Kisah asal usul Ne Zha yang kita kenal sekarang disempurnakan pada abad ke-17 melalui novel Feng-shen yan-yi (Investiture of the Gods), yang menjadi dasar adaptasi film Ne Zha 2.
Novel ini, yang kepenulisannya masih diperdebatkan, menceritakan pendirian Dinasti Zhou (1046 – 256 SM) dengan melibatkan dewa-dewa, termasuk menempatkan Ne Zha sebagai jenderal pelopor yang pemarah dan bersenjatakan tombak untuk raja Zhou.
Penggambaran Ne Zha dalam novel tersebut menunjukkan integrasinya yang lengkap ke dalam mitologi Taois, di mana ayahnya bukan lagi Raja Surgawi, melainkan seorang ahli sihir Taois, dan gurunya juga merupakan dewa Taois. Transisi ini menjadikan Ne Zha sebagai representasi sastra dari ekologi religius dan filosofis pada masa Dinasti Ming Tiongkok (1368-1644).
Sejak abad ke-11, agama Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme telah terjalin erat dalam budaya, sosial, dan politik Tiongkok. Bahkan, Kaisar Xiaozong dari Song (memerintah 1162-1189) pernah membandingkan ketiga sistem ini dengan kaki-kaki ding perunggu, sebuah wadah seremonial yang melambangkan otoritas politik dan budaya.
Saat ini, interpretasi baru dari tokoh-tokoh tradisional seperti Ne Zha kembali populer, terbukti dari kesuksesan komersial film Ne Zha 2 dan video game pemenang penghargaan Black Myth: Wukong, yang diadaptasi dari kisah Raja Kera.
Sama seperti Investiture of the Gods yang memberikan gambaran tentang Tiongkok abad ke-17, kreasi abad ke-21 ini juga menawarkan cara unik untuk memahami nilai-nilai sosial kontemporer.
Contohnya berupa penekanan pada kekerabatan dan cinta yang menjadi pendorong utama dalam plot film dan video game, yang mungkin menandakan kembalinya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat Tiongkok.
Kesuksesan box office yang luar biasa dari Ne Zha 2 adalah hasil dari ribuan tahun integrasi budaya, menjadikannya bukti kemenangan akulturasi.