Terdapat beberapa foto yang diambil oleh IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) di perairan Cirebon saat peristiwa bersejarah perundingan Linggarjati. Beberapa foto menunjukkan keberadaan kapal bernomor lambung 408, namun tak ada satupun keterangan foto yang menuliskan bahwa kapal itu merujuk pada Gadjah Mada. IPPHOS hanya menuliskan "Kapal ALRI di Cirebon" dalam keterangannya.
Kami mengamati kapal yang bertuliskan "G.M." pada lambungnya, yang diyakini sebagai kapal Gadjah Mada. Kemudian kami mencatat detail perbedaan dari kedua kapal. Beberapa perbedaan yang kami catat di antaranya: (1) Kapal 408 tidak memiliki urlup jangkar, kapal G.M. memiliki urlup jangkar; (2) Kapal 408 memiliki dua pisang atau fender, kapal G.M. memiliki satu pisang; (3) Kapal 408 memiliki jendela bulat di antara dua pisang, kapal G.M. tidak berjendela lambung; (4) Kapal 408 memiliki dek yang rata, sedangkan dek kapal G.M. memiliki beda elevasi di bagian haluan.
Ada beberpa istilah perkapalan yang barangkali masih terdengar garib bagi awam. Sebutan "urlup" merujuk lubang tempat naik turunnya rantai jangkar, "pisang" atau fender adalah bagian dari dinding lambung kapal yang menonjol keluar dengan fungsi menahan gesekan badan kapal dengan dermaga atau kapal lain, haluan adalah bagian depan kapal.
Rencana penyelaman selanjutnya, kami akan menuju titik demi titik perbedaan yang sudah kami catat untuk pengamatan dan pendokumentasian. Letkol Ponco merasa bahwa ia melihat boyo-boyo atau coaming, sebuah struktur vertikal yang berfungsi menahan air masuk ke dalam palka. Jika dugaannya benar, reruntuhan kapal ini memiliki palka yang artinya menguatkan bahwa kapal ini jenis coaster atau kapal dagang.
Penyelaman hari kedua: Mengambil simpulan
Pada esok harinya, kami mencoba peruntungan dengan menyelam lebih pagi. Usai subuh, kami sudah meninggalkan mes. Setelah bersiap, Kapal Patkamla Gebang dan satu perahu karet kembali meninggalkan dermaga sekitar pukul enam pagi menuju lokasi reruntuhan kapal. Letkol Yudo Ponco, Benny, Edwin dan saya turun sebagai penyelam.
Berbeda dengan penyelaman sebelumnya, hari itu lautan begitu tenang, tak ada ombak, tak ada angin, permukaan laut hampir-hampir seperti kaca. Kami berempat turun bersamaan. Pada kedalaman lima meter, air laut tampak begitu keruh, sehingga saya turun menyusuri tali vertikal yang diikatkan pada haluan reruntuhan kapal.
Ketika sampai pada pangkal tali, saya meraih senter dan mulai mengamati. Kedatangan kami yang lebih pagi ternyata tidak berpengaruh pada jarak pandang, masih tetap sekitar 20 sentimeter saja. Dasar laut berupa lapisan lumpur lembut yang cukup tebal.
Ketika meraba dinding lambung kapal itulah saya menemukan pisang—atau fender. Hampir mustahil rasanya menemukan pisang ini tanpa perabaan. Perlahan saya terus meraba dan mengamati dari atas hingga ke bawah. Saya memastikan hanya ada satu pisang.
Kemudian saya melanjutkan mengelilingi badan kapal dan memeriksa bagian dek. Ketebalan lumpur di atas dek sekitar 10 hingga 20 sentimeter. Ada banyak ceceran benda berbentuk oval sempurna yang belakangan saya ketahui sebagai pemberat jaring. Reruntuhan kapal dipenuhi jaring nelayan yang tersangkut. Kami pun harus sangat berhati-hati karena sisa jaring dan tali bisa menjerat penyelam.
Letkol Ponco, Benny dan Edwin berada di bagian lain kapal ini, semua bergerak mencari sasaran masing-masing. Jam terbang penyelaman yang cukup tinggi membuat Benny lebih tenang menghadapi perairan keruh dan berarus, cukup jadi alasan kenapa ia harus mengarahkan lensa kamera. Sementara itu nerkeliling di bangkai kapal dalam kondisi gelap menyebabkan saya bertabrakan dua kali dengan rekan penyelam lain.
Setelah lebih dari satu jam mengamati kapal, kami naik ke permukaan. Ketika berdiskusi di atas perahu karet, Letkol Ponco dengan antusias menyampaikan bahwa ia menemukan objek baru: "lubang as kemudi".
Kami beristirahat selama 30 menit sembari mempersiapkan tabung baru dan mengambil dokumentasi. Semua penyelam melaporkan temuan masing-masing. Kini, saatnya mengambil dokumentasi dengan lebih terfokus. Untuk penyelaman kedua, kami bersepakat hanya dua penyelam yang akan turun yakni Letkol Ponco dan Benny. Tujuannya, supaya tidak menambah keruh sehingga pengambilan gambar bisa lebih maksimal. Penyelaman kedua selama satu jam juga, dimulai sekitar pukul sembilan.
Setelah kembali ke Mes Pangkalan Angkatan Laut, kami segera menyiapkan proyektor dan kembali menganalisa kegiatan penyelaman hari itu. Beberapa identifikasi temuan yang disepakati di antaranya: (1) Bagian urlup jangkar sudah hancur; (2) Memiliki satu pisang saja; (3) Tidak ada jendela di sepanjang sisi lambung; (4) Terdapat perbedaan elevasi pada bagian haluan; (6) Dipastikan ada palka dan boyo-boyo, menandakan bahwa ini adalah kapal coaster; (7) Temuan bagian as daun kemudi kapal.
Kami menyimpulkan bahwa temuan reruntuhan kapal di dasar laut itu menunjukkan kedekatannya dengan foto kapal bertuliskan kode "G.M." pada lambungnya. Temuan ini sekaligus membuktikan bahwa foto kapal bernomor lambung 408—yang telanjur tampil dalam buku-buku sejarah—tampaknya bukan merupakan Kapal RI Gadjah Mada.
Kami meyakini masih perlu penelitian yang lebih jauh lagi, tetapi satu hal yang perlu dipahami bersama adalah sejarah itu bersifat dinamis. Apa yang disepakati selama ini bisa berubah berdasarkan temuan-temuan baru, entah itu arsip, kegiatan arkeologis, dan kesaksian, yang semuanya perlu disaling-silangkan.
"Ada kisah di balik setiap peristiwa, ada cerita yang bisa kita bawakan kepada generasi muda untuk membangun karakter," ujar Letkol Yudo. Menurutnya, kegiatan penyelaman bangkai kapal semacam ini sangatlah penting, "Satu kegiatan untuk menyegarkan kembali ingatan bersama, ingatan bangsa akan satu peristiwa penting yang pernah terjadi."
Kolonel Juang menambahkan, "Pencatatan dan pendokumentasian reruntuhan kapal juga penting karena objek-objek ini merupakan aset kekayaan maritim Nusantara yang harus dijaga dan dilestarikan, baik fisik maupun kisah di baliknya."