Nationalgeographic.co.id - “What is trassi?” Demikian pertanyaan Anna Forbes tatkala berjejak di Ambon. Anna merupakan istri dari naturalis sohor asal Inggris, Henry Ogg Forbes. Pasangan itu menjelajahi Nusantara pada 1880-an.
Ketika Anna berada di dapur, dia melihat paket kecil dalam bungkus daun pisang yang tergeletak di lantai. Kemudian dia bertanya kepada Kobez—demikian Anna menulis nama seorang anak lelaki yang mengingatkan kita pada kobis sayuran. Kobez merupakan seorang koki yang melayaninya selama di Ambon.
“Barang apa ini?” tanya Anna kepada Kobez sembari menyentuh bungkusan itu dengan hati-hati.
“Oh! Nyonya, itu adalah terasi.”
“Terasi? Macam mana pula itu terasi?
“Melezatkan masakan, Nyonya.”
“Apakah saya pernah menyantapnya?”
“Pastilah, Nyonya; ini enak sekali.”
“Kamu pasti bohong! Apakah kamu berencana meracuni saya dan juga dirimu sendiri?”
“Wah, kalau bohong saya bisa kena gondokan, Nyonya, tetapi ini memang betul-betul enak,” kata Kobez. Kemudian lelaki itu memegang lehernya dan berikrar, “Sumpah mati!”
Baca Juga : Awal Kisah Kehadiran Sumpit yang Kini Menjadi Ikon Kuliner Asia
Anna pun membuangnya jauh-jauh dari Kobez yang terlihat sendu setelah kejadian ini. Kendati demikian, Anna tak berniat mengancam si koki apabila dia mengambil kembali bungkusan mengerikan itu.
“Saya kemudian mengamati bahwa setiap piring orang bumiputra atau Eropa, bahkan yang saya makan sejak kedatangan saya di Timur,” ungkap Anna, “sari barang busuk itu telah digunakan sebagai bumbu.” Ternyata selama ini dia menyantapnya, namun dia sendiri tak menyadarinya.
Anna bukanlah orang Eropa yang pertama kali merasa aneh dengan terasi. Dalam catatan perjalanannya ke Hindia Belanda yang berjudul Insulinde (yang diterbitkan ulang seabad kemudian berjudul Unbeaten Tracks in Islands of The Far East), Anna menyebut nama William Dampier.
Lelaki itu merupakan penjelajah Inggris pertama yang mengelilingi dunia sebanyak tiga kali sekitar 1679 hingga 1691, dan sempat mampir ke Nusantara. Dampier menjadi orang Inggris pertama yang menjelajahi sebuah kawasan yang kita kenal sekarang sebagai bagian dari Australia, kira-kira 80 tahun sebelum Kapten James Cook mendarat di sana.
Tampaknya inilah catatan tertua dari Eropa yang mengungkapan rasa terasi. “Sebuah komposisi bau yang kuat, namun menjadi hidangan yang sangat lezat bagi penduduk asli,” tulis Dampier dalam bukunya.
Dampier menerangkan tentang terasi dalam catatan penjelajahannya yang sohor, A New Voyage Round the World yang terbit pada 1707. Tampaknya inilah catatan tertua dari Eropa yang mengungkapan rasa terasi.
“Sebuah komposisi bau yang kuat, namun menjadi hidangan yang sangat lezat bagi penduduk asli,” tulis Dampier dalam bukunya. Campuran udang dan ikan kecil dibuat menjadi semacam acar lembut, ditambah garam dan air, dan kemudian adonan itu dimasukkan ke dalam sebuah bejana tanah liat yang rapat. Acar itu membuat ikan melunak dan menjadi bubur. Kemudian mereka menuangkan arak ke dalam guci dan mengawetkannya.
“Ikan lembek yang masih tersisa itu disebut trassi,” tulis Dampier. “Aromanya sangat kuat. Namun, setelah menambahkan sedikit bagiannya, rasa masakan menjadi lumayan gurih.”
Baca Juga : Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara
Catatan perjalanan Anna Forbes diterbitkan pertama kali pada 1887. Perempuan itu memulai penjelajahannya dari Batavia dan sekitarnya, kemudian berlayar menuju Sulawesi dan berlabuh di Makassar.
Setelah beberapa lama di kota itu, dia melanjutkan berlayar ke Maluku, Ambon, Banda, dan terakhir di sebuah permukiman orang-orang Portugis di Timor.
Anna mengungkapkan perjalanannya merupakan bagian dari menjalani hidup. Lengkap dengan kenikmatan, kesenangan dan rasa ketidaknyamanan—demam sepanjang perjalanan. Terasi, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dapur Nusantara, telah memberikan kenangan pengalaman melancong baginya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR