Citra Suara-Suara untuk Hari Esok Papua

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 15 Februari 2025 | 13:30 WIB
Yakob Irab, 30 tahun, duduk di pohon sagu sembari memegang alat penokok sagu di Kampung Imsar. Beberapa daerah di Papua memiliki kekhasan dalam alat penokok sagu. Sagu merupakan jati diri orang-orang Papua yang melambangkan ketahanan pangan dan keberlanjutan. Kampung ini menggelayuti punggungan bukit di Distrik Nimboran, sekitar 60 kilometer sisi barat Danau Sentani.
Yakob Irab, 30 tahun, duduk di pohon sagu sembari memegang alat penokok sagu di Kampung Imsar. Beberapa daerah di Papua memiliki kekhasan dalam alat penokok sagu. Sagu merupakan jati diri orang-orang Papua yang melambangkan ketahanan pangan dan keberlanjutan. Kampung ini menggelayuti punggungan bukit di Distrik Nimboran, sekitar 60 kilometer sisi barat Danau Sentani. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Petronela mengingatkan kepada para pemangku kebijakan yang hadir bahwa minimnya pengetahuan orang tua terkait pola makan dan pola asuh anak-anaknya akan menambah kasus ketimpangan gizi. Anak-anak yang mengalami gizi buruk akan mengalami pertumbuhan yang terhambat, lemah, lesu, kulit kering, sampai tingkat penyembuhan luka yang lambat. Bahkan, mereka bisa mengalami pose tubuh yang tidak optimal kala dewasa, lebih pendek daripada orang seusianya, sampai mengalami gangguan pengelihatan.

"Di sini stunting mengancam masa depan anak-anak Imsar," tegasnya. Ia berharap anak-anak yang mengalami ketimpangan gizi mendapat perhatian Dinas Kesehatan. "Sehingga kedepannya kasus-kasus tersebut tidak datang lagi di Kampung Imsar," ungkapnya, "dan kampung kami dijuluki sebagai kampung sehat di Kabupaten Jayapura."

Khairul Lie, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, menanggapi permasalahan yang tampaknya luput dari jangkauannya. Meski demikian, menurutnya, permasalahan sepuluh anak yang menderita stunting dan gizi buruk sejatinya memiliki kaitan dengan berbagai aspek seperti sanitasi, nutrisi pangan, dan pendapatan keluarga. Atas dasar itulah ia melihat bahwa persoalan kesehatan merupakan tanggung jawab kita bersama dan perlunya saling mendukung.

'Anak-Anak Sekolah Kampung Imsar' karya Oskar Giay, petugas keamanan SMKN 2 Nimboran berusia 30 tahun.   Di Kampung Imsar terdapat 40 orang anak yang berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang berbeda-beda, ungkapnya. Jarak Kampung Imsar dengan SD dan SMP YPK Genyem sekitar 4 km, dengan SMA 1 Nimboran 7 km, sedangkan menuju SMK 2 Nimboran sejauh sembilan kilometer. Mereka tetap semangat dan tabah untuk pergi sekolah demi mengejar cita-cita mereka.
'Anak-Anak Sekolah Kampung Imsar' karya Oskar Giay, petugas keamanan SMKN 2 Nimboran berusia 30 tahun. Di Kampung Imsar terdapat 40 orang anak yang berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang berbeda-beda, ungkapnya. Jarak Kampung Imsar dengan SD dan SMP YPK Genyem sekitar 4 km, dengan SMA 1 Nimboran 7 km, sedangkan menuju SMK 2 Nimboran sejauh sembilan kilometer. Mereka tetap semangat dan tabah untuk pergi sekolah demi mengejar cita-cita mereka. (OSKAR GIAY/PVI-Suara Grina Imsar/2024)

"Saya tidak bisa membayangkan. Air mata saya hampir menetes membayangkannya," ungkapnya tentang kasus satu keluarga yang diceritakan Petronela. "Ada program-program kita yang mungkin tidak menyentuh mereka." Khairul berkomitmen untuk menuntaskan permasalahan ketimpangan gizi seraya berkata, "Tahun 2025, Kampung Imsar akan kami bangun layanan dan fasilitas kesehatan." 

Sementara itu Parson Horota sebagai Kepala Bapada Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura, turut menanggapi, "Untuk soal stunting dan gizi buruk kita sudah memiliki program yang kita maksimalkan, yaitu program Makan Bergizi Gratis dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis." Ia menambahkan, "Semuanya sudah berjalan, pada prinsipnya pemerintah sudah siap mendukung setiap pelaksanaan pembangunan kita." 

