Nationalgeographic.co.id—Dalam kepercayaan Hindu yang kaya akan simbolisme dan makna mendalam, Dewa Siwa muncul sebagai salah satu figur yang paling sentral dan signifikan. Ia adalah bagian dari tritunggal suci Trimurti, bersama dengan Brahma sebagai pencipta dan Wisnu sebagai pemelihara.
Namun, peran Siwa jauh melampaui sekadar menjadi bagian dari tritunggal. Ia adalah representasi kekuatan yang kompleks dan beragam, mencakup aspek-aspek yang tampaknya saling bertentangan dalam satu kesatuan yang utuh.
Siwa sering dipandang sebagai personifikasi dari kebaikan dan kemurahan hati, sebuah dewa yang memberikan berkat dan perlindungan kepada para pengikutnya. Namun, di sisi lain, ia juga dikenal sebagai dewa yang terkait erat dengan konsep Waktu.
Dalam kapasitas ini, Siwa mengambil peran yang lebih menakutkan, yaitu sebagai penghancur segala sesuatu yang ada. Namun, kehancuran ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari siklus kosmik yang tak terhindarkan.
Dalam kepercayaan Hindu, alam semesta tidaklah abadi, melainkan mengalami serangkaian siklus penciptaan, pemeliharaan, dan kehancuran yang berulang. Setiap siklus ini berlangsung selama 2.160.000.000 tahun.
Pada akhir setiap siklus, Dewa Siwa-lah yang berperan sebagai kekuatan yang menghancurkan alam semesta yang telah mencapai akhir masanya. Namun, kehancuran ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan persiapan untuk penciptaan baru, sebuah awal yang baru bagi alam semesta untuk beregenerasi dan melanjutkan siklusnya.
Selain perannya sebagai penghancur, Siwa juga dikenal sebagai seorang pertapa agung. Ia menjauhi segala bentuk kesenangan duniawi dan kenikmatan materi, memilih untuk berkonsentrasi pada meditasi sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna dan abadi. Dalam keadaan meditasinya yang mendalam, Siwa mencapai tingkat kesadaran yang tinggi, melampaui batasan-batasan duniawi dan menyatu dengan kesadaran kosmik.
Namun, Siwa juga memiliki sisi gelap yang tidak dapat diabaikan. Ia adalah pemimpin dari roh-roh jahat, hantu-hantu yang berkeliaran, dan penguasa atas para pencuri, penjahat, dan pengemis. Aspek gelap ini menunjukkan bahwa Siwa tidak hanya mewakili kebaikan dan keharmonisan, tetapi juga mengakui adanya sisi negatif dan kekacauan dalam alam semesta.
"Bagi sekte Saivisme, Siwa adalah dewa Hindu yang paling penting, pelindung para Yogi dan Brahmana, dan juga pelindung Veda, kitab suci," papar Mark Cartwright di laman World History.
Dewa Siwa dengan anak dan istrinya
Istri Siwa, Parwati, sering kali menjelma dalam wujud Kali dan Durga, dua dewi yang merepresentasikan aspek kekuatan dan keadilan. Pada dasarnya, Parwati adalah reinkarnasi dari Sati, atau yang juga dikenal sebagai Dakshayani, putri dari Dewa Daksha.
Baca Juga: Siapakah Krishna dalam Agama Hindu dan Mengapa Tubuhnya Berwarna Biru?
Namun, pernikahan Sati dan Siwa tidak mendapatkan restu dari Daksha. Ia bahkan menyelenggarakan upacara pengorbanan yang megah, namun dengan sengaja tidak mengundang Siwa. Sati, yang merasa sangat terhina dengan tindakan ayahnya, akhirnya mengakhiri hidupnya dengan melemparkan diri ke dalam kobaran api pengorbanan.
Tragedi ini memicu kemarahan Siwa yang tak terhingga. Dari rambutnya, ia menciptakan dua sosok iblis yang sangat dahsyat, Virabhadra dan Rudrakali, yang kemudian mengamuk dan menghancurkan upacara pengorbanan tersebut. Bahkan, Daksha sendiri harus menerima akibatnya dengan dipenggal kepalanya oleh Siwa.
