Mengungkap Keberadaan Suku Terisolasi Dapat Menyelamatkan Mereka?

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 3 September 2018 | 16:43 WIB
Gambar sekilas penyintas suku terasing di hutan Amazon. (FUNAI)

Nationalgeographic.co.id – Keputusan Brasil untuk memublikasikan video anggota suku terisolasi merefleksikan ketidaknyamanan para pembela hak asasi manusia yang tampaknya kehabisan waktu melindungi suku-suku terakhir ‘yang tidak dapat dikontak’ di hutan hujan Amazon.

Sejak Juli lalu, lembaga urusan masyarakat adat di Brasil, FUNAI, telah merilis dua video yang diambil saat ekspedisi lapangan untuk memantau dan melindungi suku-suku asli yang terputus dari dunia luar.

Dalam video pertama, seorang pria kokoh terlihat menebang pohon di dalam hutan. Itu diambil diam-diam dari jarak dekat oleh tim FUNAI. Pria tersebut diketahui sudah hidup sendiri selama 22 tahun di lahan seluas 30 mil persegi.

FUNAI bertugas untuk melindungi pria ini dari penebang dan peternak yang diyakini telah memusnahkan semua anggota sukunya dengan kekerasan selama 1980 hingga 1990-an.

Baca juga: Kisah Orang-orang Spanyol yang Memilih Tinggal di Dalam Gua Purba

Seminggu kemudian, pada 21 Agustus, Department of Isolated and Recently Contacted Indians, kembali merilis video sebuah video tentang suku asli Brasil tersebut.

Kali ini, kamera drone berhasil menangkap gambar beberapa anggota suku bergerak bebas di hutan yang luas sambil membersihkan tanaman. Di antara mereka, terlihat seorang laki-laki mengayunkan busur dan panah bambu.

Pihak berwenang mengatakan, video tersebut diambil tahun lalu selama ‘misi mencari fakta’, di kedalaman Vale do Javari Indigenous Land, untuk menyelidiki dugaan pembantaian yang dilakukan pada suku terisolasi tersebut – dikenal dengan nama Flecheiros atau  Orang-orang Berpanah.

Kedua video diambil tanpa sepengetahuan atau izin dari subjek. Memicu munculnya pertanyaan terkait etika dan hak-hak anggota suku. Juga kekhawatiran bahwa gambar tersebut akan mendorong para petualang untuk mencari suku terisolasi tersebut.

Namun, Funai menjelaskan, alasan mereka mempublikasikan video tersebut adalah ingin meningkatkan kesadaran penduduk Brasil dan dunia tentang keberadaan suku-suku terasing tersebut dan status mereka yang semakin genting.

“Semakin banyak publik tahu dan muncul perdebatan terkait isu ini, maka semakin bagus kesempatan kami untuk melindungi mereka beserta tanahnya,” kata Bruno Pereira, direktur FUNAI.

“Dengan semakin berkembangnya pertanian, dan aktivitas lain seperti pertambangan dan penebangan di Amazon, orang-orang ini mungkin bisa hilang sebelum publik tahu bahwa mereka ada,” kata Pereira.

Dia menyadari bahwa menggunakan drone untuk menyorot Orang-orang Berpanah ini merupakan taktik yang agresif. Namun, Pereira menyatakan bahwa pesawat tak berawak itu dioperasikan lebih tinggi dari tahun lalu untuk menghindari kritik terkait pelanggaran privasi.

Para pemimpin adat di Brasil memuji keputusan FUNAI untuk melindungi komunitas terisolasi yang sangat rentan terhadap penyakit menular dan kekerasan dari dunia luar.

“Fakta bahwa mereka tidak pernah melakukan kontak di luar kelompoknya, membuatnya lebih rentan,” tutur Beto Marubo, salah satu anggota suku asli yang berbicara atas nama saudara-saudara terasing mereka.

Suku Beto, Marubo, merupakan salah satu dari enam suku yang mampu dikontak di Vale do Javari Indigenous Land. Selain itu, ada 11 komunitas terisolasi juga di wilayah tersebut.

Masih banyak misteri yang meliputi penyintas di suku Rondonia dan Flecheiros. Kedua suku ini sama sekali tidak pernah melakukan kontak langsung dengan dunia luar.

Hampir 500 mil dari cagar alam Tanaru, seorang penyintas suku terus menghindari kontak langsung dengan orang luar. Ia kabur dari petugas FUNAI yang mengamati pergerakannya, meninggalkan bawaan, bibit tanaman, dan alat-alatnya, serta melakukan patroli di perbatasan untuk mencegah intrusi yang berpotensi membahayakan keberlangsungan hidupnya.

Meski begitu, keberadaan agen FUNAI di hutan telah memunculkan kepercayaan tersendiri bagi mereka. Pereira menjelaskan, pria primitif tersebut pernah memberi isyarat kepada petugas untuk menghindari jebakan yang dia gali sebagai bentuk pertahanan dari penyusup dan untuk menjebak hewan liar.

Anggota suku itu juga menggali lubang-lubang yang dalam dan sempit pada gubuk beratap daun palem yang dibangunnya sendiri. Sejauh ini, agen-agen FUNAI telah menemukan lusinan tempat tinggal – masing-masing dengan lubang yang digali di gubuk -- dalam upayanya memantau suku-suku terasing.

Baca juga: Tradisi Para Biksu di Pegunungan Himalaya Saat Menyambut Musim Dingin

Meski masih bingung dengan tanda penggalian di dalam rumah tersebut, namun mereka menduga, itu mungkin merupakan bagian dari praktik spiritual anggota suku. Karena tidak mengetahui dari suku mana pria tersebut berasal, agen FUNAI menyebutnya dengan istilah índio do buraco atau manusia lubang.

“Saya merasa memiliki kewajiban untuk menebus penganiayaan yang pernah dialami para anggota suku,” kata Altair Algayer, agen FUNAI yang bertugas melindungi suku terisolasi selama 13 tahun, melalui sebuah e-mail yang dia tulis dari markasnya di hutan.

Algayer berharap, unggahan video tentang suku terasing bisa menarik perhatian pemerintah Brasil untuk membantu FUNAI melindungi suku-suku di Amazon.