Nationalgeographic.co.id—Ketika masyarakat adat mengungkap dan meracik cerita kampung mereka melalui kekuatan foto demi tatanan dan kehidupan yang lebih baik.
"Ini peninggalan tete," kata Laurens Hembring di depan pameran foto karyanya. Foto itu berjudul Pisau Tradisional yang menampilkan dua bilah pisau dari tulang kaki kasuari warisan dari kakeknya. "Hampir separuh orang tua masih menyimpan ini. Sebagian lagi sudah tidak menyimpan."
Sebelum peradaban besi mencapai pedalaman Papua, nenek moyangnya menggunakan pisau semacam ini untuk bertahan hidup. Selain sebagai perkakas perang, pisau ini digunakan juga sebagai hukum adat di kampung-kampung lembah Grime Nawa.
"Ada aturan atau sanksi yang dibuat untuk hukuman mati," ujar Loni, sapaan akrabnya. "Nah, pisau ini digunakan untuk menikam dalam hukuman mati."

Jelang menjalani eksekusi hukuman mati, Loni berkisah, si pelaku kejahatan harus bersumpah kepada tanah dan langit bahwa semua dosanya akan ditanggungnya sendiri. Lalu, eksekusi digelar di depan warga yang datang berkumpul untuk menyaksikannya. "Mungkin terakhir [hukuman tikam] dilakukan tahun 1960-an," ungkapnya. "Hari ini sudah tidak ada lagi."
Loni adalah seorang pemuda lajang yang tampaknya tidak kesepian, meski kini berusia 35 tahun. Sehari-hari lulusan SMA ini bekerja sebagai petani di Kampung Imsar, sebuah permukiman di punggungan bukit yang dikelilingi denyut nadi Sungai Grime dan Sungai Nawa. Kendati berada di pedalaman, seruas jalanan beraspal mulus menautkan sepinya kampung dan hiruk pikuk Danau Sentani.
"Alu mam, cara membacanya aru mam, adalah tulang kasuari," ujarnya merujuk kata dalam bahasa Namblong atau Nambrong. Bahasa ini memiliki fonologi yang unik dan berbeda dari bahasa-bahasa lain di Indonesia. Sayangnya, jumlah penutur bahasa ini terus menurun, kebanyakan adalah orang tua. Anak-anak muda lebih akrab menggunakan bahasa Papua Melayu.
Biasanya tradisi melibatkan pengetahuan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk pengetahuan tentang lingkungan, kesehatan, dan pertanian. Hilangnya tradisi berarti hilangnya warisan pengetahuan penting ini. Namun, belakangan tampak ada upaya untuk melestarikan bahasa ini melalui pendidikan dan kegiatan budaya dalam komunitas masyarakat setempat.
Sejak delapan bulan silam, ia menjadi partisipan peramu cerita visual bertema kehidupan di sekitar tempat tinggalnya. Program partisipatif ini digulirkan oleh Photovoices International yang berkolaborasi bersama Suara Grina dan Organisasi Perempuan Adat (ORPA). Program ini menerapkan pendekatan-pendekatan partisipatif warga. Mereka dibekali kamera dan pelatihan fotografi yang bertujuan untuk mendokumentasikan dan mendiskusikan permasalahan penting dalam hidup mereka.
Baca Juga: Menyimak Cerita Budaya Papua dari Benda Sejarah yang Tersisa
Kekuatan foto cerita
"Sebuah foto melukiskan seribu kata-kata," kata Direktur Eksekutif Photovoices International Tri Soekirman saat membuka Pameran dan Diskusi Foto Program Photovoices 'Suara Kampung Imsar' yang digelar di sebuah hotel tepian Danau Sentani pada 13 Februari silam. "Sebetulnya foto merupakan sebuah jendela ke dalam suatu waktu, tempat, keadaan. Dengan melihat sebuah foto, kita bisa ikut merasakannya."
Menurutnya, media foto menjadi sesuatu yang sangat penting bagi partisipan program ini karena mereka bisa menyampaikan aspirasinya, harapannya, kekhawatirannya, bahkan pengalaman-pengalaman pribadinya. Kekuatan foto pun mampu menciptakan panggilan atas kondisi sesungguhnya yang ingin diubah menjadi lebih baik.
"Kami berkomitmen untuk membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan mereka," ujar Tri. "Berlandaskan pada kekuatan perspektif tersebut masyarakat menyuarakannya melalui foto dan cerita."
Tri menambahkan bahwa enam belas partisipan—laki-laki, perempuan, termasuk anak muda—telah menetapkan enam tema, yakni kepemudaan, kesehatan, pendidikan, pertanian-perkebunan, budaya, dan kepariwisataan.
Program ini memiliki tiga tujuan utama, demikian paparnya. Pertama, terjadinya dialog kritis antara peserta atau pihak lain mengenai isu-isu yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka. Kedua, menghasilkan foto-foto atau cerita-cerita yang kuat, yang benar-benar merefleksikan perspektif mereka mengenai isu-isu penting dalam komunitas. Ketiga, perlunya suatu forum yang bisa disampaikan kepada pembuat kebijakan dengan harapan bahwa suara-suara ini bagian dari proses pembuatan kebijakan.
Acara pameran foto dan diskusi ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan di Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura: Kepala Dinas Kesehatan, Sekretaris Dinas Pendidikan, Kepala Bidang Dinas Perkebunan dan Peternakan, Kepala Bidang Pemuda Dinas Pemuda dan Olahraga, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Pelaksana Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional. Mereka menanggapi dan berkomitmen dalam mencarikan solusi atas permasalahan-permasalahan di Kampung Imsar.
Elphyna Situmorang, Asisten I Bidang Pemerintahan Umum di kantor Sekretaris Daerah Kabupaten Jayapura, mengatakan dalam sambutannya bahwa metode Photovoices dan kegiatan foto yang bersuara seperti ini masih terbilang jarang. Ia mengharapkan bahwa program semacam ini seharusnya dikembangkan juga untuk distrik-distrik lainnya. "Kita menganggap tahu kebutuhan mesyarakat," imbuhnya, "padahal yang tahu tentang kebutuhan masyarakat adalah masyarakat sendiri."
"Lewat foto dan cerita, masyarakat menyuarakan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya sehingga mampu melihat kondisi sekitarnya dengan lebih peka, mendengarkan dan menggali cerita untuk menajamkan isu, dan mencari solusi terbaik untuk membuat perubahan," ujar Elphyna. "Tidak sedikit di antaranya, cerita-cerita yang selama ini belum terungkap."
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani
Tradisi terancam punah
Berbekal kamera prosumer, Loni mengungkap cerita dalam isu budaya, yang didasarkan pada melemahnya sistem budaya di Kampung Imsar. Dalam tema yang sama, partisipan lain mengungkap cerita foto seputar proses pembuatan sagu secara tradisional dan keresahan-keresahan ketika keterampilan membuat noken hanya berlanjut pada segelintir orang-orang tua. Atas program inilah timbul kesadaran dan gagasan mereka untuk mengupayakan pelestarian budaya warisan para pitarah kampung.
Selain kisah pisau tradisional, Loni juga mengisahkan tentang tarian-tarian di kampungnya yang kian memudar. Dalam pameran foto karyanya, tampak pula sebuah tarian yang dipentaskan oleh lelaki dan perempuan Kampung Imsar untuk menyambut Pejabat Gubernur Provinsi Papua yang akan membuka Festival Budaya Lembah Grime pada akhir tahun silam.
"Ini tari leme—dilafalkan reme—menjemput kunjungan pejabat bangsawan seperti ondoafi dari kampung sebelah," kata Loni. "Kalau sekarang [tarian ini] dipakai untuk menjemput pejabat atau bupati yang datang."
Namun demikian, Loni juga menyadari bahwa ada juga tarian di kampungnya yang mulai langka dipentaskan. Tari muleme—dilafalkan mureme—yang biasa dipentaskan saat pelantikan raja atau ondoafi. Tarian ini semakin jarang digelar karena semakin jarang pula pelantikan ondoafi, ungkapnya. "Saya gagal memotret muleme," ujar Loni, "sayang sekali karena datang terlambat saat pelantikan ondoafi."
Selain tari muleme, ada juga tarian yang memiliki status kritis dalam pelestariannya, yakni "dansa wane" yang dipentaskan untuk merayakan seorang warga yang mencapai usia seratus tahun. "Hanya orang tua saja yang ingat gerakan tariannya, anak muda belum pernah dilatih," ungkapnya. "Dipentaskan terakhir sekitar sepuluh tahun yang lalu."
Berikutnya, tarian mam, yang berkisah tentang relasi kerja sama antara manusia dan burung kasuari. Tarian ini dipentaskan oleh 20-30 orang laki dan perempuan dengan iringan suara tifa. "Ketika sebagian pulau masih rawa, manusia mengambil tanah lalu menimbun rawa," ujarnya sembari mengenang kembali cerita rakyat di kampungnya. "Lalu kasuari menginjak-injak tanah sehingga banyak rawa menjadi padat. Kasuari membantu membentuk Papua."