Namun, atas permohonan dari dewa-dewa lainnya, Siwa akhirnya menghentikan amarahnya dan menghidupkan kembali Daksha, meskipun dengan kepala seekor domba jantan atau kambing sebagai pengganti. Sati kemudian bereinkarnasi sebagai Parwati, dan takdir mempertemukannya kembali dengan Siwa, sehingga mereka akhirnya menikah untuk kedua kalinya.
Dari pernikahan Siwa dan Parwati, lahirlah seorang putra yang diberi nama Ganesha, dewa berkepala gajah yang sangat populer. Kisah kelahiran Ganesha pun tidak kalah menarik. Konon, ia diciptakan dari tanah liat oleh Parwati untuk menemaninya dan melindunginya saat Siwa sedang bertapa.
Suatu hari, Siwa kembali dan menemukan seorang anak laki-laki yang menjaga kamar tempat Parwati mandi. Karena tidak mengenalinya sebagai putra sendiri, Siwa mengira anak itu adalah seorang penyusup dan memerintahkan iblis Bhutagana untuk melawannya. Dalam pertarungan tersebut, kepala Ganesha akhirnya terpenggal.
Parwati yang mendengar keributan itu segera keluar dan menangis histeris mengetahui bahwa putranya telah tewas. Siwa yang menyadari kesalahannya segera memerintahkan pengikutnya untuk mencari kepala pengganti.
Mereka menemukan kepala seekor gajah yang kemudian dipasangkan pada tubuh Ganesha, sehingga ia hidup kembali dengan wujud yang unik dan menjadi salah satu dewa yang paling dihormati dalam panteon Hindu. Selain Ganesha, Siwa dan Parwati juga memiliki putra lain yang bernama Skanda atau Karttikeya, dewa perang, dan Kuvera, dewa kekayaan.
Kisah lain yang menarik adalah mengenai Ganga, dewi yang melambangkan Sungai Gangga. Ia diberikan kepada Siwa oleh Dewa Wisnu karena Wisnu sudah tidak tahan lagi dengan pertengkaran yang terus-menerus terjadi antara ketiga istrinya, yaitu Laksmi (dewi keberuntungan), Saraswati (dewi kebijaksanaan), dan Ganga.
"Untuk meredam jatuhnya Ganga ke bumi, dan mencegah sungai sebesar itu menghancurkan peradaban, Siwa menangkapnya di sanggul rambutnya; sekali lagi, ini menggambarkan kualitas pengorbanan dirinya," jelas Cartwright.
Dewa Siwa dalam teks Hindu
Salah satu episode yang paling mengesankan adalah ketika Siwa menunjukkan pengorbanan diri yang luar biasa. Saat itu, Vasuki, raja ular yang sangat kuat, mengancam akan melepaskan racun mematikan ke seluruh lautan. Bayangkan betapa dahsyatnya racun itu, yang mampu menghancurkan seluruh kehidupan di bumi.
Baca Juga: Varuna, Dewa Langit dan Lautan yang 'Ambigu' dalam Tradisi Hindu Kuno
Dalam situasi yang genting ini, Siwa mengambil tindakan yang berani. Ia menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa dan dengan cekatan mengumpulkan racun tersebut di telapak tangannya. Tanpa ragu, ia meminum racun itu, meskipun tahu bahwa hal itu akan membawa penderitaan yang luar biasa.
"Racun itu membakar tenggorokannya dan meninggalkan bekas biru permanen, oleh karena itu salah satu gelarnya menjadi Nilakantha atau Tenggorokan Biru," ungkap Cartwright.
Kisah lain yang tak kalah menarik adalah tentang hubungan erat antara Siwa dan Nandi, seekor banteng yang menjadi kendaraan dan pengikut setianya. Suatu hari, Surabhi, ibu dari semua sapi di dunia, melahirkan banyak sekali sapi putih yang sempurna. Susu dari sapi-sapi ini membanjiri kediaman Siwa, yang terletak di suatu tempat di pegunungan Himalaya yang tenang.
Siwa, yang sedang asyik bermeditasi, merasa terganggu dengan kejadian ini. Dengan marah, ia membuka mata ketiganya dan mengeluarkan api yang membakar kulit sapi-sapi tersebut, mengubah warna mereka menjadi coklat. Namun, kemarahan Siwa belum mereda.
Para dewa lainnya, yang menyaksikan kejadian itu, berusaha menenangkan Siwa dengan mempersembahkan seekor banteng yang luar biasa, yaitu Nandi, putra dari Surabhi dan Kasyapa. Siwa menerima persembahan tersebut dan menjadikan Nandi sebagai kendaraannya. Nandi tidak hanya menjadi kendaraan Siwa, tetapi juga pelindung bagi semua hewan.
