Nationalgeographic.co.id - Jika Anda bertemu Homo erectus di jalan, Anda mungkin melihatnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu berbeda dari Anda sendiri. Anda akan masih melihat seorang “manusia” dalam cara berdiri, ukuran tubuh dan bentuknya mungkin serupa dengan Anda.
Tapi wajah mereka akan lebih rata, dengan alis yang lebih menonjol. Dan berbincang dengan mereka akan terasa sulit—kemampuan bahasa mereka buruk (meski mereka bisa membuat alat dari batu atau menyalakan api).
Tentu saja ini sepenuhnya adalah hipotesis, karena Homo erectus sekarang telah punah. Nenek moyang manusia yang penuh teka-teki ini mungkin berevolusi di Afrika lebih dari 2 juta tahun yang lalu, meski kapan waktu pasti mereka punah tidak jelas.
Homo erectus banyak muncul di pemberitaan pada 2018 berkat penemuan di Filipina dan Cina, yang telah mengubah pemahaman kita tentang anggota keluarga kita yang tidak jauh ini.
Jadi siapakah sebenarnya Homo erectus? Dan dapatkah 2019 menjadi tahun kita mempelajari lebih jauh mengenai nenek moyang kita yang misterius?
Homo erectus pertama kali ditemukan di Pulau Jawa, Indonesia dan kemudian di Cina–keduanya adalah fosil “Manusia Jawa” dan “Manusia Peking” yang cukup terkenal. Penemuan Eugène Dubois pada 1891 di Jawa (yang awalnya bernama Pithecanthropus erectus) adalah satu bukti penting dalam mendukung gagasan evolusi manusia Darwin.
Penemuan artefak batu baru-baru ini di Dataran Tinggi Loess Cina menunjukkan bahwa seorang hominini, yang mungkin Homo erectus, hidup di wilayah tersebut pada 2,1 juta tahun lalu. Hal ini membuktikan kembali kehadiran mereka di Asia setidaknya 400.000 tahun lalu.
Situs kuno Homo erectus kuno lainnya juga terdapat di wilayah Kaukasus di Georgia (1,8 juta tahun lalu), di Jawa dan juga di Afrika.
Diperkirakan sebagian besar Homo erectus telah punah setelah munculnya manusia modern—tapi beberapa penemuan dari Jawa memiliki penanggalan usia (dengan beberapa kontroversi) sampai pada 40.000 tahun lalu. Jika penanggalan ini benar, hal tersebut menunjukkan bahwa mereka hidup berdampingan dengan Homo sapiens, meski mungkin hanya di daerah yang sangat terbatas di Indonesia.
Penjelajahan yang dilakukan Homo erectus ke seluruh dunia adalah pertama kalinya untuk spesies hominini pergi keluar benua Afrika, dan ini terjadi 2 juta tahun sebelum manusia modern akhirnya meniru penjelajahan besar ini. Mereka mungkin terdorong untuk menyebar begitu cepat karena perluasan padang rumput dalam rentang periode tersebut, yang disebabkan oleh perubahan iklim. Hal ini menciptakan lebih banyak habitat bagi hewan pemakan tumbuhan dan karenanya meningkatkan jumlah mangsa yang tersedia.
Homo erectus adalah nenek moyang pertama kita yang secara fisik menyerupai manusia modern. Mereka lebih tinggi dan otak mereka lebih besar dari spesies hominini sebelumnya seperti Australopithecus sp. atau Homo habilis.
Mereka memiliki wajah yang sedikit berbeda dengan kita: wajah mereka datar dengan alis yang lebih menonjol.
Kaki panjang yang mereka miliki dan fakta bahwa mereka berdiri tegak membuat setiap individu Homo erectus sebagai pejalan kaki yang efisien dan dapat menjelajah lebih jauh dibanding nenek moyang mereka.
Bentuk tubuh mereka juga memperlihatkan bahwa tubuh mereka dapat mengontrol suhu dan keseimbangan air dalam tubuh dengan baik sehingga cocok untuk hidup di hutan terbuka.
Homo erectus mungkin adalah spesies pengumpul makanan yang juga menambah asupan mereka dengan hasil buruan dibandingkan sepenuhnya menjadi pemburu. Bahkan, mereka mungkin menempati posisi ekologi yang mirip dengan hyena hari ini.
