
Perjalanan hidup yang luar biasa dialami Pram di Belanda. Ia melihat wawasan dunia yang baru di sana. Terutama kegelisahan jiwa karena rasa minder akibat pergaulan sosialnya dengan orang-orang Belanda.
Sampai pada permainan seks dengan noni Belanda yang telah berhasil membuat rasa percaya dirinya meningkat. Ia berhasil menaklukkan seorang wanita Belanda yang selama ini membuatnya merasa minder.
Pada tahun 1954, Pram kembali ke Indonesia dengan kondisi yang sama tak baiknya: kemelaratan ekonomi. Arfah terus mencak-mencak meski telah lama berpisah karena kondisi Pram yang masih sulit secara ekonomi.
Pram yang sempat mendirikan penerbitan sendiri bernama ‘L&F Acy Duta’, mengalami krisis. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran berdampak pada terjadinya krisis dunia penerbitan yang turut membuat keuangan Pram kacau.
Setelah berkali-kali diusir maka Pram memutuskan untuk bercerai dengan Arfah Iljas pada 1954. Ini adalah keputusan pahit yang harus diambil. Cerai dengan sang istri membuat Pram seperti orang hilang.
Setahun setelahnya, Pramoedya menambatkan hatinya pada seorang wanita yang baru dicintanya, Maimunah Thamrin. Dari sini, hidup Pram mulai menyala kembali. Ia mulai membangun ekonominya dari dunia jurnalisme yang semakin gemilang.
Pada 1957, Pramoedya menerbitkan kumpulan cerpen Tjerita dari Djakarta, Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianja dan pada 1958 terbit Sekali Peristiwa di Banten Selatan yang lebih mirip laporan perjalanan daripada karya fiksi.
Ia terus menerus aktif dalam aktivisme sebagai jurnalis. Dia bahkan sempat mendapat undangan ke Beijing pada 1956, ke Tashkent pada 1958, sampai bergabung dengan Lekra yang berpusat di Solo.
Berbagai kegiatan jurnalisme Pramoedya tersebut seketika berhenti sejak 13 Oktober 1965. Ia dituduh terlibat dalam kegiatan-kegiatan Lekra yang dianggap lembaga yang disusupi oleh komunisme.
Penahanan tanpa peradilan, membuat Pram sempat berpindah bui dari Rumah Tahanan Militer Tangerang, ke Nusakambangan, hingga akhirnya diberangkatkan ke Pulau Buru dan tiba di sana pada 10 September 1969.
Baca Juga: Trailer Bumi Manusia Trending di Youtube, Ada 7 Fakta Penting di Balik Novel Legendaris Ini
Selama di Pulau Buru, Pramoedya tidak diperkenankan menulis. Namun, setelah kunjungan Soemitro pada 1973, ia kembali diizinkan menulis. Dari sana lahir naskah karya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Selain itu Pramoedya juga menghasilkan Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, naskah drama Mangir, dan Nyanyian Tunggal Seorang Bisu yang diterbitkan pertama kali di Belanda dan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Selama beberapa kali, sejak tahun 1980 Pramoedya dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Sastra Nobel. Ia juga diangkat menjadi anggota kehormatan bagi beberapa organisasi sastra internasional.
Berbagai penghargaan yang diperoleh oleh Pramoedya, antara lain:
- ‘Freedom-to-Write Award’ dari P.E.N. American Centre (1988),
- The Fund for Free Expression, New York (1989),
- hadiah Ramon Magsaysay dalam bidang ‘Journalism, Literature, and Creative Arts’ dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina (1995),
- Wertheim Award dari the Wertheim Foundation, Leiden, Belanda (1995),
- UNESCO Madanjeet Singh Prize dari UNESCO, Paris, Prancis (1996),
- Doctor of Human Letters dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat (1999),
- Chanceller’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat (1999),
- Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters dari Le Ministre de la Culture et de la Communication, Paris, Prancis (1999),
- New York Foundation for the Arts Award, Amerika Serikat (2000),
- Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2004),
- The Norwegian Authors Union (2004),
- Centerario Pablo Neruda dari Republica de Chile (2004).
Pada 21 Desember 1979 ia dibebaskan dengan dikenakan wajib lapor serta tidak memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Ia dikenakan tahanan rumah dan tahanan negara sampai 1999.