"Kami kemudian mulai mengapungkan buah kelapa ke arah mereka. Secara mengejutkan, anggota suku Sentinel menginjakkan kaki ke air untuk mengambil kelapa tersebut," cerita Chattopadhyay.
Dua atau tiga jam selanjutnya, pria-pria Sentinel berulang kali masuk ke dalam air untuk mengumpulkan kelapa–dianggap sesuatu yang baru karena buah ini tidak ada di pulau mereka. Sementara wanita dan anak-anak menonton dari kejauhan.
Meski mereka menerima kelapa yang diberikan para antropolog, tapi Chattopadhyay mengatakan bahwa ancaman serangan masih terasa.
"Pria muda berusia sekitar 19 atau 20 tahun berdiri bersama perempuan di pantai dan tiba-tiba ia mengangkat busurnya. Saya harus berusaha keras memanggilnya menggunakan bahasa suku lain yang saya pelajari di wilayah lain agar ia mau mengambil kelapa. Wanita di sebelahnya memintanya mengambil kelapa dan kemudian ia melakukannya," papar Chattopadhyay.
"Tak lama kemudian, beberapa anggota suku datang dan menyentuh perahu. Gerakan yang kami rasakan menunjukkan bahwa mereka tak takut lagi terhadap kami," imbuhnya.
Tim ANSI kemudian berhasil mencapai bibir pantai. Namun, anggota suku tidak mengajak para antropolog ke tempat tinggalnya.
Pertemuan selanjutnya
Sepuluh bulan kemudian, Chattopadhyay datang kembali ke Pulau Sentinel Utara bersama timnya.
"Kali ini, anggota tim kami lebih besar karena pemerintah ingin orang-orang Sentinel lebih familiar dengan para peneliti," ujarnya.
"Mereka melihat kami mendekat dan mendatangi kami tanpa senjata."
Tidak puas dengan mengumpulkan kelapa satu per satu, kali ini suku Sentinel naik ke perahu untuk mengambil sekarung buah sekaligus. Mereka bahkan berusaha membawa senapan milik polisi, mengira itu adalah sepotong logam.
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR