90% Sampah Plastik Dunia Berasal dari Sungai-sungai di Asia dan Afrika

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 5 Juli 2018 | 16:46 WIB
Peralatan makan dan minum sekali pakai turut menyumbang jumlah sampah dunia. (curtoicurto/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Sebuah studi mengungkapkan bahwa 90% sampah plastik dunia berasal dari sepuluh sungai di Asia dan Afrika.

Delapan di antaranya berada di Asia: Yangtze, Indus, Kuning, Hai He, Gangga, Mutiara, Amur, Mekong, dan dua sungai dari Afrika: Nil dan Niger.

Saat pemerintah sedang bergegas mengatasi masalah polusi plastik, hasil penelitian ini menegaskan bahwa sistem sungai yang buruk merupakan penyebab sampah-sampah itu berakhir di lautan.

“Kami mampu menunjukkan bahwa ada korelasi antara keduanya. Semakin banyak sampah di area tangkapan air yang tidak dibuang dengan benar, membuat plastik berakhir di sungai, kemudian mengambil rute menuju laut,” papar dr. Christian Schmidt, ahli hidrogeologi di Helmholtz Centre for Enviromental Research.

Baca juga: Kehidupan Masyarakat Tepi Pantai yang Terancam Tertelan Air Laut

Tim Schmidt menganalisis data puing-puing sampah dari 79 lokasi pengambilan sampel di 57 sungai. Termasuk partikel mikroplastik berukuran kurang dari 5 milimeter dan makroplastik yang lebih besar.

Sungai Yangtze di Tiongkok adalah yang paling tercemar. Hasil studi menunjukkan, sungai ini menyumbang 1,5 juta ton plastik ke Laut Kuning setiap tahunnya.

Sungai Indus dan Gangga yang mengalir sepanjang India, menempati posisi kedua dan keenam sebagai penyumbang limbah plastik terbesar di laut.

Sungai-sungai Indonesia pun turut berkontribusi pada pencemaran plastik dunia: Brantas menyumbang 85 juta lbs sampah setiap tahun, Solo 71 juta pounds, Serayu 37 juta lbs, dan Progo 28 juta lbs.

“Sungai dengan beban plastik tinggi ditandai oleh populasi yang padat. Contohnya Yangtze yang memiliki ratusan juta penduduk.

Sungai-sungai ini juga berada di negara-negara yang tingkat produksi sampah per kapitanya sangat tinggi. Pengelolaan di pemukiman – seperti pengumpulan sampah untuk daur ulang -- tidak dilaksanakan dengan baik,” papar Schmidt.

Baca juga: Diduga, Pantai Terpencil Australia Dipenuhi Sampah dari Indonesia

Para peneliti mengatakan, mikroplastik dapat membahayakan kehidupan laut, namun membersihkannya sekaligus adalah hal mustahil. Membendung arus sampah plastik mungkin dapat mengurangi potensi bahaya.

“Satu hal yang pasti: situasi pencemaran seperti ini tidak bisa dibiarkan. Namun, tidak mungkin untuk membersihkan plastik yang sudah terlanjur berada di laut. Kita harus mengambil tindakan pencegahan dan mengurangi konsumsi plastik dengan cepat dan efisien,” kata Schmidt.

Memotong jumlah sampah sebanyak 50% akan memberikan efek dramatis di wilayah tersebut.

“Mengurangi pemakaian plastik di area tangkapan sungai akan menjadi sukses besar. Agar berhasil, perlu adanya perbaikan manajeman sampah dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya plastik,” pungkasnya.

#BumiAtauPlastik #SayaPilihBumi