Tampaknya, leluhur Papua telah menorehkan pesan manis antara manusia dan burung raksasa itu untuk kita. Moral ceritanya, kedua spesies itu hendaknya hidup damai karena mereka menghuni tanah yang sama, Tanah Papua. Namun, kini burung raksasa itu terdesak dan menghuni sudut-sudut hutan, menjauh dari permukiman Kampung Imsar. Loni juga mengungkapkan bahwa sampai beberapa tahun silam, perburuan kasuari masih marak di tepian kampungnya. Biasanya orang-orang di kampungnya memanggang dan menyajikannya bersama papeda.
"Saat ini Kampung Imsar mengalami kepunahan tari-tari tradisional," ujarnya. Ia juga menyadari bahwa masyarakat sudah tidak lagi melakukan tradisi-tradisi nenek moyang yang berkaitan dengan tarian tradisional. "Ada kekhawatiran besar pada masa depan nanti, Kampung Imsar akan mengalami kepunahan tarian kalau dari sekarang tidak dilakukan pelestarian," ujarnya. "Harapan saya, pemerintah bisa membantu untuk membangun gedung sanggar budaya di Kampung Imsar."
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani
Elisa Yarusabra selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung menanggapi pemaparan Loni. Menurut Elisa, kampung wajib mengalokasikan dana kampung untuk kegiatan yang menyangkut pesta budaya. Ia juga mengingatkan bahwa aturan terkait kegiatan ini sudah ditetapkan. Perihal penganggaran kebudayaan, ia meminta kepala kampung untuk menelaah kembali pedoman teknisnya.
Bagai anak di ujung tanduk
Ketika saya berkesempatan singgah dan menjelajahi tepian hutan di perbukitannya, kampung ini memiliki potensi yang baik untuk mendukung kegiatan pertanian sebagai ketahanan pangan masyarakat setempat. Air melimpah, dan ragam tanaman ibarat anugerah.
Kasbi, betatas, keladi, naning atau gembili tumbuh berjebah di dalam tanah. Tajuk-tajuk pohon kelapa dan sagu tumbuh menjulang di kebun-kebun warga. Pun, papeda yang saya santap merupakan hasil dari kebun sagu milik keluarga Loni. Ia pernah berkata kepada saya saat kami menengok aktivitas menokok di kebun sagu milik keluarganya, "Satu batang pohon sagu bisa mencukupi kebutuhan keluarga dalam dua tahun."
Kendati pangan tampak melimpah, Petronela Hembring memaparkan sebuah ironi dalam cerita fotonya yang bertema kesehatan Kampung Imsar. Perempuan berusia 29 tahun itu sehari-hari bekerja sebagai pedagang sayuran di pasar.
Petronela mengisahkan bahwa sumber pendapatan warganya tergolong rendah karena hanya mengandalkan hasil bertani dan berkebun. Ia mengisahkan seorang petani yang hanya memiliki pendapatan sebesar 200 ribu per bulan untuk menghidupi tujuh anggota keluarganya—yakni satu istri dan enam orang anak—salah satunya balita.
"Keadaan ini menyebabkan salah seorang anaknya yang bayi mengalami ketimpangan gizi karena pola makan keluarga itu dua kali makan dalam sehari," kisah Petronela. "Itu pun untuk sekali makan anak-anaknya hanya dua sendok nasi." Sehari-hari keluarga itu hanya menyantap umbi dan pisang bakar, tanpa asupan protein yang mencukupi dari sumber hewani.
Selain bayi mereka, ia mengungkapkan bahwa masih terdapat sembilan bayi lain yang menderita ketimpangan gizi, baik yang mengalami kasus stunting atau tengkes maupun gizi buruk. "Menurut petugas kesehatan," ujarnya, "anak-anak yang mengalami ketimpangan gizi tersebut hanya mendapat perbaikan gizi pada saat ke posyandu sebulan sekali oleh petugas kesehatan dan puskesmas."
Anak-anak di kampung ini pernah mendapat bagian dalam program Baku Sehat yang diinisiasi oleh pemerintah Kabupaten Jayapura. Program ini bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui berbagai program pelayanan kesehatan dasar seperti menurunkan angka stunting melalui peningkatan gizi masyarakat. Ia menyesalkan bahwa program ini "hanya berlaku tiga bulan saja pada 2024."
Baca Juga: Pusparagam Wasur: Kisah Pelestarian yang Mengakar pada Budaya
Petronela mengingatkan kepada para pemangku kebijakan yang hadir bahwa minimnya pengetahuan orang tua terkait pola makan dan pola asuh anak-anaknya akan menambah kasus ketimpangan gizi. Anak-anak yang mengalami gizi buruk akan mengalami pertumbuhan yang terhambat, lemah, lesu, kulit kering, sampai tingkat penyembuhan luka yang lambat. Bahkan, mereka bisa mengalami pose tubuh yang tidak optimal kala dewasa, lebih pendek daripada orang seusianya, sampai mengalami gangguan pengelihatan.
