Jamu: Warisan Budaya Penguat Ketahanan Pangan dan Emansipasi Perempuan

By National Geographic Indonesia, Selasa, 24 Desember 2024 | 14:00 WIB
Jamu Ginggang, warisan keluarga yang dirintis sejak 1930-an, memiliki nuansa nostalgia yang sampai hari ini digemari warga Yogyakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam budaya Jawa, jamu memiliki tempat khusus di lingkungan keraton. Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, terdapat ahli jamu yang disebut Tabib Ndalem, yang secara khusus bertanggung jawab untuk meramu obat dan minuman herbal bagi keluarga raja dan bangsawan.

Baca Juga: Sejarah Manusia: Tradisi Kesehatan Kuno yang Dipraktikkan hingga Kini

Tabib Ndalem ini memegang peran penting, bukan hanya karena kemampuan mereka dalam mengolah tanaman herbal menjadi obat, tetapi juga karena pengetahuan mereka tentang racikan khusus yang diwariskan secara turun-temurun. Racikan-racikan jamu ini dirancang untuk menjaga kesehatan, vitalitas, dan keseimbangan energi para anggota keraton. 

Sosoknya memiliki keistimewaan karena menguasai pengetahuan herbal yang tidak dimiliki sembarang orang. Mereka dipercaya untuk meracik obat yang bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga untuk tujuan spiritual, seperti menjaga kesucian diri atau meningkatkan daya tahan dalam menjalani tanggung jawab besar sebagai pemimpin.

“Penggunaan jamu oleh kalangan keraton ini menunjukkan bagaimana jamu memiliki kedudukan yang istimewa, sekaligus menunjukkan kepercayaan kuat pada kekuatan tanaman lokal sebagai penyembuh alami hingga saat ini,” kata Ndarsih yang sedang mencuci jahe sebelum dipipis.

“Iya, Mbak. Lha wong selain di kedai jamu, saya di rumah juga rajin bikin jamu untuk keluarga, kok. Karena kami percaya jamu bisa membantu meningkatkan imun dan mengobati berbagai keluhan, seperti pegal linu, hipertensi, bahkan sekadar untuk mengatasi rasa lelah,” tukas Poni menimpali sambil meneruskan menumbuk kunyit dengan lumpang dan alu sendirian.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dulunya LIPI, juga menyebutkan keanekaragaman hayati Indonesia memiliki potensi mengatasi tantangan penyakit infeksi. Berdasarkan kajian BRIN, terdapat 90 jenis obat-obatan alami yang berkhasiat sebagai anti-bakteri. Kemudian 70 jenis bermanfaat untuk anti-kanker, dan anti-inflamasi sebanyak 50 jenis.

Akar tradisi jamu diyakini telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-8. Bukti tertulis tentang keberadaan jamu ditemukan dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur yang digambarkan sejumlah orang sedang memberikan pertolongan kepada seorang laki-laki yang sedang sakit dengan cara memijat kepalanya, menggosok perut dan dadanya, serta ada yang membawa mangkuk obat. 

Kisah meracik jamu dengan sejumlah tanaman yang masih dimanfaatkan sebagai bahan ramuan pun tergambar di dalamnya, antara lain tanaman semanggi, pandan, maja, dan jamblang. Hal ini menunjukkan praktik penggunaan tanaman obat dan ramuan herbal oleh masyarakat setempat dan menandakan bahwa sejak dahulu, nenek moyang bangsa Indonesia sudah memiliki pengetahuan tentang manfaat tanaman lokal untuk kesehatan.

Sejak abad ke-15, Nusantara juga telah dikenal sebagai Kepulauan Rempah, jalur maritim yang membawa kekayaan tanah ini ke seluruh dunia. Sehingga, Kekayaan rempah ini tidak hanya membangun identitas Nusantara di masa lalu, tetapi juga menjadi kunci dalam ketahanan pangan Indonesia yang saat ini menghadapi tantangan global. 

“Seiring era globalisasi, pemanfaatan obat herbal terus meluas ke seluruh dunia. Melimpahnya keanekaragaman hayati menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan industri herbal,” kata Indi Dharmayanti, Kepala Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam webinar bertema “Saintifikasi Jamu: Mengungkap Warisan Budaya untuk Menyehatkan Bangsa” di Jakarta pada Agustus 2022. 

“Akan tetapi, dibutuhkan landasan riset yang kuat dari berbagai aspek. Di bagian hulu perlu didorong riset dalam penyediaan bahan baku yang cukup, bermutu, dan berkelanjutan,” lanjutnya.