Misi Penyelaman Mengidentifikasi Kapal ALRI 'Gadjah Mada' di Laut Jawa

By National Geographic Indonesia, Kamis, 16 Januari 2025 | 08:45 WIB
Letkol Laut Yudo Ponco, Kepala Riset Lapangan Dinas Sejarah Angkatan Laut, bersiap melakukan penyelaman di titik yang diduga lokasi tenggelamnya Kapal RI Gadjah Mada di perairan Cirebon. (Ady Setyawan)

Kisah oleh Ady Setyawan

Nationalgeographic.co.id—Laut Jawa pada Minggu, 5 Januari 1947, sekitar pukul enam pagi. Lima kapal ALRI yang bergerak menuju arah utara perairan Cirebon.

Tiba-tiba radio mereka menerima perintah berhenti dari kapal musuh, Hr.Ms. Kortenaer. Namun mereka mengabaikan seruan kapal berbendera Belanda itu. Berikutnya, Letnan Komandan G.B. Fortuyn sebagai pucuk pimpinan kapal Belanda itu memberikan tembakan peringatan.

Letnan Samadikun, komandan Kapal RI Gadjah Mada, segera memberi perintah kepada armada ALRI supaya kembali ke pangkalan untuk menyelamatkan diri. Kemudian ia bersama awak kapalnya bergerak maju menyongsong kapal musuh.

Kortenaer memuntahkan salvo meriam. Celakanya, tembakan keenam berhasil mengenai buritan Gadjah Mada. Tembakan selanjutnya menghantam bagian tengah kapal yang mengakibatkan kebakaran sehingga asap hitam pun membubung. 

Selanjutnya, bagian buritannya pelan-pelan mulai tenggelam. Sekalipun dalam keadaan genting, senapan mesin Gadjah Mada masih terus menyalak. Tembakan ke-14 dari meriam Kortenaer barulah membungkam perlawanannya. 

Kekuatan dua kapal yang berseteru ini jelas timpang. Kortenaer adalah kapal perang modern pada masanya, sedangkan Gadjah Mada—meski kapal terbaik ALRI—hanya sekelas kapal dagang yang dipasangi senapan mesin. 

Pusara Kapten Anumerta Samadikun, penghuni pertama Taman Makam Pahlawan Kasenden di Kota Cirebon. Ia merupakan komandan Kapal RI Gadjah Mada yang gugur pada 5 Januari 1947 di perairan Cirebon. (Ady Setyawan)

Bulan yang sama, 78 tahun kemudian  

Pagi-pagi buta, saya bersama dua kawan tiba di Mes Pangkalan Angkatan Laut Cirebon. Kedatangan kami beriringan dengan deru debu truk-truk raksasa. Pemandangan yang menandai kesibukan kota pelabuhan.

Kami datang untuk mengenang peristiwa perang laut di perairan Cirebon itu. Saya dan kedua kawan itu memang dipertemukan dalam kegemaran menyelam. Benny Gunawan, seorang pengelola salah satu dive center di Tulamben yang gemar mengabadikan keindahan bawah laut. Edwin Hadimuljono, seorang kawan penyelam yang juga pengusaha tambak udang di Surabaya. 

Baca Juga: Mengenal Histori dan Karakteristik Masyarakat Pesisir Cirebon

Ketika matahari pagi menapaki cakrawala, Kolonel Laut Juang Pawana dan Letkol Laut Yudo Ponco dari Dinas Sejarah Angkatan Laut menyambut kami. Rencananya, kami menziarahi pusara Kapten Anumerta Samadikun di Taman Makam Pahlawan Kasenden.

Cirebon, sebagai kota pelabuhan, memiliki laskar matra laut sejak 19 Agustus 1945. Namanya, "API Laut" yang merupakan kependekan dari Angkatan Pemuda Indonesia Laut. Pemimpinnya, Idma Kartadisastra. Kelompok perjuangan matra laut ini merekrut para pemuda setempat yang sebagian besar pernah bekerja di Jawa Unko Kaisha (perusahaan pelayaran sipil masa pendudukan Jepang), Koninklijke Marine (Angkatan Laut Belanda), para guru dan murid SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi).

Situasi berkembang. API Laut berubah nama menjadi BKR Laut Cirebon pada 17 September 1945, kemudian berubah menjadi TKR Laut Cirebon pada 5 Oktober 1945.