'Kreativitas' karya Fadillah Aksamina Hamong, PPS Kampung Imsar berusia 34 tahun. Gitar buatan sekelompok anak muda di Kampung Imsar. Mereka membuatnya dari kayu Ibong (kayu putih) dan triplek. Dengan gitar inilah mereka menyalurkan bakat dan hobi bernyanyi dan bermain gitar. Mereka tak kehilangan kreativitas di tengah-tengah keterbatasan, ungkapnya dalam takarir foto. (F.AKSAMINA HAMONG/PVI-Suara Grina Imsar/2024)

Singkap cerita lain dari Imsar

Kegiatan pameran dan diskusi foto ini menjadi rangkaian akhir dari program sekaligus menjadi medium untuk memberi anjuran kepada para pembuat kebijakan, organisasi, dan mitra-mitra lainnya. Cerita foto yang dipaparkan oleh Loni dan Petronela merupakan dua tema permasalahan kampung. Teman-teman mereka turut mencoba merumuskan permasalahan-permasalah lain yang selama ini seolah tak selesai. 

Tema kepemudaan mengungkap peranan kaum muda yang kreatif dan bisa diberdayakan, namun sebagian terjebak pada penyalahgunaan obat terlarang dan minuman keras. Tema pendidikan mengungkap terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan. Di sisi lain para siswanya semangat bersekolah meski harus berjalan kaki hingga sejauh sembilan kilometer.

Berikutnya, tema pertanian-perkebunan mengungkap tanaman-tanaman yang mampu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga—seperti vanili, umbi-umbian, peluang kembalinya kejayaan kakao, dan pengembangan teh gaharu sebagai hasil hutan bukan kayu. Dan, tema kepariwisataan mengungkap potensi bentang alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki warga kampung untuk wisata berkelanjutan.

Yulianus Giay, Kepala Kampung Imsar yang akan dilantik pada akhir Februari, berujar bahwa setelah program ini ia semakin memahami pemuda-pemudi di kampungnya yang memiliki kemauan namun selama ini tidak didukung dan tidak didorong. "Sebagai awal saya sebagai kepala kampung untuk mendorong kemauan dan keinginan pemuda kampung [dan] mewujudkannya," ungkapnya. "Harapan saya ke depan, dari pihak manapun untuk berkegiatan di Kampung Imsar untuk membuka lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran."

Foto tema kepariwisataan berjudul 'Menantikan Mentari Pagi' karya Yohanis Irab, petani yang berusia 42 tahun. Ia memberikan takarir untuk fotonya: Duduk di atas batu Dumuo Yambe Kampung Imsar sambil melihat mentari pagi hari yang muncul dari sela-sela Gunung Uyobu dan Gunung Fuay membuat hati menjadi bahagia. Perasaan seperti ini hanya dapat ditemukan dilokasi perkebunan Mlab. (JOHN IRAB/PVI-Suara Grina Imsar/2024)

Menyuarakan yang tak bersuara

Ada upaya untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa atau tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan diri mereka sendiri. Suara-suara masyarakat adat memiliki kemampuan mendorong perubahan melalui kebijakan dan tindakan yang lebih adil dan inklusif. Upaya ini juga membantu memastikan bahwa pemerintah tetap akuntabel dan bertindak sesuai dengan kepentingan semua warga negara, bukan hanya kelompok tertentu.

Lucia Erni Indahwati, seorang aktivis perempuan di Papua, mengungkapkan bahwa acara pameran foto dan diskusi ini bersifat strategis karena Kampung Imsar merupakan representasi dari kampung-kampung lain di Papua.

Menurut Erni, program ini ibarat proyek percontohan sehingga harus berkelanjutan. Apabila para pengambil kebijakan menanggapi permasalahan yang dipaparkan, kita pun harus menindaklanjuti komitmen mereka. Ia juga menekankan bahwa program ini telah membingkai kolaborasi antara komunitas di masyarakat, pemerintah kampung, dengan pengambil kebijakan.

"Kegiatan ini luar biasa, ya," ujarnya. "Ada satu tim atau lembaga yang berani turun ke anak-anak muda dan men-set up mereka sehingga berani bersuara. Menyuarakan yang tak bersuara."