Nationalgeographic.co.id - Selama beberapa abad, ‘kota janda’ misterius ini menarik perhatian ribuan wanita yang dibuang keluarganya dan dianggap terkutuk setelah kematian para suami.
Tidak ada yang sanggup menghitung jumlah janda di Vrindavan, kota di selatan New Delhi, India. Meskipun begitu, diperkirakan ada 15 ribu janda yang hidup di sana. Mereka diasingkan oleh keluarganya agar tidak mendapat warisan. Para janda ini dianggap sebagai ‘penghisap uang’ dan ‘nasib buruk’.
Baca Juga : Diduga Alami Pelecehan Seksual, Wanita yang Alami Koma Hampir 10 Tahun ini Melahirkan
Beberapa janda ditinggalkan di jalan oleh anggota keluarganya. Sementara yang lainnya, datang ke Vrindavan dengan kemauannya sendiri–menggunakan bus dan kereta.
Para janda ini berharap bisa beribadah dan menemukan sahabat di sana. Meskipun begitu, butuh perjuangan untuk bertahan hidup setiap harinya di Vrindavan.
Hidup susah
Bindeshwar Pathak, pendiri lembaga HAM, Sulabh International, yang membantu para janda tersebut, mengatakan, rasa malu sebagai janda masih sangat kuat di beberapa tempat. Mereka diharapkan untuk melepas semua kesenangan.
Pathak menjelaskan, para janda ini tidak diperbolehkan untuk merayakan dan menghadiri pesta pernikahan. Mereka diharapkan untuk tinggal dalam pengasingan dan mengenakan baju berwarna putih.
“Ini pada dasarnya adalah bentuk penjara seumur hidup bagi para janda,” katanya.
Sulabh International ditugaskan oleh Mahkamah Agung untuk membantu perempuan-perempuan tersebut--setelah ditemukan mayat janda yang dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke sungai–sejak 2012. Lembaga tersebut memberikan tunjangan bulanan sebesar 2000 rupee (sekitar Rp420 ribu) kepada 700 janda. Juga mengajarkan beberapa keterampilan.
Meskipun begitu, bantuan itu hanya mencakup sebagian kecil janda yang tinggal di Vrindavan.
Kebanyakan perempuan terpaksa tinggal di rumah penampungan, berbagi kamar, atau tidur di atas terpal di pinggir jalan, karena sulit mencari akomodasi yang mau menerima mereka.
Vindravan dan sekitarnya merupakan kota spiritual dengan berbagai kuil untuk memuja Dewa Khrisna. Karena para janda ini tidak diterima oleh masyarakat luas, mereka biasanya berkumpul di pusat keagamaan – di mana mereka bisa melepas sedikit beban hidup dan menjalin persahabatan dengan janda-janda lain.
Para janda – biasanya wanita berusia lanjut – berdoa bersama dan menyanyi berulang-ulang selama beberapa jam dengan imbalan makanan dan alas tidur. Mereka sering terlihat masuk dan keluar kuil sambil mengenakan pakaian putih. Terkadang mengemis makanan dan uang untuk menyewa tempat tinggal.
Vasantha Patri, psikolog di Delhi, yang pernah menulis keadaan menyedihkan janda-janda Vridavan ini, mendeskripsikan mereka sebagai “fisik yang hidup namun secara sosial telah mati”.
Upaya pemerintah
Keadaan buruk para janda di tengah masyarakat India ini sudah menjadi perhatian pemerintah. Namun, perjalanannya masih panjang.
Pada 2012, Mahkamah Agung memerintahkan komite khusus untuk mengidentifikasi para janda di Vrindavan – baik yang memiliki tempat berlindung maupun yang berkeliaran di jalanan.
Mahkamah Agung juga meminta kelengkapan data para janda tersebut. Mulai dari siapa keluarganya, sumber pendapatan, hingga alasan mereka meninggalkan rumah. Namun, proses ini masih belum selesai hingga sekarang.
Baca Juga : Ibu Nuraeni, Pemberani Pengubah Nasib Anak Pesisir Pattingaloang
Ada juga rencana aksi yang diajukan Ministry and the National Commission for Women sebagai tindak lanjut proses tersebut.
Rencana aksi ini merinci kebutuhan untuk memperbaiki infrastruktur, melengkapi data para janda sesuai dengan kartu identitas, dan menasihati keluarga untuk membawa pulang mereka.
Menurut perintah tersebut, para janda berhak mendapat bantuan hukum, pengobatan gratis, serta bahan-bahan pokok.
Source | : | New York Post |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR