Jamu: Warisan Budaya Penguat Ketahanan Pangan dan Emansipasi Perempuan

By National Geographic Indonesia, Selasa, 24 Desember 2024 | 14:00 WIB
Jamu Ginggang, warisan keluarga yang dirintis sejak 1930-an, memiliki nuansa nostalgia yang sampai hari ini digemari warga Yogyakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Saintifikasi juga bisa menjadi jembatan untuk menyediakan bukti ilmiah dari jamu-jamu yang sudah lama digunakan masyarakat. Harapannya, dengan adanya bukti ini, pelayanan kesehatan bisa menggunakannya,” tambah Danang Ardianto, Peneliti Ahli Muda Kementerian Kesehatan masih dalam webinar yang sama.

Tanaman-tanaman seperti jahe dan temulawak yang tahan terhadap perubahan cuaca menjadi pilihan utama bagi para peracik jamu seperti Yayuk dan karyawannya. Mereka terus berupaya menggunakan rempah lokal, yang tak hanya berkhasiat tetapi juga lebih ramah iklim, mendukung petani lokal dengan ekosistem yang berkelanjutan. “Saya dari dulu selalu belanja rempah-rempah di pasar Beringharjo. Selain dekat, harganya juga murah,” kata Yayuk, “saya juga sudah punya langganan pemasok dari petaninya langsung.”

“Setiap bahan yang kami pilih memiliki khasiatnya sendiri. Kami berusaha untuk memanfaatkan rempah-rempah lokal yang ada,” kata Ndarsih sambil mengaduk rempah-rempah yang tengah direbus di tungku kayu bakar dengan perlahan tapi pasti.

Namun, laporan dari Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tentang Climate Change and Food Security in Indonesia, perlu diperhatikan bahwa perubahan iklim global telah mengganggu pola tanam yang diwariskan secara turun-temurun. Di tengah tantangan perubahan iklim dan ketergantungan pada impor pangan, jamu menawarkan solusi berbasis lokal yang kaya akan manfaat.

Bersama petani lokal, Yayuk, Ndarsih, dan Poni menerapkan metode pertanian berkelanjutan untuk menjaga ekosistem lokal dan memastikan bahwa rempah-rempah tetap berkualitas tinggi dengan adanya Lumbung Mataraman. Mengacu filosofi “nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur” atau “menanam apa yang bisa dimakan, makan apa yang ditanam”, Lumbung Mataraman diandalkan jadi kearifan lokal Yogyakarta untuk menghadapi berbagai fenomena perubahan iklim ke depan.

“Lumbung Mataraman sebagai simbol kearifan lokal, sejak dahulu menjadi contoh kolektif dalam menjamin ketersediaan pangan. Filosofi ini tetap relevan menghadapi tantangan ketahanan pangan global. Dengan mengoptimalkan potensi lokal dan bijak mengelola sumber daya, kita dapat memenuhi hak pangan secara adil dan berkelanjutan,” kata Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X turut mengajak masyarakat untuk menjadikan Festival Lumbung Mataraman 2024 sebagai momentum kebangkitan ketahanan pangan DIY.

Selain itu, pengembangan pangan lokal dan pengurangan ketergantungan pada bahan impor, seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, juga menjadikan jamu sebagai solusi efektif untuk diversifikasi pangan. Diversifikasi ini bukan hanya penting untuk ketahanan pangan, tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap berbagai risiko, seperti perubahan iklim, gangguan pasokan, dan penyakit tanaman.

Hal ini sejalan dengan apa yang dibahas dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia edisi-2 bertema “Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?” pada Kamis, 10 Oktober 2024. Pembahasannya menyoroti pentingnya diversifikasi pangan, termasuk melalui tanaman lokal yang berkhasiat.

“Diversifikasi atau penganekaragaman terutama pada tanaman lokal yang sesuai dengan iklim dan kebutuhan lokal adalah langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan mendukung keberlanjutan​,” jelas Jarot Indarto selaku Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/ Bappenas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2025–2045 yang menjadi narasumber dalam forum tersebut.

Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), diversifikasi tanaman ini dapat dilakukan dengan menanam berbagai jenis rempah dan tanaman obat sehingga petani dapat memperkecil risiko jika satu jenis tanaman terpengaruh oleh perubahan iklim.

FAO juga menyatakan bahwa tanaman rempah seperti jahe dan temulawak memang dikenal adaptif terhadap perubahan iklim. Jahe, misalnya, dapat tumbuh dalam kondisi suhu yang lebih panas dan dengan curah hujan yang bervariasi, yang membuatnya sesuai untuk dibudidayakan di berbagai wilayah.

Kondisi serupa juga berlaku pada temulawak, yang bisa beradaptasi dalam lingkungan tropis dengan kelembaban tinggi dan tanah yang subur. Keunggulan adaptasi ini menjadikannya pilihan yang ideal dalam menghadapi iklim yang semakin ekstrem.