Citra Suara-Suara untuk Hari Esok Papua

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 15 Februari 2025 | 13:30 WIB
Yakob Irab, 30 tahun, duduk di pohon sagu sembari memegang alat penokok sagu di Kampung Imsar. Beberapa daerah di Papua memiliki kekhasan dalam alat penokok sagu. Sagu merupakan jati diri orang-orang Papua yang melambangkan ketahanan pangan dan keberlanjutan. Kampung ini menggelayuti punggungan bukit di Distrik Nimboran, sekitar 60 kilometer sisi barat Danau Sentani.
Yakob Irab, 30 tahun, duduk di pohon sagu sembari memegang alat penokok sagu di Kampung Imsar. Beberapa daerah di Papua memiliki kekhasan dalam alat penokok sagu. Sagu merupakan jati diri orang-orang Papua yang melambangkan ketahanan pangan dan keberlanjutan. Kampung ini menggelayuti punggungan bukit di Distrik Nimboran, sekitar 60 kilometer sisi barat Danau Sentani. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Tradisi terancam punah

Berbekal kamera prosumer, Loni mengungkap cerita dalam isu budaya, yang didasarkan pada melemahnya sistem budaya di Kampung Imsar. Dalam tema yang sama, partisipan lain mengungkap cerita foto seputar proses pembuatan sagu secara tradisional dan keresahan-keresahan ketika keterampilan membuat noken hanya berlanjut pada segelintir orang-orang tua. Atas program inilah timbul kesadaran dan gagasan mereka untuk mengupayakan pelestarian budaya warisan para pitarah kampung.

Selain kisah pisau tradisional, Loni juga mengisahkan tentang tarian-tarian di kampungnya yang kian memudar. Dalam pameran foto karyanya, tampak pula sebuah tarian yang dipentaskan oleh lelaki dan perempuan Kampung Imsar untuk menyambut Pejabat Gubernur Provinsi Papua yang akan membuka Festival Budaya Lembah Grime pada akhir tahun silam.

"Ini tari leme—dilafalkan reme—menjemput kunjungan pejabat bangsawan seperti ondoafi dari kampung sebelah," kata Loni. "Kalau sekarang [tarian ini] dipakai untuk menjemput pejabat atau bupati yang datang."

'Inovator Teh Gaharu' karya Nelson N Giay, petani berusia 29 tahun. Ia menuturkan dalam takarir fotonya: Bapak Silas Giay adalah salah seorang petani di Kampung Imsar yang membudidayakan tanaman gaharu. Menurut Bapak Silas Giay, tanaman gaharu memiliki banyak manfaat. Ia mengolah daun gaharu menjadi teh yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, di antaranya adalah gula darah, kudis, paru-paru, stroke ringan, dan untuk kesehatan lainnya seperti diet, serta untuk bahan kecantikan memperhalus wajah.
'Inovator Teh Gaharu' karya Nelson N Giay, petani berusia 29 tahun. Ia menuturkan dalam takarir fotonya: Bapak Silas Giay adalah salah seorang petani di Kampung Imsar yang membudidayakan tanaman gaharu. Menurut Bapak Silas Giay, tanaman gaharu memiliki banyak manfaat. Ia mengolah daun gaharu menjadi teh yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, di antaranya adalah gula darah, kudis, paru-paru, stroke ringan, dan untuk kesehatan lainnya seperti diet, serta untuk bahan kecantikan memperhalus wajah. (KANEL GIAY/PVI-Suara Grina Imsar/2024)

Namun demikian, Loni juga menyadari bahwa ada juga tarian di kampungnya yang mulai langka dipentaskan. Tari muleme—dilafalkan mureme—yang biasa dipentaskan saat pelantikan raja atau ondoafi. Tarian ini semakin jarang digelar karena semakin jarang pula pelantikan ondoafi, ungkapnya. "Saya gagal memotret muleme," ujar Loni, "sayang sekali karena datang terlambat saat pelantikan ondoafi." 

Selain tari muleme, ada juga tarian yang memiliki status kritis dalam pelestariannya, yakni "dansa wane" yang dipentaskan untuk merayakan seorang warga yang mencapai usia seratus tahun. "Hanya orang tua saja yang ingat gerakan tariannya, anak muda belum pernah dilatih," ungkapnya. "Dipentaskan terakhir sekitar sepuluh tahun yang lalu."

Berikutnya, tarian mam, yang berkisah tentang relasi kerja sama antara manusia dan burung kasuari. Tarian ini dipentaskan oleh 20-30 orang laki dan perempuan dengan iringan suara tifa. "Ketika sebagian pulau masih rawa, manusia mengambil tanah lalu menimbun rawa," ujarnya sembari mengenang kembali cerita rakyat di kampungnya. "Lalu kasuari menginjak-injak tanah sehingga banyak rawa menjadi padat. Kasuari membantu membentuk Papua."

'Pangan Lokal' karya Ester Penina Giay, ibu rumah tangga berusia 35 tahun. Ia berkisah: Di Kampung Imsar, masih ada anggota masyarakat yang menjadikan umbi-umbian seperti kasbi, betatas, keladi, dan naning sebagai makanan sehari-hari. Mereka membuka kebun umbi-umbian untuk ketahanan pangan lokal, kebutuhan ekonomi, dan obat-obatan. (ESTER.GIAY/PVI-Suara Grina Imsar/2024)

Tampaknya, leluhur Papua telah menorehkan pesan manis antara manusia dan burung raksasa itu untuk kita. Moral ceritanya, kedua spesies itu hendaknya hidup damai karena mereka menghuni tanah yang sama, Tanah Papua. Namun, kini burung raksasa itu terdesak dan menghuni sudut-sudut hutan, menjauh dari permukiman Kampung Imsar. Loni juga mengungkapkan bahwa sampai beberapa tahun silam, perburuan kasuari masih marak di tepian kampungnya. Biasanya orang-orang di kampungnya memanggang dan menyajikannya bersama papeda. 

"Saat ini Kampung Imsar mengalami kepunahan tari-tari tradisional," ujarnya. Ia juga menyadari bahwa masyarakat sudah tidak lagi melakukan tradisi-tradisi nenek moyang yang berkaitan dengan tarian tradisional. "Ada kekhawatiran besar pada masa depan nanti, Kampung Imsar akan mengalami kepunahan tarian kalau dari sekarang tidak dilakukan pelestarian," ujarnya. "Harapan saya, pemerintah bisa membantu untuk membangun gedung sanggar budaya di Kampung Imsar." 

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani