Nationalgeographic.grid.id—Selama Perang Dunia II berkecamuk, Pramoedya Ananta Toer yang kala itu berusia 17 tahun memulai karirnya menjadi juru ketik di kantor berita Domei milik Jepang di Jakarta.
Ia bekerja pada sore hingga malam untuk Domei karena himpitan hidup yang menderanya. menurut Koh Young Hun dalam bukunya Pramoedya Menggugat (2011), uang gajinya sebesar 35 rupiah dikirimnya ke Blora untuk adik-adiknya.
Selama bekerja untuk kantor berita Jepang itu, Pram mendapat kebanggaan saat mempelajari Bahasa Indonesia di sekolah Taman Siswa.
Sebab, Bahasa Indonesia belum menjadi bahasa nasional di zaman itu dan baru dimunculkan pada zaman Jepang sebagai kurikulum sekolah. Bagi Pram, Bahasa Indonesia bisa menjadi medium persatuan bangsa.
Sayangnya, Pram tidak sempat naik kelas karena Taman Siswa terburu untuk dibubarkan oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Untuk mengisi kepalanya, Pram melahap banyak bacaan dari buku yang disewa atau dibelinya.
Permata Sari Angie dalam skripsinya berjudul Gagasan Nasionalisme Pramoedya Ananta Toer dalam Karya 'Tetralogi Buru' yang terbit tahun 2017, mengisahkan tentang dinamika kehidupan Pramoedya.
Kantor Domei telah melihat potensi besar Pramoedya dalam jurnalismenya, membuat perusahaannya mendorong Pram untuk melanjutkan studinya. Namun, ia menolak dan memilih studi Stenografi Tjou Sangiin, lembaga pendidikan Jepang.
Belajar di lembaga inilah yang kemudian membawa seorang Pramoedya berkenalan dengan tokoh-tokoh politik Indonesia. Pram akhirnya berhasil menamatkan studinya dan lulus pada Mei 1945.
Pram menemukan gairahnya untuk terus belajar. Ia melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Islam Dondangdia. Di kampus inilah, "ia mendapat disiplin ilmu humaniora seperti filsafat, psikologi, dan sosiologi," sebut Angie dalam skripsinya.
Sejatinya, Pram tidak benar-benar menyukai pengabdian kerjanya pada penjajah macam Jepang. Maka, dengan ide gilanya, ia menghilang dan melarikan diri dari Domei pada tahun 1945.
Tindakannya ini membuat Jepang geram dan menganggap Pram memiliki dosa besar pada mereka. Itulah sebabnya, dilakukan pengejaran terhadap Pram yang melarikan diri hingga ke Desa Ngadiluwih di Kediri.
Baca Juga: Sejarah Sebagai Seni: Novel Pramoedya di Antara Realita dan Sastra
Setelah mendengar berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pram keluar dari persembunyiannya dan kembali ke Jakarta untuk bergabung dengan PETA. Pada Oktober, Pram diangkat menjadi Prajurit inti Divisi Siliwangi.
Ia berlanjut dalam kemiliteran sampai benar-benar berhenti pada 1 Januari 1947. "Pram tinggal di Cikampek dan menunggu gaji tujuh tempo yang belum dibayar. Gaji tersebut tidak terbayar karena dikorupsi," imbuh Angie.
Bahkan Pram pernah melalui hidup terlunta di masa sulitnya. Suatu kali ia menaik kereta api menuju Jakarta tanpa karcis, dalam kondisi tidak memiliki uang sepeser pun, dengan perut kelaparan.
Beruntungnya, pada bulan yang sama Pram diterima bekerja di The Voice of Free Indonesia sebagai redaktur bagi penerbit Indonesia. Namun, tak lama ia ditangkap oleh NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Baru sebentar bebas, Pram kembali ditangkap dan dipenjara di Bukit Duri tanpa proses peradilan. Dalihnya, Pram dijatuhi hukuman karena menolak melakukan kerja paksa. Dalam bui itulah, Pram menggubah Perburuan dan Keluarga Gerilya.
Selama berada dalam bui, Pram bertemu dengan seorang gadis yang acap kali menjenguknya di sel. Kepedulian itu membawa gelora merah muda membara dalam dadanya.
Setelah pemberontakan Madiun pada 3 Desember 1949, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan bersama kelompok tahanan yang lain karena buah dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menandai akhir dari penjajahan Belanda.
Pascabebas, di bulan Mei 1950, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai penyunting di bagian sastra Indonesia modern. Ia sempat juga menjadi redaktur majalah anak-anak Kunang-Kunang.
Percintaannya berlabuh pada gadis jelita yang akhirnya dipersunting Pram pada tahun 1950. Arfah Iljas namanya. Barangkali dari sinilah, dinamika hidup Pram kembali pasang surut. Arfah menjadi saksi kemelaratan Pram yang mengarungi hidup tak berduit.
