Entomofagi, Praktik Makan Serangga di Kehidupan Sehari-hari, Sehatkah?

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 14 September 2018 | 17:51 WIB
Entomofagi atau praktik makan serangga telah dilakukan beberapa orang di dunia. (mrorange002/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Berpikir untuk memakan serangga mungkin sudah membuat perut Anda mual. Namun, kebiasaan yang disebut sebagai entomofagi ini ternyata sudah dilakukan beberapa orang di dunia.

Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2013 lalu, ada sekitar dua miliar penduduk dunia yang mengonsumsi serangga sebagai bagian dari diet mereka.

Kumbang adalah serangga yang paling sering dimakan, diikuti oleh ulat, lebah, semut, belalang dan jangkrik. Secara keseluruhan, terdapat 1.900 jenis serangga yang dianggap bisa dikonsumsi.

Baca Juga : Ancaman Wabah Campak-Rubella dan Perdebatan Vaksin MR di Indonesia

Entomofagi menjadi praktik umum di beberapa wilayah, termasuk Tiongkok, Afrika, Asia, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara berkembang di Amerika Tengah dan Selatan.

Di wilayah Barat, tampaknya serangga belum berhasil menggugah selera mereka. Studi yang dipublikasikan pada Journal of Insects as Food and Feed menemukan fakta bahwa 72% warga Amerika menolak mengonsumsi serangga.

Menurut FAO, kebanyakan penduduk di negara Barat menganggap entomofagi sebagai tindakan menjijikan dan berkaitan dengan perilaku primitif.

Meski begitu, beberapa ahli menyatakan bahwa praktik ini memiliki manfaat bagi kesehatan.

Makan serangga dapat mengatasi obesitas

Serangga diketahui mengandung nutrisi yang tinggi. Mayoritas dari mereka kaya akan protein, lemak sehat, zat besi, dan kalsium.

Faktanya, para ahli di FAO mengklaim bahwa serangga memiliki gizi hampir sama dengan yang ditemukan pada daging sapi.

Sebagai contoh, 100 gram jangkrik mengandung sekitar 121 kalori, 12,9 gram protein, 5,5 gram lemak, dan 5,1 gram karbohidrat. Sementara 100 gram daging sapi mengandung 23,5 gram protein dan lemak sekitar 21,2 gram.