Pentingnya daging dalam makanan mereka masih diperdebatkan, beberapa peneliti mempertimbangkan bahwa utamanya mereka adalah pemakan daging dan yang lain percaya bahwa mereka memiliki banyak jenis makanan lainnya.
Homo erectus jauh lebih pintar daripada hominini-hominini sebelumnya. Mereka spesies pertama yang menggunakan api dan mungkin yang pertama mengumpulkan makanan sekaligus berburu sebagai cara hidup. Mereka membuat peralatan kapak dari batu dari zaman budaya yang disebut Acheulean, hal ini dicirikan dari kapak genggamnya.
Meski demikian, kemampuan kognitif mereka jauh di bawah manusia modern. Belum ada bukti bahwa Homo erectus mampu melakukan perilaku modern seperti menggunakan bahasa atau menciptakan seni.
Pentingnya penemuan arkeologis baru-baru ini berkaitan dengan Homo erectus di Filipina membantu kita mempelajari lebih dalam tentang kemampuan spesies ini.
Sebelumnya, telah diterima secara luas bahwa Homo erectus tidak dapat menyeberang perairan yang dalam. Teori ini sesuai dengan keberadaan mereka yang hanya hingga ke Jawa, dan tidak dapat melintasi perairan yang lebih dalam yang dibatasi oleh Garis Wallace dalam perjalanan yang lebih jauh ke timur.
Sebuah penemuan di Filipina (dan mungkin juga di Sulawesi) membantah pemahaman tersebut, dan membuka kemungkinan yang menarik bahwa Homo erectus mungkin adalah pelaut yang lebih pandai dari yang kita pikirkan sebelumnya.
Salah satu aspek yang paling kontroversial dari Homo erectus adalah siapa dari penemuan tersebut yang tergolong termasuk spesies mereka. Sementara banyak peneliti memasukkan berbagai hasil penemuan dari seluruh dunia sebagai Homo erectus, beberapa mengklasifikasikan hasil penemuan di Afrika dan Eurasia sebagai Homo ergaster. Sementara yang lain menggunakan istilah Homo erectus senso stricto (yakni dalam arti sempit) untuk hasil penemuan Asia dan Homo erectus senso lato (yakni dalam arti luas) untuk semua hasil penemuan.
Situasi yang agak membingungkan ini sebenarnya jauh lebih jelas daripada sejarah awal Homo erectus di mana terdapat berbagai spesies di antaranya Anthropopithecus, Homo leakeyi, Pithecanthropus, Sinanthropus, Meganthropus, Meganthropus, dan Telanthropus. Alasan mengapa hal ini cukup rumit adalah bahwa Homo erectus (atau bagaimana pun Anda ingin menyebutnya) memiliki karakteristik morfologi yang relatif luas sehingga sulit untuk memutuskan seberapa banyak keanekaragaman yang harus dimasukkan dalam ciri-ciri spesies.
Yang jelas adalah bahwa Homo erectus berada di suatu tempat di garis keturunan manusia antara nenek moyang terdahulu dan manusia modern, berfungsi sebagai transisi dari hominini awal seperti Australopithecus ke Homo heidelbergensis, Homo neanderthalensis dan Homo sapiens.
Tidak ada fenomena arkeologi yang telah memberikan perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir selain bagaimana kita memahami garis keturunan kita. Spesies baru yang telah ditemukan (dan diperdebatkan) dan juga usia dari hasil penemuan paling awal dari berbagai spesies masih terus direvisi. Sayangnya kita memiliki fosil yang terbatas untuk diteliti sehingga hasil penemuan dan situs baru yang ditemukan dapat dengan cepat mengubah pemahaman kita tentang evolusi manusia.
Tidak diragukan lagi bahwa penelitian DNA purba akan berkontribusi untuk memecah ketidapastian ini–tapi sampel DNA masih belum diambil dari Homo erectus. Kami terus menunggu penemuan ini dengan napas yang tertahan!
Artikel ini telah diperbaharui untuk mengoreksi ejaan dari Homo habilis.
Artikel ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Muhammad Gaffar.
Penulis: Ian Moffat, ARC DECRA Research Fellow in Archaeological Science, Flinders University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR