Harmonisasi Masyarakat Tanjung Balai dalam Arsitektur dan Kuliner

By Agni Malagina, Kamis, 1 November 2018 | 10:29 WIB
Oplet lawas terparkir di Jalan Trikora. (Agni Malagina)

Nationalgeographic.co.id - Menyusuri kota lama Tanjung Balai, Pulau Karimun di Kepulauan Riau bisa menjadi pilihan para penyuka wisata kota lama atau kota tua. Wilayah kota lama Tanjung Balai terletak di dekat Pelabuhan Laut Tanjung Balai. Kawasannya terletak di sepanjang Jalan Trikora dan Jalan Nusantara.

Hanya perlu melangkahkan kaki sekitar 10 menit dari pelabuhan Tanjung Balai, kita akan segera tiba di wilayah kota lama yang dulunya merupakan salah satu permukiman masyarakat Cina Karimun. Permukiman masyarakat Tionghoa di Karimun pun tersebar sampai ke daerah Kampung Baru dan Meral. Sebenarnya tak hanya masyarakat Cina Tanjung Balai yang tinggal di wilayah itu, sebagai kota pelabuhan tua, wilayah kota lama Tanjung Balai juga ditinggali oleh masyarakat Keling, Melayu, bahkan Jawa, dan Bugis.

Baca Juga : Viral Video Tanah 'Bernapas' di Hutan Kanada, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Masyarakat Tionghoa hidup berdampingan dengan etnis lainnya terutama masyarakat muslim. Bahkan di tengah-tengah permukiman tersebut terdapat masjid Baitul Karim yang dibangun tahun 1987, namun sejatinya ia berdiri di atas tanah tilas masjid kuna yang dibangun tahun 1913. Di wilayah itu, terdapat beberapa rumah ibadah.

Tak jauh dari pelabuhan berdiri bangunan tua Gereja Katolik Santo Joseph dan pastorannya yang masih mempertahankan bentuk aslinya. Gereja tersebut beralamat di Jalan Trikora No. 1. Di beberapa lokasi tersebar terdapat beberapa kelenteng yang telah berubah dari bentuk aslinya karena telah direnovasi menjadi lebih besar untuk memenuhi kebutuhan umat yang membeludak pada hari-hari perayaan tertentu.

Berkeliling kota lama Tanjung Balai terutama sepanjang jalan Trikora dan jalan Nusantara, kita akan dimanjakan oleh pembandangan bangunan tua, setidaknya merupakan bangunan tua sejak awal abad 20. Diantaranya terdapat bangunan yang dijadikan kantor kelurahan Tanjung Balai Kota, Kecamatan Karimun, tepatnya di Jalan Nusantara.

Sedangkan sebuah bangunan tua yang ditempati oleh Datasemen Polisi Milieter I/6 Bukit Barisan berupa bangunan gaya Art Deco berangka tahun 1950. Di seberang bangunan bercat hijau itu terdapat bangunan terlantar berangka tahun 1926, masih kokoh berdiri walaupun tak lagi beratap, ditumbuhi tanaman-tanaman berakar yang merambat menghiasi tembok lawasnya. Keduanya berada di Jalan Trikora.

Berpuluh bangunan rumah tok masih tampak asri seperti asalnya walaupun banyak bangunan yang telah direnovasi dan berubah bentuk karena wilayah tersebut pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 1977. Dinding klasik, jendela kayu bercat warna-warni turut memerihkan warna kawasan itu. Ukurannya hampir rata sekitar 4-5 meter lebarnya dengan panjang bervariasi antara 15 sampai 30 meter. Tipikal arsitektur shophouse di kota lama wilayah Pecinan sekitar Sumatera.

Seperti kota lama yang ditinggali oleh kebanyakan masyarakat Tionghoa di Indonesia lainnya, pemandangan rumah dengan interior yang memiliki altar sembahyang dari pelbagai ukuran tampak menjadi elemen utama rumah-rumah toko tersebut. Mayoritas bagunan-bangunan itu berfungsi sebagai rumah toko yang masih ditinggali, toko-toko yang hanya berfungsi sebagai kegiatan bisnis, dan juga hotel-hotel atau penginapan, kedai makan dan kedai kopi.

Bicara tentang kedai kopi di Tanjung Balai tentu tak akan lepas dari budaya ‘ngopi pagi’, sarapan dan ‘ngopi sore’. Menariknya, rata-rata kedai kopi di wilayah tersebut beroperasi mulai pukul 5 pagi hingga pukul 3 sore. Mengapa sepagi itu?

“Kami buka jam 4.45 setiap harinya,” ujar Elsye menantu Dudy Hartono (Lui Hui Siong) pemilik Kedai Kopi Botan di Jalan Trikora. Kedai itu terkenal karena sudah berusia 74 tahun.

“Melayani warga yang pulang shalat Subuh, ada dua masjid dekat sini. Masjid Pasar dan masjid di atas,” tambah Elsye.

Senada dengan Elyse, pemilik kedai kopi Selamat yang terletak di Jalan Nusantara tepat di depan Masjid Baitul Karim (Masjid Pasar) juga mengaku membuka kedainya pukul 05.00 pagi guna melayani warga yang selesai shalat Subuh.

“Mereka kadang sarapan di sini, ngopi juga. Itu makan mi lender, lontong sayur atau mi goreng. Juga makan di kedai belakang,” ujar Ama Li Ceng pengelola kedai tersebut. Kedai kopi yang dibangun kakek dari suaminya (Ngiat Siu) tersebut dibangun oleh kakek sang suami yang bernama Ciu Keng Bung tahun 1957. “Atok (kakek) datang dari Hailam bersama sepupunya, buka kedai kopi,” ujar Akong Ngiat Siu. Memang benar, pagi itu sekitar pukul 06.00 saya mendapati beberapa kedai kopi di kota lama Tanjung Balai dipenuhi oleh pakcik-pakcik (paman) yang pulang dari masjid. Sebut saja kedai kopi Selamat, kedai kopi Cirebon, dan kedai kopi Botan.

Baca Juga : Mengapa Suara Tawa Terkadang Terdengar Menakutkan? Ini Penjelasannya

Selama menyusuri kota lama Tanjung Balai, setidaknya saya menemukan 12 kedai kopi jadul seperti: kedai kopi Siang Hwa, kedai kopi Botan, kedai kopi Ajak, kedai kopi 899, kedai kopi rumah kematian, kedai kopi Selamat, kedai kopi Aguan, kedai kopi Natal, kedai kopi 88, kedai kopi Segara, kedai kopi Cirebon. Bagi pejalan yang memerlukan makanan berat pun bisa mengunjungi kedai masakan Tionghoa, Melayu, Padang (Minang), dan Jawa yang tersebar di kawasan tersebut. Cukup beragam untuk memanjakan lidah pengunjung dari beragam daerah.

Sensasi susur kota lama Tanjung Balai akan bertambah jika Anda dapat menjumpai mobil kayu berukuran besar sedang mengangkut siswa sekolah di kawasan itu. Ditambah lagi jika kita menginap di kawasan itu, kita dapat menyaksikan tayangan film Melayu era tahun 50 – 60an semacam film berjudul Pancha Delima, Si Tanggang (kisah Malin Kundang), Lubalang Daik dan lainnya yang diputar 24 jam! Waktu serasa berhenti di sini!