Nationalgeographic.co.id—Pesona taman telah menghias berbagai kerajaan di Asia, dari Persia, India, hingga timur jauh seperti Cina dan Jepang. Selama berabad-abad, taman telah digunakan tidak hanya penghias permukiman, tetapi juga memberikan makna estetik sebagai tempat hiburan. Lebih jauh, taman pun bisa bermakna filosofis sebagai tempat meditasi yang menghubungkan si penghuni dengan dunia makrokosmos.
“Akan sangat menarik apabila taman-taman seperti itu terdapat di Asia Tenggara,” demikian Denys Lombard mengungkapkan dalam Jardin à Java di jurnal Art Asiatiques pada 1969. Dia sohor sebagai cendekiawan asal Prancis. Pada periode 1994-1998, dia menjabat Direktur The École française d'Extrême-Orient, sebuah lembaga yang didedikasikan untuk studi masyarakat di Asia.
Asia Tenggara merupakan sebuah wilayah di mana ada kemungkinan India dan Cina memberikan pengaruh di wilayah ini. Pasalnya, kawasan Asia Tenggara berlokasi di jalur perdagangan laut yang ramai sejak kemasyhuran Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ketujuh.
“Saya tidak menemui keberadaan taman-taman hiburan di Malaka abad ke-15 dan utara Sumatra abad ke-17,” ungkapnya. Namun dia melanjutkan, “di Jawa situasinya berbeda. Sebagian remah-remahnya yang selamat telah membantu kita dalam melukiskan kesimpulan yang lebih akurat.”
Untaian taman penting yang dimaksud Lombard terletak di Jawa dan Bali. Berawal dari barat hingga tengah Jawa: Tasikardi di Banten, Sunyaragi di Cirebon, Tamansari di Yogyakarta, dan Sriwedari di Surakarta. Kemudian berlanjut ke Bali: Ujung di Karangasem, dan terakhir di Lombok: Narmada. Semuanya enam lokasi!
TASIKARDI merupakan sebuah danau buatan seluas sekitar lima hektare dengan pulau di tengahnya sebagai tempat rekreasi keluarga Sultan. Tepi danau ini dikelilingi oleh batu bata. Lokasinya sekitar sepuluh kilometer dari Kota Serang, Banten. Dalam bahasa Jawa, “Tasikardi” bermakna “Laut dan Gunung”.
Lombard menduga tampaknya danau itu dibangun pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, yang bertakhta di Banten pada abad ke-17. Air dari danau ini dialirakan menuju ke Keraton Surosowan lewat pipa-pipa terakota dengan teknologi penyaringan dan penjernihan.
SUNYARAGI berlokasi di Kasultanan Cirebon, Jawa Barat. Terdapat tiga takhta sultan di kota ini: Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Lokasi Sunyaragi berada di antara Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman di Cirebon.
Tempat rekreasi para kerabat sultan ini berupa taman dan bukit-bukit artifisial yang terbuat dari kombinasi batu karang dan bangunan. Di taman Keraton Kanoman pengunjung bisa menyaksikan bangunan besar tinggalan permukiman awal di Cirebon. Sedangkan di Keraton Kanoman, sebuah gua buatan sebagai tempat beristirahat dan meditasi bagi Sultan.
TAMANSARI masih berada dalam tembok Keraton Yogyakarta. Tepatnya di sisi barat laut Keraton. “Tamansari” bisa juga diartikan sebagai “Taman Mewangi”. Sementara, para pencatat asal Belanda menyebutnya “Waterkasteel”—puri di tengah kolam.
Sebuah bangunan bernama Pulo Kenanga, menyeruak di tengah kolam Segaran. Bangunan ini dan sebuah masjid dihubungkan dengan jalan bawah air menuju ke sebuah kawasan di kolam pemandian para putri-putri bangsawan. Tamansari dibangun pada 1758 ketika Sultan Hamengkubuwana I bertakhta.
Pada abad ke-19 dibangun pula Balekambang Ambarukmo. Sehamparan taman lengkap dengan pendapa, kolam, dan rumah peristirahatan. Berlokasi di antara Jalan raya Yogyakarta-Surakarta.
SRIWEDARI dibangun pada awal abad ke-20 oleh Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta. Taman ini disjuluki warga sebagai “Kebon Raja” yang bermakna taman sang raja. Dahulu, menurut Lombard, taman ini penuh dengan pesona bebungaan nan mewangi dan sejumlah satwa peliharaan sang raja.
Mereka yang datang biasanya bertujuan untuk meditasi, namun kini pengunjung datang untuk menyaksikan suasana pasar malam. Denyut kesenian Sriwedari telah melambungkan kesenian wayang orang, hingga hari ini.
Berhias kolam persegi dengan semacam pulau di tengahnya, dan dua bangunan beratap genting. Pulau tersebut dihubungkan dengan jembatan panjang dengan hiasan berukir semacam gapura. Meletusnya Gunung Agung pada 1963 pernah membuat porak poranda kawasan Karangasem, termasuk Taman Ujung. Kini, petilasan itu bersolek kembali.
NARMADA, sekitar sepuluh kilometer dari Kota Mataram. Pada 1930-an taman ini menjadi tempat yang tersohor karena keindahannya. Dua taman lainnya di Mataram, Cakranegara dan Lingsar, telah binasa saat penyerbuan serdadu KNIL pada 1894.Tampaknya Narmada merupakan taman yang pernah dikunjung Alfred Russel Wallace pada 1856.
“Kami melewati Mataram [...] Sepanjang jalan kecil sekitar tiga mil, tibalah kami di suatu tempat. Kami memasuki gapura batu bata yang gagah, dihias dengan dewa-arca dewa-dewa Hindu,” demikian catat Wallace dalam bukunya Malay Archipelago.
Kemudian dia melanjutkan, “Di dalamnya terhampar dua kolam ikan dan pepohonan elok. Sebelah kanan terdapat rumah dari batu bata dengan gaya Hindu yang terletak di sebuah teras tinggi. Sebelah kirinya sebuah kolam ikan besar dari sungai kecil yang keluar dari mulut buaya raksasa, namun itu sekedar arca.”
Berkunjung ke taman-taman pelesir sang raja, seolah membawa kita menyusuri peradaban masa lalu. Di masa klasik, taman dibangun untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dan meditasi untuk ketenangan batin keluarga sang raja.
Kebutuhan taman plesiran tampaknya tidak banyak berubah dari dahulu hingga sekarang. Seolah tersihir eksotika taman masa klasik, di masa kini banyak pengembang perumahan modern yang menghadirkan taman keluarga dan ruang publik di tengah permukiman. Atau, munculnya berbagai tempat relaksasi di kota-kota besar yang menjelmakan aroma dan nuansa tradisional.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR