Studi: Cuaca Tak Normal dan Mematikan Akan Meningkat Hingga 50 Persen

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 5 November 2018 | 11:21 WIB
Ilustrasi gelombang panas (batuhan toker)

Nationalgeographic.co.id – Kekeringan ekstrem, gelombang panas, kebakaran, dan peristiwa banjir di belahan bumi utara tahun ini, telah dikaitkan dengan kondisi Arktika yang semakin mencair.

Michael Mann, peneliti iklim dari Pennsylvania State University, mengatakan, kebakaran hutan parah yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta banjir di Jepang, juga berhubungan dengan aliran jet yang lebih lambat sehingga mengunci sistem cuaca di sana.

Menurut sebuah studi yang dipublikasikan pada jurnal Science Advances, pemanasan global yang terus berlanjut akan menciptakan cuaca ekstrem berkepanjangan yang merusak. Frekuensinya secara  rata-rata meningkat hingga 50%.

“Kita melihat sendiri bagaimana dampak perubahan iklim terjadi melalui layar televisi dan berita utama. Bencana-bencana itu adalah contohnya,” kata Mann.

Baca Juga : Viral Video Tanah 'Bernapas' di Hutan Kanada, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Dan peristiwa tersebut akan lebih sering terjadi seiring pembakaran bahan bakar fosil yang tanpa henti.

“Kondisinya akan semakin buruk jika tidak ada aksi untuk segera mengurangi emisi karbon,” imbuhnya.

‘Aliran sungai di udara’

Angin dari barat ke timur di ketinggian, atau yang biasa dikenal sebagai aliran jet, didorong oleh perbedaan suhu antara udara es dari Arktika dan udara panas dari wilayah tropis.

Arktika yang memanas dua hingga tiga kali lebih cepat dibanding tempat lainnya akan mengurangi perbedaan suhu dan memperlambat aliran jet. Seperti air sungai, aliran jet yang lebih lambat juga menjadi berliku-liku dan ‘macet’ selama musim panas. Bahkan, bisa sampai berminggu-minggu.

Model iklim memproyeksikan bagaimana aliran jet tersebut akan terhenti dan menyebabkan peristiwa ekstrem, mulai dari sekarang hingga tahun 2100.

Peran besar batu bara                                                                                               

Studi tersebut menyatakan bahwa menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batu bara akan meminimalkan peluang cuaca ekstrem di masa depan.

Diketahui bahwa batu bara merupakan sumber utama karbon dioksida (CO2) yang menjebak panas matahari. Mereka juga sumber pencemaran udara yang signifikan – dalam bentuk partikel kecil atau aerosol yang memantulkan sebagian panas matahari sehingga menyebabkan pendinginan regional.

Baca Juga : Hutan di Rawa Tripa Berkurang, Kehidupan Orangutan Sumatra Terancam

“Penurunan polusi udara di negara-negara industri sebenarnya dapat memulihkan perbedaan suhu alam di garis lintang tengah dan Arktika,” kata Stefan Rahmstorf, peneliti iklim dari Potsdam-Institute for Climate Impact Research yang juga terlibat dalam studi.

Ya, berkurangnya sumber polusi udara dapat membantu mencegah peningkatan cuaca ekstrem di masa depan.

“Jika kita ingin membatasi peningkatan suhu ekstrem yang berbahaya, mengakhiri proses batu bara tampaknya ide yang cukup bagus,” pungkas Rahmstorf.