Nationalgeographic.co.id—Dataran Tinggi Golan, wilayah perbatasan yang kaya sejarah dan konflik, telah menjadi rumah bagi beragam komunitas selama berabad-abad. Salah satu kelompok yang paling menarik perhatian adalah Druze, sebuah sekte Islam yang memiliki tradisi dan keyakinan unik.
Di tengah gejolak politik dan perebutan wilayah di Dataran Tinggi Golan, komunitas Druze harus menghadapi dilema identitas yang kompleks. Di satu sisi, mereka memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhur mereka dan identitas Suriah. Di sisi lain, mereka juga hidup berdampingan dengan masyarakat Israel dan telah terintegrasi dalam beberapa aspek kehidupan.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam kehidupan komunitas Druze di Dataran Tinggi Golan. Kita akan membahas sejarah mereka, keyakinan yang mereka anut, serta tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam mempertahankan identitas mereka.
Apa itu Dataran Tinggi Golan?
Dataran Tinggi Golan, sebuah kawasan strategis yang membentang seluas sekitar 500 mil persegi dengan lanskap berbukit-bukit, telah menjadi titik panas konflik di Timur Tengah selama beberapa dekade.
Terletak di perbatasan antara Suriah, Israel, Yordania, dan Lebanon, wilayah ini menawarkan keuntungan geografis yang signifikan bagi siapa pun yang menguasainya.
Sejarah modern Dataran Tinggi Golan dimulai pada tahun 1967 ketika Israel merebut wilayah ini dari Suriah dalam Perang Enam Hari. Kemenangan telak dalam perang tersebut memungkinkan Israel memperluas wilayahnya secara signifikan, termasuk pendudukan Dataran Tinggi Golan.
Pada tahun 1981, Israel secara resmi mencaplok wilayah tersebut, sebuah langkah yang tidak diakui oleh mayoritas negara-negara di dunia dan dianggap melanggar hukum internasional.
Dari puncak-puncak berbatu Dataran Tinggi Golan, ibu kota Suriah, Damaskus, dapat terlihat dengan jelas. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya wilayah ini dengan pusat kekuasaan Suriah dan betapa pentingnya Golan bagi keamanan nasional kedua negara.
Untuk mencegah terjadinya bentrokan langsung antara pasukan Israel dan Suriah, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendirikan zona penyangga di sepanjang perbatasan.
Bagi Israel, Dataran Tinggi Golan merupakan benteng pertahanan alami yang sangat berharga. Ketinggian wilayah ini memberikan keuntungan strategis dalam hal pengawasan dan pertahanan. Selain itu, sumber daya air yang melimpah di Golan juga sangat penting bagi Israel, negara yang memiliki keterbatasan sumber daya air.
Baca Juga: Apa Itu Dataran Tinggi Golan dan Siapa yang Menguasai Wilayah Itu?
Israel berargumen bahwa mereka perlu mempertahankan kendali atas Golan untuk mencegah serangan dari Suriah dan kelompok-kelompok militan yang didukung Iran.
Di sisi lain, Suriah selalu menganggap Dataran Tinggi Golan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah negaranya. Pencaplokan Golan oleh Israel merupakan pelanggaran kedaulatan Suriah dan telah menjadi salah satu isu utama dalam konflik antara kedua negara.
Minoritas Druze di tengah konflik
Komunitas Druze, sebuah kelompok etnoreligius dengan akar sejarah yang dalam di Timur Tengah, telah menjadi salah satu kelompok minoritas yang menarik perhatian di wilayah Dataran Tinggi Golan yang bergejolak ini.
Berasal dari Mesir pada abad ke-11, Druze menganut kepercayaan yang merupakan percabangan dari Islam Ismailiyah, namun dengan doktrin dan praktik yang unik, demikian pernyatan CNN.
Salah satu ciri khas komunitas Druze adalah penekanan pada ketertutupan kelompok. Mereka tidak mengizinkan masuknya anggota baru dari luar maupun keluarnya anggota dari komunitas. Selain itu, perkawinan campur dengan kelompok agama lain juga sangat dibatasi.
Dataran Tinggi Golan, wilayah strategis yang telah menjadi sengketa antara Israel dan Suriah, menjadi rumah bagi komunitas Druze yang cukup besar. Lebih dari 20.000 orang Druze tinggal di wilayah ini.
Meskipun sebagian besar dari mereka secara identitas merasa lebih dekat dengan Suriah dan menolak tawaran kewarganegaraan Israel setelah pencaplokan Golan pada tahun 1967, mereka tetap berada di bawah kendali administrasi Israel.
Kehidupan komunitas Druze di Golan menjadi semakin kompleks karena mereka harus berbagi wilayah dengan sekitar 25.000 warga negara Israel Yahudi yang tinggal di lebih dari 30 permukiman.
Koeksistensi antara kedua kelompok ini tidak selalu berjalan mulus. Rencana Israel untuk menggandakan populasi pemukim Yahudi di Golan pada tahun 2027, seperti yang telah diperingatkan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB, semakin meningkatkan ketegangan dan kekhawatiran akan masa depan komunitas Druze di wilayah tersebut.
Druze Suriah di Golan telah menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, terutama dalam hal akses terhadap sumber daya alam seperti tanah dan air. Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial telah menyoroti kebijakan diskriminatif Israel yang membatasi akses petani Druze terhadap air, dengan harga dan biaya yang tidak adil.
Baca Juga: Rujm el Hiri: Situs Melingkar Misterius di Dataran Tinggi Golan
Pembatasan akses terhadap air ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari komunitas Druze, tetapi juga mengancam keberlanjutan pertanian mereka yang telah menjadi mata pencaharian utama selama bergenerasi.
Di Golan Anti-Israelisasi, di Israel jadi petinggi militer
Secara historis, komunitas Druze di Golan telah menunjukkan penolakan terhadap upaya-upaya "Israelisasi" wilayah tersebut. Mereka seringkali memprotes kebijakan-kebijakan Israel yang dianggap diskriminatif dan mengancam identitas serta hak-hak mereka.
Salah satu momen paling signifikan adalah penolakan massal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Bangsa Yahudi pada tahun 2018. Undang-undang kontroversial ini, yang secara eksplisit menyatakan Israel sebagai negara-bangsa Yahudi, memicu kekhawatiran mendalam di kalangan komunitas Druze.
Mereka khawatir bahwa undang-undang tersebut akan semakin menguatkan diskriminasi terhadap minoritas dan mengikis hak-hak mereka sebagai warga negara.
Para pemimpin Druze berargumen bahwa undang-undang tersebut menciptakan hierarki kewarganegaraan yang menempatkan mereka pada posisi yang tidak setara dengan warga negara Yahudi.
Ketiadaan klausa yang menjamin kesetaraan dan hak-hak minoritas dalam undang-undang tersebut semakin memperkuat perasaan termarjinalisasi di kalangan komunitas Druze.
Sebab, meskipun mayoritas komunitas Druze di Golan secara identitas merasa lebih dekat dengan Suriah, namun realitas politik telah memaksa mereka untuk berinteraksi dengan sistem pemerintahan Israel.
Data terbaru menunjukkan adanya peningkatan jumlah warga Druze Golan yang memilih untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan Israel. Namun, jumlahnya tetap relatif kecil, yakni hanya 239 orang pada tahun 2021 dibandingkan dengan 75 orang pada tahun 2017.
Fenomena ini menunjukkan adanya perdebatan internal di dalam komunitas mengenai status kewarganegaraan dan implikasinya terhadap identitas serta hak-hak mereka.
Di luar Dataran Tinggi Golan, sekitar 130.000 warga Druze Israel tinggal di wilayah Carmel dan Galilea. Berbeda dengan banyak kelompok minoritas lainnya di Israel, komunitas Druze di wilayah ini secara umum menunjukkan tingkat patriotisme yang tinggi.
Wajib militer bagi pria Druze berusia di atas 18 tahun telah menjadi tradisi sejak tahun 1957, dan banyak di antara mereka yang mencapai posisi tinggi dalam militer Israel. Selain itu, banyak anggota komunitas Druze juga berkarier di kepolisian dan pasukan keamanan.