Jamu: Warisan Budaya Penguat Ketahanan Pangan dan Emansipasi Perempuan

By National Geographic Indonesia, Selasa, 24 Desember 2024 | 14:00 WIB
Jamu Ginggang, warisan keluarga yang dirintis sejak 1930-an, memiliki nuansa nostalgia yang sampai hari ini digemari warga Yogyakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurut FAO juga bahwa diversifikasi tanaman juga berperan penting dalam menjaga stabilitas pasokan bahan baku jamu. Dengan mengintegrasikan berbagai jenis tanaman dalam satu ekosistem, risiko kegagalan panen akibat perubahan iklim dapat ditekan. Praktik ini tidak hanya meningkatkan ketahanan terhadap cuaca ekstrem, tetapi juga membantu menjaga kesuburan tanah dan mencegah hama serta penyakit tanaman​

Selain perannya dalam ketahanan pangan, jamu juga menjadi sarana pemberdayaan perempuan. Seperti halnya kegiatan di kedai jamu yang tidak hanya menciptakan produk, tetapi juga membangun jaringan sosial yang kuat.

Dalam setiap langkah, Yayuk, Ndarsih, dan Poni membuktikan bahwa kolaborasi dapat menghasilkan solusi yang lebih tepat untuk kebutuhan lokal, memperkuat ikatan sosial di tengah perubahan zaman. “Kami saling mendukung satu sama lain. Ini adalah kekuatan komunitas kami,” kata Yayuk menekankan.

Lebih dari itu, jamu juga memberi peluang bagi perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Lewat industri jamu, perempuan seperti Yayuk, Ndarsih, dan Poni tidak hanya menjaga kesehatan komunitas mereka, tetapi juga berperan aktif sebagai pelaku ekonomi yang menemukan kemandirian finansial melalui racikan tradisional.

“Di Indonesia, peranan perempuan dalam perekonomian semakin hari makin signifikan. Pada sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM), 53,76 persen pelakunya perempuan dan 97 persen pekerjanya pun perempuan. Sementara itu, kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional ialah 61 persen. Pada bidang investasi, kontribusi perempuan 60 persen,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam seminar nasional “Ekonomi dan Keuangan Syariah” pada April 2021 di Jakarta. 

“Ekonomi keluarga saya jadi terbantu, Mbak, dengan saya bekerja di kedai jamu Ginggang ini. Bahkan saya juga bisa menyekolahkan anak-anak saya sampai tinggi,” tukas Poni yang telah bekerja sejak gadis hingga kini berusia lebih dari 50 tahun.

Yayuk, pengelola kedai jamu Ginggang pun merasakan kemandirian secara finansial melalui industri jamu. “Dulu saya hanya membantu ibu saya, tapi sekarang, inilah cara saya menghidupi keluarga saya sekaligus menjaga kelestarian pangan lokal agar tetap urup,” ujarnya dengan tenang dan ramah tetapi penuh kebanggaan.

Di tengah tantangan krisis pangan global, Ndarsih menegaskan, “Dengan jamu, kami menyediakan alternatif sehat berawal dari keluarga hingga masyarakat sekitar. Kami ingin semua orang memiliki akses pada minuman berkhasiat yang menyehatkan.” Dalam situasi ini, jamu telah bertransformasi dari sekadar minuman tradisional menjadi simbol harapan dan pilihan bagi masyarakat.

Ini terbukti dalam penelitian tentang tingkat penerimaan jamu oleh masyarakat pada 2016 yang dilakukan Andriati dan R.M. Teguh Wahjudi dalam Jurnal UNAIR. Hasil penelitian dari 160 kuesioner pada masyarakat di Surabaya, Madura dan Magetan secara acak (random) menyatakan bahwa tingkat penerimaan jamu di masyarakat sebagai alternatif ramuan herbal semakin meningkat sebanyak 58 persen. Bahkan mayoritas meminumnya secara reguler dan merekomendasikannya kepada orang lain.

Dalam praktiknya, melalui industri jamu seperti kedai jamu Ginggang ini mampu membuka peluang ekonomi yang signifikan, khususnya bagi perempuan dan komunitas lokal. Kemandirian ekonomi ini tidak hanya menciptakan stabilitas tetapi juga memberdayakan perempuan seperti Yayuk, Ndarsih, dan Poni dalam peran mereka sebagai penggerak ekonomi lokal. 

“Ini membuktikan bahwa para perempuan mampu terlibat dalam proses produksi hingga konsumsi, peduli terhadap isu kesehatan, ulet dan konsisten, multiperan, bahkan penentu konsumsi dan gizi keluarga. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Kehadiran Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) peduli,” kata Puji Sumedi Hanggarawati dalam Forum Bumi.

Lebih jauh lagi, dengan adanya produksi jamu, Puji Sumedi Hanggarawati selaku Manager Program Pertanian KEHATI mengatakan bahwa hal ini mampu melestarikan kearifan lokal dan keanekaragaman hayati Indonesia, yang memiliki lebih dari 5.529 sumber daya hayati tanaman pangan.

“Perlu diingat juga ya Mbak, bahwa jamu juga tidak hanya terdiri dari rempah-rempah saja tetapi juga dari bunga, daun, hingga biji-bijian. Dengan mendorong produksi hingga konsumsi jamu, masyarakat mempertahankan tradisi pengobatan lokal dan menjaga keberagaman tanaman yang esensial untuk ketahanan pangan di masa depan,” jelas Yayuk yang kini sudah rapi karena akan bersiap ke kedai untuk berjualan. Saya pun antusias mengikutinya. 

Dalam penelitian yang dilakukan Andriati dan R.M. Teguh Wahjudi juga menyebutkan bahwa pemerintah lokal memiliki peran strategis dalam mengelola herbal melalui inovasi kebijakan untuk pelayanan kesehatan di masyarakat lokal. Terdapat juga urgensi untuk melakukan pendampingan, penelitian, pengurangan pajak, metode yang lebih canggih dalam budidaya tanaman herbal, standarisasi herbal, dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan herbal.

“Saya merasa zaman sekarang sudah banyak yang jualan jamu. Apalagi dengan berbagai inovasi produk dan kemasannya,” ungkap Yayuk sambil mengelap botol-botol jamu, “makanya kami harus putar otak bagaimana caranya biar tetap laku di zaman modern seperti sekarang.”

“Apalagi sekarang ada tantangan untuk mengenalkan kepada anak muda apa itu jamu. Selama ini mereka beranggapan bahwa jamu itu minuman kuno dan pahit,” kata Yayuk dengan wajah prihatin. “Mereka juga lebih suka makanan dan minuman manis dengan kemasan lucu-lucu. Dengan kondisi ini, kami biasanya akan melakukan inovasi tampilan kemasan yang ramah lingkungan dan varian lain dengan tetap mempertahankan resep racikan asli karena itulah ciri khas kami. Kami juga jualan di e-commerce biar mereka bisa beli secara daring, Mbak.” 

Saya pun penasaran ingin mencoba jamu Ginggang asli dan akhirnya mencicipi jamu galian putri. “Bagaimana, Mbak rasanya?” tanya Yayuk sambil memperhatikan ekspresi saya saat meminum jamu. Saya pun mengatakan bahwa rasanya aneh karena ini adalah kali pertama saya mencoba jamu galian putri, tapi saya suka dengan rasa manisnya dari gula asli. “Galian putri bermanfaat lho, Mbak untuk kesehatan perempuan seperti mengurangi nyeri haid, meningkatkan kesuburan, dan masalah kesehatan reproduksi perempuan lainnya,” lanjut Yayuk. Saya pun jadi semangat untuk menghabiskan segelas jamu tersebut. 

“Rempah-rempah ini adalah jati diri kami,” ujar Yayuk sambil menunjukkan rempah-rempah dalam tampah, “kami menjaga tanah dan warisan ini agar tetap hidup, tidak hanya untuk kami, tetapi untuk generasi mendatang.” Dengan memanfaatkan sumber daya lokal, mereka memastikan bahwa ketahanan pangan berbasis rempah tetap terjaga di tengah dunia yang semakin tergantung pada produk impor. 

Bagi Yayuk, Ndarsih, dan Poni jamu bukan sekadar bisnis; ia melambangkan ketahanan, kemandirian, dan kekuatan perempuan Indonesia. Dalam setiap gelas jamu yang mereka sajikan, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan, tidak hanya bagi diri mereka tetapi juga untuk generasi mendatang.

Kisah ini terpilih sebagai Juara Ketiga Kompetisi Menulis Forum Bumi-2: Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia? Kolaborasi National Geographic Indonesia dan Yayasan KEHATI.