Jumlah anggota awalnya hanya 79 orang dengan kekuatan persenjataan sangat minim, yaitu empat pucuk pistol Browning yang hanya dipegang oleh para pimpinan dan beberapa pucuk senapan Lee Enfield yang dipegang oleh staf mereka. Mereka pun hanya memiliki tiga unit kapal yaitu sebuah kapal motor bernama Surapringga, satu kapal tarik bernama Semar, dan satu kapal kayu buatan Jepang. 

Suasana Posko penyelaman di dalam Mes Pangkalan Angkatan Laut Cirebon. (Ady Setyawan)

Pada 4 Januari 1946, terjadi peristiwa pemindahan ibu kota dari Jakarta menuju Yogyakarta. Langkah ini diambil karena Jakarta dikuasai oleh NICA. Pindahnya Presiden dan Wakil Presiden RI diikuti oleh para pengikut, termasuk pimpinan matra laut.

Laksamana III Adam bersama anggotanya yang bersenjata lengkap tiba di Cirebon dan menggabungkan diri dengan unsur TKR Laut yang sudah ada. Karena besarnya jumlah personil baru, maka TKR Laut Cirebon berubah nama menjadi Resimen TKR Laut Cirebon dengan kekuatan tiga batalion—awalnya hanya berkekuatan kurang dari satu kompi.

Pada 26 Januari 1946, nama Resimen TKR Laut Cirebon berubah nama menjadi Resimen TRI Laut Cirebon. Kemudian berubah lagi menjadi ALRI Pangkalan III Cirebon per 19 Juli 1946. Laksamana III Adam masih menjadi pimpinannya. 

Pada 1946, TKR Laut membentuk beberapa pangkalan di Jawa. Dari Pangkalan I hingga XII secara berurutan diantaranya : Serang, Karawang, Cirebon, Tegal, Pemalang, Juana, Surabaya, Madura, Probolinggo, Banyuwangi, Pacitan dan Cilacap. Namun, dari semua pangkalan yang direncanakan, Pangkalan Madura dan Pangkalan Pacitan tidak bisa terlaksana. 

Penyelaman hari pertama, kisah di balik reruntuhan

Usai ziarah ke TMP, kami menuju ke dermaga. Tim penyelam Dinas Sejarah Angkatan Laut seluruhnya berjumlah lima orang termasuk saya. Kami ditemani oleh tim penyelam dari Pangkalan Angkatan Laut Cirebon yang dipimpin oleh Letda Laut Nurhayat.

Baca Juga: Ereveld Ancol Berbagi Histori: Ziarah Para Pejuang Aceh yang Terlupakan

Sebelum giat, kami melakukan pengarahan kecil di posko penyelaman. Saya menyaksikan dua foto yang dicetak besar di dinding. Foto sisi kiri, sebuah kapal dengan nomor lambung 408 yang banyak dimuat di buku-buku sejarah. Foto sisi kanan, foto kapal dengan ukuran serupa, dilengkapi tulisan GM pada sisi lambungnya. Dalam misi penyelaman ini kami harus menentukan foto sesungguhnya yang merujuk KRI Gadjah Mada berdasarkan bentuk reruntuhan kapal.

Dermaga, tepat pukul sepuluh. Kapal Patroli Keamanan Laut Gebang membawa kami menuju lautan diikuti satu perahu karet yang dioperatori oleh Serka Wage. Setelah 30 menit, kami tiba di lokasi yang diduga sebagai tempat tenggelamnya Kapal RI Gadjah Mada. Hari ini kami hanya melakukan satu kali tahapan penyelaman. Tiga penyelam segera mempersiapkan diri untuk turun: Benny sebagai kameraman, Edwin dan Letkol. Ponco akan melakukan pengamatan bangkai kapal. 

Benny membawa perlengkapan kamera aksi, kamera berpelindung untuk bawah air, dan dua unit lampu. Setelah semua alat terpasang, tim berpindah dari Gebang menuju perahu karet. Sebelumnya, Kolonel Juang memimpin berdoa. Kemudian Letkol Ponco, selaku Kepala Riset Lapangan di Dinas Sejarah Angkatan Laut, mengawali backroll untuk menyelam pada pukul 11.30 WIB. 

Kapal RI Gadjah Mada merupakan kapal berjenis coaster berukuran kurang lebih 150 ton. Kapal ini diselundupkan dari Singapura oleh Letnan Dua Gurukusuma dan tiba di ALRI Pangkalan III Cirebon pada Oktober 1946. Kapal coaster pada dasarnya adalah kapal dagang, namun segera dimodifikasi menjadi kapal perang sederhana begitu tiba di Cirebon. Mereka melengkapinya dengan senapan mesin, dan menjadi flagship atau kapal utama Pangkalan III Cirebon.

Kapal ALRI bernomor lambung 408 di dermaga Cirebon, yang kerap tampil di buku-buku sejarah sebagai Kapal RI Gadjah Mada. (ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA)

Kapal RI Gadjah Mada dengan kode G.M., salah satu kapal ALRI terbaik meski berasal dari kapal dagang yang dipasang senapan mesin. (ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA)

Ketika terjadi perundingan Linggarjati antara 11 sampai 15 November 1946, delegasi Belanda menggunakan kapal Hr.Ms. Banckert, namun tidak bisa merapat ke daratan. Akibatnya, armada kapal ALRI Cirebon melakukan pengawalan dan penjemputan. Kapal Gadjah Mada menjemput delegasi Belanda itu sampai ke dermaga. 

Pada 4 Januari 1947, gelaran latihan perang bersama antara Angkatan Laut Cirebon bersama dengan Angkatan Darat di Pantai Cirebon. Selain kapal Gadjah Mada, terlibat juga empat kapal patroli pantai yang berbobot antara 60 hingga 80 ton. Pukul enam sore, tiga kapal Belanda terpantau ALRI. Mereka diperintahkan untuk memantau gerak-gerik kapal musuh, dengan tetap mempertahankan posisinya di wilayah perairan teritorial Pangkalan Cirebon. Menjelang fajar, dua dari tiga kapal itu menghilang dari pandangan. Satu kapal yang membuang sauhnya itulah kapal Kortenaer

Esoknya, pukul enam pagi rombongan kapal ALRI yang bergerak menuju arah utara menerima perintah dari Kortenaer untuk berhenti. Namun perintah ini diabaikan oleh kapal-kapal ALRI. Tiga belas menit kemudian, kapal Belanda itu pun memberikan tembakan peringatan. 

Setelah komandan Gadjah Mada, Letnan Satu Samadikun, memberi perintah agar kapal lain kembali ke pangkalan, ia bergerak menghadapi kapal musuh. Dalam pertempuran laut yang tak seimbang ini Kortenaer berhasil menenggelamkan Gadjah Mada.

Menara pengawas yang berada di daratan menyaksikan peristiwa ini melalui teropong. Sebuah sekoci Palang Merah segera berangkat dari dermaga karena Kortenaer juga menurunkan sekoci menuju lokasi tenggelamnya Gadjah Mada. Sekoci musuh itu tampak memunguti awak yang terapung-apung.

Baca Juga: Bagaimana Rasanya Hidup di Kapal Perang Kekaisaran Romawi Kuno?

Setibanya sekoci Palang Merah di lokasi, sekoci Belanda telah kembali ke Kortenaer. Pimpinan sekoci Palang Merah meminta kepada kapal musuh itu agar menyerahkan para korban kepada pihak Indonesia. Namun, mereka menolak permintaan ini. Sebagai gantinya, mereka memberikan daftar 22 nama tawanan dari Gadjah Mada.

Sementara nasib para awak lainnya tidak diketahui, Kortenaer perlahan hilang dari cakrawala. Para penumpang sekoci Palang Merah berusaha mencari para korban yang masih tercecer, namun mereka menghadapi kesulitan karena lautan yang begitu luas. Upaya ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.

Saya mencari sumber dari Belanda terkait jumlah tawanan itu. Surat kabar Het Dagblaad yang terbit pada 6 Januari 1947—sehari setelah peristiwa perang laut—juga memberitakan bahwa mereka menawan sebanyak 22 pelaut Indonesia, plus mewartakan dua awak kapal lainnya terbunuh. 

Pada 7 Januari 1946, serombongan nelayan mendatangi markas ALRI Cirebon sambil membopong sosok jenazah. Lengan kiri milik jenazah itu putus dan wajahnya sudah sulit dikenali karena hangus terbakar. Namun, rekan-rekannya meyakini sebagai jenazah Letnan Samadikun.

Cuaca di perairan Cirebon pada penyelaman hari kedua. Kendati air tenang, jarak pandang di bawah permukaan air masih sangat terbatas. (Ady Setyawan)

Kembali ke lokasi penyelaman. Kami beruntung suasana siang itu mendung dan sedikit gerimis. Angin berembus dengan kecepatan dua knot. Saya dan Kolonel Juang menanti di atas perahu karet sambil mencatat log sembari diayun-ayun ombak setinggi satu meter.