"Di sini stunting mengancam masa depan anak-anak Imsar," tegasnya. Ia berharap anak-anak yang mengalami ketimpangan gizi mendapat perhatian Dinas Kesehatan. "Sehingga kedepannya kasus-kasus tersebut tidak datang lagi di Kampung Imsar," ungkapnya, "dan kampung kami dijuluki sebagai kampung sehat di Kabupaten Jayapura."
Khairul Lie, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, menanggapi permasalahan yang tampaknya luput dari jangkauannya. Meski demikian, menurutnya, permasalahan sepuluh anak yang menderita stunting dan gizi buruk sejatinya memiliki kaitan dengan berbagai aspek seperti sanitasi, nutrisi pangan, dan pendapatan keluarga. Atas dasar itulah ia melihat bahwa persoalan kesehatan merupakan tanggung jawab kita bersama dan perlunya saling mendukung.
"Saya tidak bisa membayangkan. Air mata saya hampir menetes membayangkannya," ungkapnya tentang kasus satu keluarga yang diceritakan Petronela. "Ada program-program kita yang mungkin tidak menyentuh mereka." Khairul berkomitmen untuk menuntaskan permasalahan ketimpangan gizi seraya berkata, "Tahun 2025, Kampung Imsar akan kami bangun layanan dan fasilitas kesehatan."
Sementara itu Parson Horota sebagai Kepala Bapada Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura, turut menanggapi, "Untuk soal stunting dan gizi buruk kita sudah memiliki program yang kita maksimalkan, yaitu program Makan Bergizi Gratis dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis." Ia menambahkan, "Semuanya sudah berjalan, pada prinsipnya pemerintah sudah siap mendukung setiap pelaksanaan pembangunan kita."
Singkap cerita lain dari Imsar
Kegiatan pameran dan diskusi foto ini menjadi rangkaian akhir dari program sekaligus menjadi medium untuk memberi anjuran kepada para pembuat kebijakan, organisasi, dan mitra-mitra lainnya. Cerita foto yang dipaparkan oleh Loni dan Petronela merupakan dua tema permasalahan kampung. Teman-teman mereka turut mencoba merumuskan permasalahan-permasalah lain yang selama ini seolah tak selesai.
Tema kepemudaan mengungkap peranan kaum muda yang kreatif dan bisa diberdayakan, namun sebagian terjebak pada penyalahgunaan obat terlarang dan minuman keras. Tema pendidikan mengungkap terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan. Di sisi lain para siswanya semangat bersekolah meski harus berjalan kaki hingga sejauh sembilan kilometer.
Berikutnya, tema pertanian-perkebunan mengungkap tanaman-tanaman yang mampu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga—seperti vanili, umbi-umbian, peluang kembalinya kejayaan kakao, dan pengembangan teh gaharu sebagai hasil hutan bukan kayu. Dan, tema kepariwisataan mengungkap potensi bentang alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki warga kampung untuk wisata berkelanjutan.
Yulianus Giay, Kepala Kampung Imsar yang akan dilantik pada akhir Februari, berujar bahwa setelah program ini ia semakin memahami pemuda-pemudi di kampungnya yang memiliki kemauan namun selama ini tidak didukung dan tidak didorong. "Sebagai awal saya sebagai kepala kampung untuk mendorong kemauan dan keinginan pemuda kampung [dan] mewujudkannya," ungkapnya. "Harapan saya ke depan, dari pihak manapun untuk berkegiatan di Kampung Imsar untuk membuka lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran."
Menyuarakan yang tak bersuara
Ada upaya untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa atau tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan diri mereka sendiri. Suara-suara masyarakat adat memiliki kemampuan mendorong perubahan melalui kebijakan dan tindakan yang lebih adil dan inklusif. Upaya ini juga membantu memastikan bahwa pemerintah tetap akuntabel dan bertindak sesuai dengan kepentingan semua warga negara, bukan hanya kelompok tertentu.
Lucia Erni Indahwati, seorang aktivis perempuan di Papua, mengungkapkan bahwa acara pameran foto dan diskusi ini bersifat strategis karena Kampung Imsar merupakan representasi dari kampung-kampung lain di Papua.
Menurut Erni, program ini ibarat proyek percontohan sehingga harus berkelanjutan. Apabila para pengambil kebijakan menanggapi permasalahan yang dipaparkan, kita pun harus menindaklanjuti komitmen mereka. Ia juga menekankan bahwa program ini telah membingkai kolaborasi antara komunitas di masyarakat, pemerintah kampung, dengan pengambil kebijakan.
"Kegiatan ini luar biasa, ya," ujarnya. "Ada satu tim atau lembaga yang berani turun ke anak-anak muda dan men-set up mereka sehingga berani bersuara. Menyuarakan yang tak bersuara."