Tak Punya Uang Sampai Dibui: Dinamika Hidup Seorang Pramoedya

By Galih Pranata, Rabu, 5 Februari 2025 | 18:00 WIB
Potret muda Pramoedya Ananta Toer pada pertengahan tahun 1950-an, di usia sekira 25 tahun.
Potret muda Pramoedya Ananta Toer pada pertengahan tahun 1950-an, di usia sekira 25 tahun. (Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI))

Setelah mendengar berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pram keluar dari persembunyiannya dan kembali ke Jakarta untuk bergabung dengan PETA. Pada Oktober, Pram diangkat menjadi Prajurit inti Divisi Siliwangi.

Ia berlanjut dalam kemiliteran sampai benar-benar berhenti pada 1 Januari 1947. "Pram tinggal di Cikampek dan menunggu gaji tujuh tempo yang belum dibayar. Gaji tersebut tidak terbayar karena dikorupsi," imbuh Angie.

Bahkan Pram pernah melalui hidup terlunta di masa sulitnya. Suatu kali ia menaik kereta api menuju Jakarta tanpa karcis, dalam kondisi tidak memiliki uang sepeser pun, dengan perut kelaparan.

Beruntungnya, pada bulan yang sama Pram diterima bekerja di The Voice of Free Indonesia sebagai redaktur bagi penerbit Indonesia. Namun, tak lama ia ditangkap oleh NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.

Baru sebentar bebas, Pram kembali ditangkap dan dipenjara di Bukit Duri tanpa proses peradilan. Dalihnya, Pram dijatuhi hukuman karena menolak melakukan kerja paksa. Dalam bui itulah, Pram menggubah Perburuan dan Keluarga Gerilya.

Selama berada dalam bui, Pram bertemu dengan seorang gadis yang acap kali menjenguknya di sel. Kepedulian itu membawa gelora merah muda membara dalam dadanya.

Setelah pemberontakan Madiun pada 3 Desember 1949, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan bersama kelompok tahanan yang lain karena buah dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menandai akhir dari penjajahan Belanda.

Pascabebas, di bulan Mei 1950, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai penyunting di bagian sastra Indonesia modern. Ia sempat juga menjadi redaktur majalah anak-anak Kunang-Kunang.

Percintaannya berlabuh pada gadis jelita yang akhirnya dipersunting Pram pada tahun 1950. Arfah Iljas namanya. Barangkali dari sinilah, dinamika hidup Pram kembali pasang surut. Arfah menjadi saksi kemelaratan Pram yang mengarungi hidup tak berduit.

Apalagi, ketika adik-adik Pram diboyong ke rumah ayah Arfah setelah ayah Pram, Mastoer meninggal. Alih-alih senang, Arfah merasa terbebani selama adik-adik Pram tinggal bersama ia dan orang tuanya.

Satu kali dalam hidup Pram, ia pernah diusir keluar dari rumah ayah mertuanya oleh Arfah akibat kemarahan yang ditanggung istrinya itu selama ini. Dalam kondisinya yang kacau, Pram mendapat kesempatan untuk pertukaran sastrawan ke Belanda pada 1953.

Baca Juga: Perpustakaan PATABA, Pengembang Literasi Lokal yang Mendunia