Setelah menanti lebih dari satu jam, semua penyelam sudah naik ke permukaan. Saya melihat Edwin tampak bersungut-sungut. Pasalnya, kondisi bangkai kapal yang penuh besi-besi tajam dan tali-temali jaring nelayan telah menyebabkan papan untuk mencatat atau slate miliknya tersangkut. Ia kemudian berpesan kepada penyelam lain untuk lebih waspada untuk penyelaman berikutnya.

Setelah kembali ke dermaga dan membilas peralatan, kami kembali ke mes untuk mendiskusikan hasil pengamatan.

Mengamati detail perbedaan

Usai salat magrib, kami berkumpul di ruang tengah Mes Pangakalan Angatan Laut. Proyektor diarahkan ke dinding, semua mata mengamati dengan teliti hasil rekaman video hari pertama. Perairan sangat keruh, bangkai kapal berada di kedalaman delapan meter. Jarak pandang tanpa alat bantu senter hanya berjarak 20 sentimeter. Kami semua memicingkan mata, beberapa bagian kapal berhasil kami identifikasi. 

Usai mengamati kondisi reruntuhan kapal, kami melanjutkan dengan mengamati foto dan video sezaman dari dua gambar kapal yang diduga sebagai Gadjah Mada.

Baca Juga: Jelajah Tengara-Tengara Cirebon

Terdapat beberapa foto yang diambil oleh IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) di perairan Cirebon saat peristiwa bersejarah perundingan Linggarjati. Beberapa foto menunjukkan keberadaan kapal bernomor lambung 408, namun tak ada satupun keterangan foto yang menuliskan bahwa kapal itu merujuk pada Gadjah Mada. IPPHOS hanya menuliskan "Kapal ALRI di Cirebon" dalam keterangannya. 

Kami mengamati kapal yang bertuliskan "G.M." pada lambungnya, yang diyakini sebagai kapal Gadjah Mada. Kemudian kami mencatat detail perbedaan dari kedua kapal. Beberapa perbedaan yang kami catat di antaranya: (1) Kapal 408 tidak memiliki urlup jangkar, kapal G.M. memiliki urlup jangkar; (2) Kapal 408 memiliki dua pisang atau fender, kapal G.M. memiliki satu pisang; (3) Kapal 408 memiliki jendela bulat di antara dua pisang, kapal G.M. tidak berjendela lambung; (4) Kapal 408 memiliki dek yang rata, sedangkan dek kapal G.M. memiliki beda elevasi di bagian haluan. 

Ada beberpa istilah perkapalan yang barangkali masih terdengar garib bagi awam. Sebutan "urlup" merujuk lubang tempat naik turunnya rantai jangkar, "pisang" atau fender adalah bagian dari dinding lambung kapal yang menonjol keluar dengan fungsi menahan gesekan badan kapal dengan dermaga atau kapal lain, haluan adalah bagian depan kapal. 

Rencana penyelaman selanjutnya, kami akan menuju titik demi titik perbedaan yang sudah kami catat untuk pengamatan dan pendokumentasian. Letkol Ponco merasa bahwa ia melihat boyo-boyo atau coaming, sebuah struktur vertikal yang berfungsi menahan air masuk ke dalam palka. Jika dugaannya benar, reruntuhan kapal ini memiliki palka yang artinya menguatkan bahwa kapal ini jenis coaster atau kapal dagang.

Tim Penyelam Dinas Sejarah Angkatan Laut, yang mengenakan replika peci ALRI. Dari kiri: Letnan Kolonel Laut Yudo Ponco, Benny Gunawan, Ady Setyawan, Edwin Hadi, dan Kolonel Laut Juang Pawana. (Dokumentasi Ady Setyawan)

Penyelaman hari kedua: Mengambil simpulan

Pada esok harinya, kami mencoba peruntungan dengan menyelam lebih pagi. Usai subuh, kami sudah meninggalkan mes. Setelah bersiap, Kapal Patkamla Gebang dan satu perahu karet kembali meninggalkan dermaga sekitar pukul enam pagi menuju lokasi reruntuhan kapal. Letkol Yudo Ponco, Benny, Edwin dan saya turun sebagai penyelam.

Berbeda dengan penyelaman sebelumnya, hari itu lautan begitu tenang, tak ada ombak, tak ada angin, permukaan laut hampir-hampir seperti kaca. Kami berempat turun bersamaan. Pada kedalaman lima meter, air laut tampak begitu keruh, sehingga saya turun menyusuri tali vertikal yang diikatkan pada haluan reruntuhan kapal. 