Siwa juga sangat erat kaitannya dengan Lingga (atau Lingham), sebuah simbol falus yang ditemukan di kuil-kuil Siwa. Lingga melambangkan kesuburan dan energi ilahi. Kisah Lingga bermula setelah kematian Sarti, istri Siwa. Siwa, yang sangat berduka, pergi ke hutan Daru untuk tinggal bersama para rishi atau orang bijak.
Namun, kehadiran Siwa yang tampan dan berkarisma membuat istri-istri para rishi tertarik padanya. Para rishi, yang cemburu dengan hal ini, mencoba mencelakai Siwa. Mereka mengirimkan seekor antelop besar dan kemudian seekor harimau raksasa untuk menyerang Siwa, tetapi Siwa dengan mudah mengalahkan mereka.
Kemudian, para rishi mengutuk kejantanan Siwa, yang menyebabkan falusnya terlepas. Ketika falus itu menyentuh tanah, terjadilah gempa bumi yang dahsyat. Para rishi menjadi ketakutan dan memohon ampunan kepada Siwa. Siwa mengampuni mereka, tetapi ia memerintahkan mereka untuk menyembah falus tersebut sebagai Lingga, sebuah simbol yang akan mengingatkan mereka akan kekuatannya yang tak terbatas.
Bagaimana Dewa Siwa digambarkan dalam seni?
Dalam seni rupa Asia, penggambaran Siwa memiliki variasi yang menarik, mencerminkan kekayaan budaya yang berbeda-beda di seluruh benua ini, seperti di India, Kamboja, dan Jawa.
Meskipun terdapat perbedaan dalam detailnya, Siwa sering kali digambarkan dalam keadaan telanjang, dengan banyak lengan yang menunjukkan kekuatannya yang luar biasa, dan rambutnya yang diikat dengan rapi dalam sebuah sanggul yang megah. Pada dahinya, seringkali terdapat tiga garis horizontal serta mata vertikal ketiga.
Baca Juga: Kesakralan Pohon Beringin, Konservasi Warisan Leluhur Masyarakat Bali
Siwa juga sering terlihat mengenakan hiasan kepala yang indah, termasuk bulan sabit yang melambangkan hubungan eratnya dengan siklus waktu, dan tengkorak yang merupakan simbol dari kepala kelima Brahma, yang dipenggal oleh Siwa sebagai hukuman atas nafsu terlarang dewa tersebut terhadap putrinya sendiri, Sandhya.
Selain itu, ia juga mengenakan kalung kepala yang menambah kesan agungnya, serta ular sebagai gelang yang melingkar di pergelangan tangannya, melambangkan kekuasaan dan kendali atas makhluk hidup.
Dalam salah satu representasinya yang paling ikonik, Siwa menjelma sebagai Nataraja, sang Raja Tari. Dalam wujud ini, ia menari tarian kosmis Tandava di dalam lingkaran api yang tak terbatas, yang melambangkan siklus waktu yang terus berputar tanpa henti. Di tangannya, ia memegang api ilahi (agni) yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan alam semesta, serta drum (damaru) yang menghasilkan suara pertama dari penciptaan.
Salah satu tangannya menunjukkan isyarat abhayamudra yang memberikan rasa aman dan kedamaian bagi para pengikutnya, sementara tangan lainnya menunjuk ke kaki kirinya, yang merupakan simbol keselamatan dan jalan menuju pembebasan. Selain itu, Siwa juga menginjakkan satu kakinya pada sosok kurcaci Apasmara Purusha, yang melambangkan ilusi dan ketidaktahuan yang menyesatkan manusia dari kebenaran yang sejati.
"Selain itu, Siwa dapat juga digambarkan berdiri dengan satu kaki dengan kaki kanan ditekuk di depan lutut kiri dan memegang tasbih di tangan kanannya, postur khas meditasi pertapa," tutur Cartwright.
Kadang-kadang, Siwa juga terlihat menunggangi banteng putihnya yang setia, Nandi, sambil membawa busur perak (Pinaka) yang megah, memegang antelop yang lincah, dan mengenakan kulit harimau atau gajah yang melambangkan kehebatannya sebagai seorang pemburu yang ulung.