Nationalgeographic.co.id—Tiongkok berhasil merampungkan pembangunan kapal produksi, penyimpanan, dan bongkar muat terapung (FPSO/Floating Production, Storage, and Offloading) yang diklaim sebagai yang pertama di dunia dengan integrasi sistem penangkapan karbon.
Langkah inovatif ini menandai kemajuan signifikan dalam upaya mengurangi emisi karbon dioksida dalam sektor produksi minyak lepas pantai.
Menurut laporan dari Science and Technology Daily, kapal FPSO dengan panjang mencapai 330 meter ini telah selesai dibangun di Shanghai dan dijadwalkan akan diserahkan pada akhir bulan ini.
Kapal berteknologi tinggi ini, seperti dilansir laman Interesting Engineering, dikembangkan oleh perusahaan milik negara, Cosco Ocean Shipping Heavy Industry Company.
Dengan kapasitas produksi minyak harian mencapai 120.000 barel, FPSO ini tidak hanya berfungsi sebagai fasilitas produksi minyak, tetapi juga dilengkapi dengan kemampuan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida yang dihasilkan selama proses pelayaran dan ekstraksi minyak.
Kapal minyak penangkap karbon pertama di dunia
Kapal inovatif ini menandai pendekatan baru yang revolusioner untuk mengurangi dampak lingkungan dari pengeboran lepas pantai, sebuah langkah penting mengingat turbin berbahan bakar gas yang umum digunakan pada FPSO merupakan sumber utama emisi karbon dioksida.
Kapal buatan Tiongkok ini tidak hanya melakukan ekstraksi minyak, tetapi juga secara aktif menangkap emisi karbon yang dihasilkan. Lebih lanjut, kapal ini memanfaatkan listrik dari panas gas buang, menciptakan sistem yang tidak hanya mengurangi emisi tetapi juga meningkatkan efisiensi energi.
Langkah berani ini menunjukkan komitmen Tiongkok untuk menyelaraskan produksi minyak berkapasitas tinggi dengan pengendalian emisi yang inovatif, sejalan dengan target karbon negara tersebut untuk mencapai puncak emisi karbon pada tahun 2030 dan emisi nol bersih pada tahun 2060.
Inisiatif Tiongkok ini bukan merupakan kejadian terisolasi. Perusahaan minyak dan gas global besar lainnya juga sedang menjajaki desain serupa. Pada bulan Januari, Biro Klasifikasi Amerika memberikan persetujuan untuk unit produksi amonia dengan teknologi penangkapan karbon di atas kapal.
Selain itu, perusahaan multinasional Belanda, SBM Offshore, sedang bersiap untuk meluncurkan FPSO dengan sistem penangkapan karbon. Perkembangan-perkembangan ini mencerminkan momentum yang berkembang dalam industri untuk merangkul teknologi yang lebih bersih, didorong oleh urgensi untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
Baca Juga: Sustainability: Bukan Anggaran, Singapura Lebih Pilih Pangkas Emisi Karbonnya
Langkah Tiongkok untuk melengkapi fasilitas minyak terapung dengan teknologi penangkapan karbon merupakan bagian dari dorongan yang lebih luas untuk mengurangi emisi besar yang terkait dengan ekstraksi minyak dan gas.
Menurut Badan Energi Internasional, ekstraksi, transportasi, dan pengolahan minyak dan gas menghasilkan sekitar 5,1 miliar ton gas rumah kaca pada tahun 2022. Jumlah ini menyumbang sekitar 15 persen dari total emisi terkait energi di seluruh dunia.
Di luar pengeboran lepas pantai
Sebagai negara penghasil karbon terbesar di dunia, Tiongkok terus menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).
Pada tahun 2023, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) berhasil meluncurkan fasilitas demonstrasi penangkapan karbon lepas pantai pertama di negara itu, yang berlokasi di ladang minyak Enping 15-1 di Guangdong.
Fasilitas inovatif ini memiliki kapasitas penyimpanan karbon dioksida hingga 300.000 ton setiap tahunnya, menandai langkah maju yang signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Selain CCS, Tiongkok juga mengembangkan energi terbarukan dalam skala besar. Perusahaan-perusahaan terkemuka di Tiongkok telah berhasil menciptakan turbin angin dengan kapasitas yang semakin besar, menghasilkan lebih banyak energi listrik untuk setiap putarannya.
Namun, tantangan baru muncul terkait daur ulang komponen turbin raksasa ini setelah masa pakainya berakhir, yaitu sekitar 20 hingga 25 tahun. Para peneliti di Tiongkok telah menemukan solusi kreatif dengan memanfaatkan kembali bilah-bilah turbin menjadi bahan konstruksi yang berguna, melalui proses perawatan fisik dan kimia yang inovatif, dan mencampurkannya dengan semen dan aspal.
Tenaga air juga tetap menjadi bagian integral dari strategi energi Tiongkok. Pemerintah Tiongkok baru-baru ini menyetujui proyek pembangkit listrik tenaga air raksasa di Sungai Yarlung Tsangpo di Tibet. Proyek ambisius ini diperkirakan akan melampaui kapasitas Bendungan Tiga Ngarai yang pernah ada.
Setelah selesai dibangun, fasilitas baru ini diharapkan dapat menghasilkan sekitar 300 miliar kilowatt-jam listrik setiap tahunnya. Proyek ini menegaskan komitmen Tiongkok untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, sambil tetap berupaya menekan emisi karbon.