Tak Punya Uang Sampai Dibui: Dinamika Hidup Seorang Pramoedya

By Galih Pranata, Rabu, 5 Februari 2025 | 18:00 WIB
Potret muda Pramoedya Ananta Toer pada pertengahan tahun 1950-an, di usia sekira 25 tahun.
Potret muda Pramoedya Ananta Toer pada pertengahan tahun 1950-an, di usia sekira 25 tahun. (Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI))

Nationalgeographic.grid.id—Selama Perang Dunia II berkecamuk, Pramoedya Ananta Toer yang kala itu berusia 17 tahun memulai karirnya menjadi juru ketik di kantor berita Domei milik Jepang di Jakarta.

Ia bekerja pada sore hingga malam untuk Domei karena himpitan hidup yang menderanya. menurut Koh Young Hun dalam bukunya Pramoedya Menggugat (2011), uang gajinya sebesar 35 rupiah dikirimnya ke Blora untuk adik-adiknya.

Selama bekerja untuk kantor berita Jepang itu, Pram mendapat kebanggaan saat mempelajari Bahasa Indonesia di sekolah Taman Siswa.

Sebab, Bahasa Indonesia belum menjadi bahasa nasional di zaman itu dan baru dimunculkan pada zaman Jepang sebagai kurikulum sekolah. Bagi Pram, Bahasa Indonesia bisa menjadi medium persatuan bangsa.

Sayangnya, Pram tidak sempat naik kelas karena Taman Siswa terburu untuk dibubarkan oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Untuk mengisi kepalanya, Pram melahap banyak bacaan dari buku yang disewa atau dibelinya.

Permata Sari Angie dalam skripsinya berjudul Gagasan Nasionalisme Pramoedya Ananta Toer dalam Karya 'Tetralogi Buru' yang terbit tahun 2017, mengisahkan tentang dinamika kehidupan Pramoedya.

Kantor Domei telah melihat potensi besar Pramoedya dalam jurnalismenya, membuat perusahaannya mendorong Pram untuk melanjutkan studinya. Namun, ia menolak dan memilih studi Stenografi Tjou Sangiin, lembaga pendidikan Jepang.

Belajar di lembaga inilah yang kemudian membawa seorang Pramoedya berkenalan dengan tokoh-tokoh politik Indonesia. Pram akhirnya berhasil menamatkan studinya dan lulus pada Mei 1945.

Pram menemukan gairahnya untuk terus belajar. Ia melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Islam Dondangdia. Di kampus inilah, "ia mendapat disiplin ilmu humaniora seperti filsafat, psikologi, dan sosiologi," sebut Angie dalam skripsinya.

Sejatinya, Pram tidak benar-benar menyukai pengabdian kerjanya pada penjajah macam Jepang. Maka, dengan ide gilanya, ia menghilang dan melarikan diri dari Domei pada tahun 1945.

Tindakannya ini membuat Jepang geram dan menganggap Pram memiliki dosa besar pada mereka. Itulah sebabnya, dilakukan pengejaran terhadap Pram yang melarikan diri hingga ke Desa Ngadiluwih di Kediri.

Baca Juga: Sejarah Sebagai Seni: Novel Pramoedya di Antara Realita dan Sastra