Ketika sampai pada pangkal tali, saya meraih senter dan mulai mengamati. Kedatangan kami yang lebih pagi ternyata tidak berpengaruh pada jarak pandang, masih tetap sekitar 20 sentimeter saja. Dasar laut berupa lapisan lumpur lembut yang cukup tebal.

Ketika meraba dinding lambung kapal itulah saya menemukan pisang—atau fender. Hampir mustahil rasanya menemukan pisang ini tanpa perabaan. Perlahan saya terus meraba dan mengamati dari atas hingga ke bawah. Saya memastikan hanya ada satu pisang.

Kemudian saya melanjutkan mengelilingi badan kapal dan memeriksa bagian dek. Ketebalan lumpur di atas dek sekitar 10 hingga 20 sentimeter. Ada banyak ceceran benda berbentuk oval sempurna yang belakangan saya ketahui sebagai pemberat jaring. Reruntuhan kapal dipenuhi jaring nelayan yang tersangkut. Kami pun harus sangat berhati-hati karena sisa jaring dan tali bisa menjerat penyelam.

Letkol Ponco, Benny dan Edwin berada di bagian lain kapal ini, semua bergerak mencari sasaran masing-masing. Jam terbang penyelaman yang cukup tinggi membuat Benny lebih tenang menghadapi perairan keruh dan berarus, cukup jadi alasan kenapa ia harus mengarahkan lensa kamera. Sementara itu nerkeliling di bangkai kapal dalam kondisi gelap menyebabkan saya bertabrakan dua kali dengan rekan penyelam lain.

Setelah lebih dari satu jam mengamati kapal, kami naik ke permukaan. Ketika berdiskusi di atas perahu karet, Letkol Ponco dengan antusias menyampaikan bahwa ia menemukan objek baru: "lubang as kemudi". 

Kami beristirahat selama 30 menit sembari mempersiapkan tabung baru dan mengambil dokumentasi. Semua penyelam melaporkan temuan masing-masing. Kini, saatnya mengambil dokumentasi dengan lebih terfokus. Untuk penyelaman kedua, kami bersepakat hanya dua penyelam yang akan turun yakni Letkol Ponco dan Benny. Tujuannya, supaya tidak menambah keruh sehingga pengambilan gambar bisa lebih maksimal. Penyelaman kedua selama satu jam juga, dimulai sekitar pukul sembilan.

Setelah kembali ke Mes Pangkalan Angkatan Laut, kami segera menyiapkan proyektor dan kembali menganalisa kegiatan penyelaman hari itu. Beberapa identifikasi temuan yang disepakati di antaranya: (1) Bagian urlup jangkar sudah hancur; (2) Memiliki satu pisang saja; (3) Tidak ada jendela di sepanjang sisi lambung; (4) Terdapat perbedaan elevasi pada bagian haluan; (6) Dipastikan ada palka dan boyo-boyo, menandakan bahwa ini adalah kapal coaster; (7) Temuan bagian as daun kemudi kapal.

Kami menyimpulkan bahwa temuan reruntuhan kapal di dasar laut itu menunjukkan kedekatannya dengan foto kapal bertuliskan kode "G.M." pada lambungnya. Temuan ini sekaligus membuktikan bahwa foto kapal bernomor lambung 408—yang telanjur tampil dalam buku-buku sejarah—tampaknya bukan merupakan Kapal RI Gadjah Mada.

Kami meyakini masih perlu penelitian yang lebih jauh lagi, tetapi satu hal yang perlu dipahami bersama adalah sejarah itu bersifat dinamis. Apa yang disepakati selama ini bisa berubah berdasarkan temuan-temuan baru, entah itu arsip, kegiatan arkeologis, dan kesaksian, yang semuanya perlu disaling-silangkan.

"Ada kisah di balik setiap peristiwa, ada cerita yang bisa kita bawakan kepada generasi muda untuk membangun karakter," ujar Letkol Yudo. Menurutnya, kegiatan penyelaman bangkai kapal semacam ini sangatlah penting, "Satu kegiatan untuk menyegarkan kembali ingatan bersama, ingatan bangsa akan satu peristiwa penting yang pernah terjadi."

Kolonel Juang menambahkan, "Pencatatan dan pendokumentasian reruntuhan kapal juga penting karena objek-objek ini merupakan aset kekayaan maritim Nusantara yang harus dijaga dan dilestarikan, baik fisik maupun kisah di baliknya."