Apalagi, ketika adik-adik Pram diboyong ke rumah ayah Arfah setelah ayah Pram, Mastoer meninggal. Alih-alih senang, Arfah merasa terbebani selama adik-adik Pram tinggal bersama ia dan orang tuanya.
Satu kali dalam hidup Pram, ia pernah diusir keluar dari rumah ayah mertuanya oleh Arfah akibat kemarahan yang ditanggung istrinya itu selama ini. Dalam kondisinya yang kacau, Pram mendapat kesempatan untuk pertukaran sastrawan ke Belanda pada 1953.
Baca Juga: Perpustakaan PATABA, Pengembang Literasi Lokal yang Mendunia
Perjalanan hidup yang luar biasa dialami Pram di Belanda. Ia melihat wawasan dunia yang baru di sana. Terutama kegelisahan jiwa karena rasa minder akibat pergaulan sosialnya dengan orang-orang Belanda.
Sampai pada permainan seks dengan noni Belanda yang telah berhasil membuat rasa percaya dirinya meningkat. Ia berhasil menaklukkan seorang wanita Belanda yang selama ini membuatnya merasa minder.
Pada tahun 1954, Pram kembali ke Indonesia dengan kondisi yang sama tak baiknya: kemelaratan ekonomi. Arfah terus mencak-mencak meski telah lama berpisah karena kondisi Pram yang masih sulit secara ekonomi.
Pram yang sempat mendirikan penerbitan sendiri bernama ‘L&F Acy Duta’, mengalami krisis. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran berdampak pada terjadinya krisis dunia penerbitan yang turut membuat keuangan Pram kacau.
Setelah berkali-kali diusir maka Pram memutuskan untuk bercerai dengan Arfah Iljas pada 1954. Ini adalah keputusan pahit yang harus diambil. Cerai dengan sang istri membuat Pram seperti orang hilang.
Setahun setelahnya, Pramoedya menambatkan hatinya pada seorang wanita yang baru dicintanya, Maimunah Thamrin. Dari sini, hidup Pram mulai menyala kembali. Ia mulai membangun ekonominya dari dunia jurnalisme yang semakin gemilang.
Pada 1957, Pramoedya menerbitkan kumpulan cerpen Tjerita dari Djakarta, Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianja dan pada 1958 terbit Sekali Peristiwa di Banten Selatan yang lebih mirip laporan perjalanan daripada karya fiksi.
Ia terus menerus aktif dalam aktivisme sebagai jurnalis. Dia bahkan sempat mendapat undangan ke Beijing pada 1956, ke Tashkent pada 1958, sampai bergabung dengan Lekra yang berpusat di Solo.
Berbagai kegiatan jurnalisme Pramoedya tersebut seketika berhenti sejak 13 Oktober 1965. Ia dituduh terlibat dalam kegiatan-kegiatan Lekra yang dianggap lembaga yang disusupi oleh komunisme.
Penahanan tanpa peradilan, membuat Pram sempat berpindah bui dari Rumah Tahanan Militer Tangerang, ke Nusakambangan, hingga akhirnya diberangkatkan ke Pulau Buru dan tiba di sana pada 10 September 1969.
Baca Juga: Trailer Bumi Manusia Trending di Youtube, Ada 7 Fakta Penting di Balik Novel Legendaris Ini
Selama di Pulau Buru, Pramoedya tidak diperkenankan menulis. Namun, setelah kunjungan Soemitro pada 1973, ia kembali diizinkan menulis. Dari sana lahir naskah karya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Selain itu Pramoedya juga menghasilkan Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, naskah drama Mangir, dan Nyanyian Tunggal Seorang Bisu yang diterbitkan pertama kali di Belanda dan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Selama beberapa kali, sejak tahun 1980 Pramoedya dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Sastra Nobel. Ia juga diangkat menjadi anggota kehormatan bagi beberapa organisasi sastra internasional.
Berbagai penghargaan yang diperoleh oleh Pramoedya, antara lain:
- ‘Freedom-to-Write Award’ dari P.E.N. American Centre (1988),
- The Fund for Free Expression, New York (1989),
- hadiah Ramon Magsaysay dalam bidang ‘Journalism, Literature, and Creative Arts’ dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina (1995),
- Wertheim Award dari the Wertheim Foundation, Leiden, Belanda (1995),
- UNESCO Madanjeet Singh Prize dari UNESCO, Paris, Prancis (1996),
- Doctor of Human Letters dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat (1999),
- Chanceller’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat (1999),
- Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters dari Le Ministre de la Culture et de la Communication, Paris, Prancis (1999),
- New York Foundation for the Arts Award, Amerika Serikat (2000),
- Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2004),
- The Norwegian Authors Union (2004),
- Centerario Pablo Neruda dari Republica de Chile (2004).
Pada 21 Desember 1979 ia dibebaskan dengan dikenakan wajib lapor serta tidak memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Ia dikenakan tahanan rumah dan tahanan negara sampai 1999.