan manusia. "Kini dunia sadar bahwa revolusi industri sangat merugikan planet dan manusia," papar Takoko, seperti dilansir di laman teaonews.co.nz.
Ia menegaskan bahwa dunia kini tengah mencari solusi berkelanjutan untuk mengatasi krisis iklim, dan salah satu jawabannya terletak pada masyarakat adat yang telah hidup selaras dengan alam selama berabad-abad.
Masyarakat adat ini memiliki pengetahuan tradisional yang sangat berharga tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan lingkungan mereka.
Chami menekankan bahwa ekosistem karbon biru bukanlah sekadar kumpulan tumbuhan dan hewan, melainkan merupakan sistem kehidupan yang kompleks dan saling terkait.
"Sistem kehidupan ini sangat dibutuhkan oleh dunia yang sedang berjuang melawan perubahan iklim dan membutuhkan alam yang sehat dan berkembang," ungkap Chami.
Salah satu sistem kehidupan tersebut adalah laut, penghasil 50% oksigen di dunia, yang memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga keseimbangan iklim global.
Baca Juga: Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Lautan, Sang paru-paru Bumi
Ya, laut bukanlah sekadar hamparan air asin yang luas, tetapi juga merupakan paru-paru bumi yang vital.
Chami, yang juga merupakan salah satu pendiri Blue Green Future dan Rebalance Earth, menyoroti pentingnya menjaga ekosistem laut.
"Dunia menuntut jasa alam hidup. Yang duduk di sisi pasokan adalah semua ekonomi pulau, semua tempat indah ini, termasuk masyarakat adat yang telah melindungi modal alam mereka, atau alam mereka," jelasnya.
Konsep "karbon biru" semakin menarik perhatian para ilmuwan dan pembuat kebijakan sebagai solusi berbasis alam untuk mengatasi perubahan iklim.
Dr. Carlos Duartre, seorang ahli ekologi kelautan terkemuka, menjelaskan bahwa "karbon biru" mengacu pada kemampuan ekosistem laut seperti mangrove, padang lamun, dan hutan alga untuk menyerap dan menyimpan karbon dioksida dalam jumlah besar.
Meskipun konsep ini relatif baru dibandingkan dengan upaya konservasi hutan yang telah berlangsung selama tiga dekade, namun potensi karbon biru dalam mitigasi perubahan iklim sangat besar.
Sejak tahun 2009, para ilmuwan telah mengusulkan agar "kita juga dapat memperoleh manfaat iklim dengan menyimpan karbon, menghindari kehilangan dan memulihkan habitat laut yang sangat proaktif."
Harta karun karbon biru dan warisan budaya Māori
Di balik luasnya perairan biru, tersembunyi harta karun yang dikenal sebagai karbon biru, sebuah proses alamiah di mana karbon dioksida (CO2) diserap dan disimpan oleh ekosistem laut dan pesisir.
Bayangkan, makhluk-makhluk laut seperti paus, dengan bobot tubuhnya yang masif, mampu menyimpan hingga 30.000 kilogram CO2 sepanjang hidupnya. Atau fitoplankton, organisme mikroskopis yang jumlahnya tak terhitung, mampu menyerap 37 miliar ton CO2 setiap tahunnya!
Baca Juga: Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Konsep karbon biru semakin menarik perhatian dunia ketika Duarte mengusulkan ambisinya untuk mengembalikan kelimpahan kehidupan laut pada tahun 2050. Duarte, yang telah menghasilkan lebih dari 900 publikasi ilmiah, melihat potensi besar dalam ekosistem karbon biru sebagai solusi untuk mengatasi krisis iklim.
Namun, cerita ini tidak hanya tentang ilmu pengetahuan. Ada dimensi budaya yang mendalam yang menghubungkan manusia dengan lautan, terutama bagi masyarakat Māori di Selandia Baru.
"Konsep bahwa manusia adalah penjaga alam sangat sejalan dengan nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Māori, sehingga keterlibatan dengan alam menjadi sesuatu yang alami. Mereka mengambil dari alam dan memberikan kembali kepada alam," jelas Duarte.
Bagi mereka, Te Moana-nui-a-Kiwa adalah lebih dari sekadar sumber daya alam; ia adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan spiritualitas mereka. Konsep "menjaga alam" telah menjadi bagian integral dari nilai-nilai budaya Māori, yang meyakini bahwa manusia adalah penjaga alam, bukan penguasa.
Penelitian menunjukkan bahwa ekosistem karbon biru tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan keuntungan bagi manusia. Dengan menjaga ekosistem ini, kita dapat meningkatkan ketersediaan pangan dan air bersih, memperkuat ekonomi lokal, dan melindungi keanekaragaman hayati.
Lebih jauh lagi, ekosistem karbon biru berperan sebagai benteng alami yang melindungi garis pantai dari abrasi dan dampak perubahan iklim.
Masyarakat Māori dan Pasifik telah mengambil inisiatif yang luar biasa melalui Hinemoana Halo. Inisiatif ini bertujuan untuk melindungi, mengelola, dan memulihkan 2,2 juta kilometer persegi lautan mereka pada tahun 2030.
Dengan mengembangkan kredit karbon yang berbasis komunitas, mereka membuka peluang untuk mendapatkan keuntungan finansial dari upaya konservasi mereka.
Pada awal tahun ini, para pemimpin Māori dan Pasifik menandatangani deklarasi He Whakaputanga Moana, sebuah tonggak sejarah yang mengakui hak-hak paus dan memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi mamalia laut ini. Deklarasi ini adalah bukti nyata komitmen mereka untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Pesan yang disampaikan oleh Hinemoana Halo sangat jelas: saatnya bagi masyarakat pesisir untuk bangkit dan mengambil peran aktif dalam melindungi lautan. Te Moana-nui-a-Kiwa bukan hanya harta karun bagi generasi sekarang, tetapi juga warisan berharga yang harus kita jaga untuk generasi mendatang.