Jamu: Warisan Budaya Penguat Ketahanan Pangan dan Emansipasi Perempuan

By National Geographic Indonesia, Selasa, 24 Desember 2024 | 14:00 WIB
Jamu Ginggang, warisan keluarga yang dirintis sejak 1930-an, memiliki nuansa nostalgia yang sampai hari ini digemari warga Yogyakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kisah oleh Mifrah Disni Meiliska

 

Nationalgeographic.co.id—Di bawah sinar matahari pagi yang hangat, suara ketukan dari lumpang dan alu terdengar berirama di dapur kedai jamu Ginggang. Tempat ini bukan sekadar dapur, melainkan benteng kecil yang menjaga ketahanan pangan dan kesehatan lokal melalui jamu, warisan budaya secara turun-temurun. Kedainya berlokasi di Jalan Masjid No.32, Kauman, Gunungketur, Pakualaman, Kota Yogyakarta.

Pagi tadi, Ike Yulita Astiani yang akrab disapa Yayuk baru saja kembali dari pasar Beringharjo. Tangannya membawa tas yang berisi rempah-rempah segar. Senyum puas menghiasi wajahnya saat ia memasuki dapur, membawa pulang kunyit, jahe, dan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk meramu jamu.

Dengan penuh semangat, ia bergabung dengan Ndarsih dan Poni, para perempuan paruh baya yang lincah, tengah meramu jamu dari bahan-bahan berkualitas. Proses ini tidak hanya sekadar pekerjaan, melainkan sebuah ritual yang menyatu dengan tradisi. 

Yayuk sebagai keturunan dari generasi kelima, salah satu keluarga yang meneruskan warisan kedai jamu Ginggang, menyimpan kisah panjang tentang tempat ini.

Jamu Ginggang, racikan lintas generasi sejak 1930-an. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Awalnya, jamu ini dijual oleh nenek moyang saya yang merupakan Tabib Ndalem secara berkeliling dengan digendong atau kerap disebut jamu gendong, hingga kini hadir dalam bentuk kedai, Mbak,” kata Yayuk menjelaskan kepada saya sambil menyiapkan rempah-rempah untuk ditumbuk. Ia menambahkan bahwa nama "Ginggang" diturunkan dari frasa bahasa Jawa "tan genggang", yang bermakna agar "tanpa jarak" seupaya tidak ada jarak antara keraton dan masyarakat.

Dengan latar belakang sebagai Abdi Ndalem Keraton Pura Pakualaman yang mendapat mandat sebagai tabib, nenek moyang Yayuk menanamkan nilai-nilai kemandirian dan ketahanan pangan yang kini terus dilestarikan. 

Sementara itu, Ndarsih dan Poni, dengan penutup kepala dan celemek batik yang sudah pudar warnanya, tampak sedang sibuk menumbuk rempah-rempah di atas lumpang tadi. Tangan mereka yang mulai keriput tak kehilangan ketangkasan saat mereka memproses kunyit, mengeluarkan aroma tajam khas yang memenuhi ruangan. Dari tungku kayu bakar yang terus membara, asap tipis mengepul, menghangatkan udara sekitar.

Ndarsih lalu dengan penuh konsentrasi memipis jahe di atas pipisan batu licin. Setiap gerakan yang mantap dan hati-hati membawa rempah itu menjadi setengah halus, siap untuk diramu menjadi minuman berkhasiat. Dalam setiap tetes jamu yang dihasilkan, tersimpan bukan hanya rasa, tetapi juga sejarah, tradisi, dan harapan para perempuan yang gigih menjaga warisan nenek moyang mereka.

“Ini bukan hanya soal minuman kesehatan,” kata Ndarsih sambil terus memipis, “ini adalah kehidupan kami.” Di dapur ini, warisan jamu telah terjaga selama kurang lebih satu abad, diwariskan dari generasi ke generasi. Di tangan para perempuan seperti Yayuk, Ndarsih dan Poni, warisan leluhur ini bukan hanya dilestarikan, tetapi juga menghidupi mereka.