Kebanyakan perempuan terpaksa tinggal di rumah penampungan, berbagi kamar, atau tidur di atas terpal di pinggir jalan, karena sulit mencari akomodasi yang mau menerima mereka.
Vindravan dan sekitarnya merupakan kota spiritual dengan berbagai kuil untuk memuja Dewa Khrisna. Karena para janda ini tidak diterima oleh masyarakat luas, mereka biasanya berkumpul di pusat keagamaan – di mana mereka bisa melepas sedikit beban hidup dan menjalin persahabatan dengan janda-janda lain.
Para janda – biasanya wanita berusia lanjut – berdoa bersama dan menyanyi berulang-ulang selama beberapa jam dengan imbalan makanan dan alas tidur. Mereka sering terlihat masuk dan keluar kuil sambil mengenakan pakaian putih. Terkadang mengemis makanan dan uang untuk menyewa tempat tinggal.
Vasantha Patri, psikolog di Delhi, yang pernah menulis keadaan menyedihkan janda-janda Vridavan ini, mendeskripsikan mereka sebagai “fisik yang hidup namun secara sosial telah mati”.
Upaya pemerintah
Keadaan buruk para janda di tengah masyarakat India ini sudah menjadi perhatian pemerintah. Namun, perjalanannya masih panjang.
Pada 2012, Mahkamah Agung memerintahkan komite khusus untuk mengidentifikasi para janda di Vrindavan – baik yang memiliki tempat berlindung maupun yang berkeliaran di jalanan.
Mahkamah Agung juga meminta kelengkapan data para janda tersebut. Mulai dari siapa keluarganya, sumber pendapatan, hingga alasan mereka meninggalkan rumah. Namun, proses ini masih belum selesai hingga sekarang.
Baca Juga : Ibu Nuraeni, Pemberani Pengubah Nasib Anak Pesisir Pattingaloang
Ada juga rencana aksi yang diajukan Ministry and the National Commission for Women sebagai tindak lanjut proses tersebut.
Rencana aksi ini merinci kebutuhan untuk memperbaiki infrastruktur, melengkapi data para janda sesuai dengan kartu identitas, dan menasihati keluarga untuk membawa pulang mereka.
Menurut perintah tersebut, para janda berhak mendapat bantuan hukum, pengobatan gratis, serta bahan-bahan pokok.
Source | : | New York Post |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR