Nationalgeographic.co.id - Sebuah video yang beredar di dunia maya dan telah dilihat oleh jutaan orang di seluruh dunia menunjukan seorang penyelam berenang melalui perairan Indonesia yang penuh dengan polusi plastik.
Menurut penyelam itu, jumlah sampah sebanyak ini belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ironinya, permasalahan mengenai sampah seakan tidak menjadi sorotan, padahal pantai-pantai terpencil negara tetangga, Australia, yang terlindungi dan terawat dengan baik menjadi dampak dari sampah yang sudah menghuni lautan.
Baca juga: Mengonsumsi Micin Membuat Otak Menjadi Lemah, Apakah Benar?
Kenyataannya, sekelompok polisi hutan justru menghabiskan waktu selama berjam-jam setiap minggunya untuk membersihkan pantai yang tak tersentuh oleh manusia, tetapi dipenuhi sampah manusia.
Secara historis sampah-sampah di pantai tersebut umumnya berasal dari limbah perikanan. Namun, belakangan ini semakin didominasi oleh limbah domestik, seperti sedotan plastik, kantong plastik, sikat rambut, botol sampo, dan gantungan baju.
Bahkan, menurut Luke Playford, seorang fasilitator bagi masyarakat pribumi Australia pada Korporasi Abiminar Dhimurru di negara bagian Northern Territory, sampah terbesar yang ditemukan di sana adalah celana dalam, sikat gigi, dan korek api. Sampah yang dihasilkan dari kehidupan keseharian.
Baca juga: Delapan Cara Mudah untuk Bertahan Hidup Jika Bencana Alam Menyerang
Sampah-sampah ini datang dalam jumlah yang besar. Bahkan lebih besar dari kemampuan dan tenaga petugas dan polisi hutan untuk membersihkannya. Bayangkan, mereka harus menjaga pantai dengan panjang 70 kilometer dari sampah yang sebelumnya mengapung di lautan.
"Tahun lalu adalah tahun terbesar dalam catatan kami mengenai limbah laut yang ditemukan di garis pantai kami. Jadi saya pikir pola ini akan terus berlanjut," ungkap seorang petugas.
Mengenai dari mana asal sampah ini — sebelum terapung di lautan, Dr. Frederieke Kroon, seorang ilmuwan peneliti di Institut Ilmu Kelautan Australia, meyakini praktik pembuangan sampah yang buruk ditambah pergerakan air setempat telah membentuk hotspot limbah.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR